Bikin Resah, Ketua RW 3 Bangkingan Minta Maaf
Terkait Selebaran Pribumi-Nonpribumi yang Bikin Heboh
SURABAYA, Jawa Pos – Polemik terkait penarikan iuran yang dianggap rasis di RW 3 Bangkingan, Lakarsantri, sudah berakhir. Dimediasi Polrestabes Surabaya, Ketua RW 3 Paran berikut tiga ketua RT meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat melalui akun media sosial resmi Humas Polrestabes Surabaya. Selain itu, mereka menyatakan mencabut aturan tersebut untuk kemudian dibahas lagi.
Kontroversi berawal ketika di WhatsApp Group beredar penarikan iuran rasis di RW3 Kelurahan Bangkingan. Sejumlah pelaku usaha merasa tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan tarikan iuran tersebut. Perangkat kecamatan setempat bakal memanggil lurah dan beberapa perangkat RT/RW yang menandatangani surat itu.
Dalam surat itu, terdapat 21 poin keputusan yang perlu dita
PERMUKIMAN: Suasana kampung di kawasan Kelurahan Bangkingan kemarin (21/1). Kampung ini viral di media sosial setelah beredar peraturan yang mencantumkan kata pribumi dan nonpribumi. ati. Ada beberapa pihak yang tersebut, menyatakan sudah disebut dan diwajibkan membayar mendapat surat keputusan itu. sejumlah iuran. Di antaranya, Hanya, pihaknya mengaku tidak perusahaan perseroan pernah dilibatkan secara musyaterbatas (PT), persekutuan komanditer warah mufakat dalam pengam(CV), usaha dagang bilan keputusan tersebut. (UD), dan pedagang kaki lima ”Kami belum pernah diajak (PKL). Namun, ada keterangan diskusi ya. Cuma, jika ada iuran yang mencantumkan bahwa untuk pembangunan fasilitas pemilik usaha yang diwajibkan umum di sekitar, sejatinya tidak membayar iuran adalah selain ada masalah,” katanya. Namun, warga pribumi. dia kaget dengan nominal yang
Selain itu, ada norma lain yang disebutkan dalam surat itu. Seperlu ditaati. Tedi, pengelola bab, untuk mendirikan CV, selain usaha bengkel mobil di wilayah warga pribumi wajib membayar
Yang menjadi sorotan adalah diksi dan
’’pribumi” ’’nonpribumi”.
Setelah ditelusuri, ternyata hanya kesalahan diksi.
Perangkat RT dan RW menyebutkan bahwa kata itu merujuk pada dan
’’warga baru” ’’warga asli”.
Jadi, bukan berdasar pada ras, melainkan domisili. iuran Rp 1,5 juta.
Bukan hanya itu, tiap bulan juga bakal dipungut uang kas Rp 150 ribu. Adanya kalimat pribumi itulah yang menurutnya perlu dipertanyakan. Tedi menegaskan tidak seharusnya menuliskan kalimat yang dianggap tidak perlu.
Usahanya sudah berjalan 1,5 tahun. Seharusnya, adanya perusahaan di situ perlu didukung. Sebab, selama ini, lanjut dia, pihaknya juga membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar RW 3. ”Kami sendiri juga agak terkejut dengan tarikan itu. Saya rencana mau ngomong dengan ketua RW,’’ ujarnya. Pihaknya menginginkan adanya musyawarah dan sosialisasi sebelum aturan itu betul-betul dijalankan.
Sementara itu, saat berusaha dikonfirmasi di rumahnya kemarin siang, Ketua RW 03 Paran sedang tidak berada di rumah. Hanya ada istrinya dan salah seorang anaknya. ”Pergi orangnya, Mas. Saya kurang tahu ke mana,” kata istri Paran.
Camat Lakarsantri Harun Ismail mengatakan, jika mengacu pada Perda Surabaya terkait dana swadaya masyarakat, saat ini masih tahap permufakatan warga. Tahap berikutnya akan disampaikan ke kelurahan. ”Kalau tidak sesuai dengan aspek sosial ekonomi, ya dievaluasi,” ujarnya.
Soal penyebutan pribumi, dia menjelaskan tidak dimaksudkan untuk rasis. Belakangan diketahui, yang dimaksud pribumi bukan merujuk pada ras. Melainkan pada warga baru atau bukan. ”Jadi, salah diksi belaka,” katanya. Dia juga melanjutkan bahwa aturan itu sudah dicabut.