Hakim Lepaskan Ahli Waris Zangrandi
Permohonan Penangguhan Penahanan Dikabulkan
SURABAYA, Jawa Pos – Tiga ahli waris pendiri PT Zangrandi Prima tidak lagi mendekam di penjara. Majelis hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan para terdakwa.
Permohonan itu dikabulkan hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya kemarin (21/1). Tiga ahli waris yang menjadi terdakwa itu adalah Willy Tanumulia, Grietje Tanumilia, dan Emmy Tanumilia. Termasuk mantan Direktur PT Zangrandi Fransiskus Martinus.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan karena usia para terdakwa sudah tua. Selain itu, dalam penyidikan di kepolisian, mereka tidak ditahan. Ketiganya ditahan sejak kasusnya dilimpahkan ke kejaksaan.
Sementara itu, dalam sidang kemarin, para ahli waris keberatan dengan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang dianggap telah menggelapkan saham saudara kandungnya, Evy Susantidevi Tanumilia. Termasuk Fransiskus. Dia merasa tidak pernah bersekongkol dengan tiga ahli waris tersebut untuk menggelapkan saham Evy.
Pengacara terdakwa, Erles Rareral, menyatakan, sejak awal berdirinya perusahaan es krim tersebut, nama Evy tidak tercantum sebagai salah satu pemilik saham. Alasannya, Evy telah berstatus warga negara asing (WNA) karena menikah dengan warga negara Jerman. ’’Bagaimana bisa disebut penggelapan saham? Awal berdirinya Zangrandi, nama Evy tidak tercantum sebagai pemegang saham. Jadi, apa yang digelapkan?’’ kata Erles dalam sidang.
Selain itu, jaksa dianggap tidak bisa membedakan kepentingan pribadi dengan perusahaan. Menurut dia, perkara itu menyangkut saham perusahaan. Bukan warisan keluarga. Jaksa dalam dakwaannya mencampur kepentingan perusahaan dengan keluarga. ’’Mana warisan keluarga, mana saham PT jaksa tidak bisa membedakan. Ini masalah saham pendirian PT,’’ ucapnya.
Menurut dia, tidak ada bukti yang menyebut Evy mendapatkan 10 lembar saham perusahaan senilai Rp 10 juta. Kalaupun memang masalahnya uang Rp 10 juta dari harga lembaran saham itu, dia menilai masalah tersebut terlalu dibesarkan. Menurut dia, tidak masuk akal jika keluarga tersebut bertikai hanya karena uang Rp 10 juta. ’’Dalam dakwaan, kerugiannya kan Rp 10 juta. Ini juga terlalu dibesar-besarkan,’’ katanya.
Selain itu, dia menyatakan bahwa masalah tersebut tidak memenuhi unsur pidana. Jika perebutan saham, masalah itu masuk ranah perdata. Dia menyarankan Evy untuk menggugat para terdakwa secara perdata. Jaksa juga dinilai terlalu memaksakan perkara tersebut ke pidana. ’’Jaksa tidak bisa membedakan mana perkara perdata dan pidana. Karena ini masalah pendirian saham PT, tidak ada ini pidananya. Yang paling fatal jaksa menyatakan P-21 meski unsur pidana tidak terpenuhi,’’ ungkapnya.
Sementara itu, jaksa Damang Anubowo menyatakan tetap pada dakwaannya. Para terdakwa dinyatakan telah bersekongkol menggelapkan saham Evy. Menurut dia, Evy mendapatkan warisan bagian saham dari mendiang orang tuanya, Adi Tanumilia dan Jani Limawan. Saham itu dibagikan kepada tujuh anaknya, termasuk Evy dan ketiga terdakwa. Saham Evy dititipkan kepada mendiang kakaknya, Sylvia Tanumilia. ’’Sebelum meninggal, orang tua mereka membagikan saham ke anak-anaknya. Punya Evy yang 10 lembar dititipkan kakaknya karena statusnya WNA,’’ tambah Damang.
Namun, saham itu kemudian diatasnamakan para terdakwa melalui RUPS luar biasa. Isinya membahas pengalihan saham Sylvia kepada ketiga terdakwa. Fransiskus tetap mengesahkan hasilnya meski tidak kuorum.