Mural dan Spanduk Turut Bawa Persebaya ”Kembali” ke Surabaya
SURABAYA, Jawa Pos – Tembok yang semula putih itu sudah berubah. Menjadi hitam, dibarengi dengan sebuah tulisan. Terbaca: Persebaya Harus Main di Surabaya
Tulisan tersebut hanya berjarak 20 meter sebelah utara SPBU Gunung Sari. Tepatnya di Jalan Gunung Sari Nomor 55–59. Di dinding gudang mobil itulah coretan berbentuk mural digoreskan.
Pesan tersebut bisa dengan jelas dilihat semua pengguna jalan.
Pesan yang ditujukan kepada Pemkot Surabaya itu, bersama pesan-pesan senada yang diwujudkan dalam berbagai bentuk di segenap penjuru kota dalam beberapa waktu terakhir, akhirnya berbuah. Kemarin (22/1) Pemkot Surabaya menggaransi bahwa Persebaya Surabaya masih bisa berkandang di Surabaya pada musim 2020.
Bahkan, Green Force –julukan Persebaya– punya dua opsi kandang. Opsi pertama adalah Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), Surabaya. Opsi kedua, Stadion Gelora 10 November (G10N).
Jaminan itu diperoleh setelah manajemen dan Bonek melakukan pertemuan bersama Dispora Surabaya. Pertemuan diadakan di Gedung Siola, Surabaya, kemarin.
Lalu, siapa di balik mural itu? Mereka Coretan Arek Persebaya 12 atau biasa disebut CAP 12. Tulisan CAP 12 memang tertera di sisi kiri mural tersebut. CAP 12 merupakan salah satu divisi dari Green Nord, suporter Persebaya alias Bonek. Nomor 12 setelah kata CAP itu merupakan simbol bahwa mereka pemain ke-12 dari Persebaya.
Mereka melakukan aksi tersebut bukan tanpa alasan. Pemkot sempat tak memberi Persebaya izin untuk berkandang di Surabaya. Baik di GBT dengan alasan akan direnovasi demi bersaing menjadi venuePiala
Dunia U-20 maupun G10N yang tak pernah dijajal Green Force sejak balik berkompetisi pada 2017.
”Soal pilihan menyuarakan protes dalam bentuk mural, itu karena CAP 12 ini bagian dari street art
Green Nord,” kata Koordinator Green Nord Husin Ghozali.
Aksi itu murni sebagai tumpahan kekesalan mereka. Bonek memang tak ingin tinggal diam saat tim kesayangan tengah dalam masalah.
Pengeluaran pun sepenuhnya menggunakan dana pribadi. Tidak ada sumbangan dari siapa pun. ”Urunan dewe-dewe (iuran sendirisendiri, Red). Soal lokasi mural, itu terserah anak-anak sendiri, tanpa komando,” tambah pria yang akrab disapa Cak Cong itu.
Mural tersebut dikerjakan Sabtu malam (18/1). Biasanya, satu aksi mural ditangani 15 sampai 20 orang. Dibutuhkan waktu dua sampai tiga jam untuk menuntaskan satu mural.
Aksi tersebut tak hanya dilakukan di Jalan Gunung Sari. CAP 12 sempat akan melakukan aksi serupa di Jalan Dinoyo, Surabaya. ”Tapi, malam itu hujan deras sehingga nggak bisa dikerjakan. Padahal sudah sempat dicat,” tambah Cak Cong.
Mural, spanduk, dan berbagai medium lain untuk menyuarakan protes itu terbukti jadi alat penekan ampuh.
Soal spanduk, pentolan Bonek memang sudah memberikan instruksi. Yakni, agar setiap komunitas di kampung-kampung masif melakukan aksi pemasangan spanduk. ”Soal tulisan, terus mau dipasang di mana, itu terserah Boenk yang ada di lapangan. Sesuai kreativitas mereka saja,” terang Koordinator Tribun Kidul Devara Noumanto.
Sebenarnya, kata Sinyo, sapaan akrab Devara Noumanto, aksi lewat spanduk dan mural itu baru langkah awal. ”Itu sekadar memberikan peringatan kepada pemkot,” katanya.
Seandainya pemkot tak segera menggubris, Bonek sedianya akan melakukan aksi yang lebih besar. ”Untung, permintaan segera dikabulkan pemkot,” katanya.