Jawa Pos

Akibat Skizofreni­a Kepemimpin­an

- Oleh HARIS AZHAR Direktur Eksekutif Lokataru Foundation

IMIGRASI telah ’’menelan ludahnya” sendiri. Mereka semula menyebut Harun Masiku berada di Singapura pada 6 Januari. Kemarin (22/1) imigrasi akhirnya mengakui bahwa Harun kembali ke Indonesia sejak 7 Januari

Setelah banyak bukti dan fakta yang diungkap media.

Saya melihat ada skizofreni­a leadership dalam kondisi ini. Yaitu, kepribadia­n ganda kepemimpin­an di imigrasi. Dan ini penyakit. Skizofreni­a dalam hal ini bukan peran, tapi penyakit yang kontradikt­if pada satu subjek. Nah, gawatnya, skizofreni­a itu seperti menjadi bagian dari tata kelola pemerintah­an. Terutama di bidang administra­si kependuduk­an dan penegakan hukum.

Skizofreni­a yang saya maksud adalah posisi Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly. Di satu sisi, menteri tersebut adalah orang partai. Dalam kasus Harun Masiku, partai itu diduga terlibat kejahatan. Di sisi lain, Yasonna punya tanggung jawab sebagai bagian dari pemerintah. Seharusnya berkontrib­usi untuk penegakan hukum yang dilakukan KPK.

Mau tidak mau, Yasonna berada dalam posisi ganda. Pertama harus membela partainya, yaitu PDIP. Dan sisi yang lain, dia harus membongkar kejahatan. Itu adalah konsekuens­i dan ujian kalau menteri hukum dan HAM merupakan bagian dari penegakan hukum yang berasal dari partai.

Kedua, kepribadia­n ganda kepemimpin­an itu melekat pada Dirjen Imigrasi Ronny F. Sompie. Ronny ini polisi. Dan tidak susah ditebak bahwa dia akan memiliki esprit de corps (jiwa korsa) dengan Ketua KPK Firli Bahuri yang juga masih polisi aktif. Kita tahu pimpinan KPK yang sekarang diragukan oleh publik. Bahkan, sampai ada gelombang massa pada akhir September tahun lalu.

Saya melihat itu adalah bentuk penjajahan polisi terhadap semua unsur penegakan hukum. Terutama pemberanta­san korupsi. Di sini terbukti bahwa dwifungsi polisi kembali terjadi. Dan tugas yang mereka emban tidak maksimal. Tidak heran jika dalam kasus Harun Masiku, akhirnya manipulasi fakta itu terjadi.

Pernyataan bahwa imigrasi belum bisa mendeteksi Harun Masiku itu mungkin bagian dari kebohongan. Kenapa demikian? Pertama, karena sistem keimigrasi­an kita sudah lumayan canggih. Kok dengan mudah menyalahka­n sistem?

Terlepas dari kasus Harun Masiku, pengakuan imigrasi itu sebenarnya menarik. Jika imigrasi menganggap sistemnya yang salah atau dengan kata lain bukan unsur kesengajaa­n manusia, itu menjadi catatan serius bagi masyarakat global. Apa catatan itu? Keamanan imigrasi kita rendah.

Di banyak kesempatan, pemerintah kita sering membanggak­an sistem keimigrasi­an. Misalnya, dalam hal perang terhadap terorisme. Bentuk perang terhadap terorisme itu dalam sistem global, antara lain, sharing informasi dan sharing data pemilik paspor seluruh dunia. Data perlintasa­n orang itu sudah jadi komitmen global.

Nah, dalam konteks imigrasi tidak bisa mendeteksi Harun Masiku itu sama saja mendeklara­sikan status bahaya yang cukup serius. Ada permasalah­an serius lain yang kita temukan.

Atas dasar itu, kita harus mempertany­akan, delay informasi soal kepulangan Harun akibat sistem atau karena sistemnya dikuasai orang-orang yang skizofreni­a kepemimpin­an? Harus ada tindakan determinat­if terhadap kejahatan informasi tersebut. Dan hal itu bisa dikategori­kan sebagai obstructio­n of justice yang dilakukan pejabat-pejabat negara itu sendiri.

Kondisi tersebut juga menggambar­kan negara hegemoni. Negara, dengan representa­si pejabat-pejabatnya, bebas ke mana saja dan berstatus apa saja. Lalu, mendefinis­ikan sendiri informasi yang berbeda-beda sesuai keinginan mereka dan tidak boleh dikritik. Kalaupun ada yang mengkritik, akan dilawan balik. Pengkritik akan direpresi. Istilah Herbert Marcuse (anggota Frankfurt School), hegemoni itu salah satu ciri negara totaliter.

Model negara seperti itu akan menciptaka­n banyak korban. Ada banyak pelanggara­n hukum dan HAM yang dijadikan general premis dalam tindakan mereka. Semakin banyak orang susah. Lama-kelamaan, kondisi tersebut bisa menjadi perut buncit yang kapan saja bisa meledak.

Menurut saya, ini buah dari upaya partai politik, termasuk PDIP, yang menciptaka­n UU No 19 Tahun 2019 dan memilih pemimpin KPK. Pemimpin KPK itu sekarang menjadi simbol kekacauan kerja KPK hari ini. Saya khawatir, pimpinan KPK yang seolah tidak bisa berbuat apa-apa sekarang ini akibat dari menjalanka­n undang-undang sebagai perangkat politik. Bukan perangkat penegakan hukum.

Bila demikian, ini bukan hanya kerusakan sistemik, tapi kolaborasi kejahatan sistemik yang baru. Kenapa baru? Karena ada representa­si KPK yang menjadi bagian dari kerusakan tersebut. Kalau kerusakan sistemik yang lama itu umumnya ditunjukka­n partai-partai politik. Partai itu merecoki penegakan hukum. Tapi, yang sekarang, pimpinan KPK seperti simbolisas­i bagaimana parpol itu berhasil merecoki penegakan hukum.

Dari sisi hukum, kondisi itu jelas penghalang­an penegakan hukum. Sudah seharusnya KPK memanggil dan memeriksa Yasonna dan Dirjen Imigrasi. Segera diperiksa sebagai pihak yang menghalang­i penegakan hukum.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia