Materi UU Harus Bisa Dipertanggungjawabkan
Penetapan program legislasi nasional (prolegnas) minggu lalu menimbulkan banyak prokontra. Masyarakat dan pengamat pun mempertanyakan substansi sejumlah RUU, terutama omnibus law. Berikut wawancara wartawan Jawa Pos Debora Danisa Sitanggang dengan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Gita Putri Damayana kemarin (22/1).
Apa pandangan PSHK terhadap pembahasan RUU Omnibus Law?
Pandangan kami, sebenarnya yang jadi prolegnas DPR itu, salah satunya omnibus law, bukan sesuatu yang istimewa. Yang membuat istimewa sekarang adalah karena didorong keinginan politik pemerintah. Yang menjadi perhatian sebetulnya apa yang dimaksud pemerintah, harus ada muatan dasar materi undang-undang. Patut diperhatikan secara spesifik mengenai omnibus law. Yakni, naskahnaskah yang sangat multisektor, terutama cipta lapangan kerja. Kalau materi UU yang sebegitu kompleks ini ada tekanan harus selesai dalam tiga bulan saja, harus kita lihat ini untuk apa dan apa yang ada di belakangnya.
Catatan apa yang harus diperhatikan pemerintah dan pemangku kepentingan?
Masa sidang di DPR ini sudah dimulai. Tapi, naskah resminya belum keluar. Ketika sudah keluar ke publik, pemerintah malah membantah. Seharusnya ada ketegasan ini (rancangan UU) punya siapa, pemerintah atau DPR. Kalau mengenai omnibus law yang katanya melibas ribuan pasal ini, kita perlu merunut secara keilmuan apakah materinya bisa dipertanggungjawabkan.
Apa yang dimaksud pertanggungjawaban materi RUU?
Misalnya, untuk cipta lapangan kerja. Pemerintah saat ini sudah punya pendamping untuk menyusun, tapi keanggotaannya hanya dari pengusaha konglomerat. Suara UKM di mana? Seolaholah, yang didengar hanya pebisnis kelas tinggi. Sementara perekonomian kita kan
tidak hanya dibangun dari pelaku usaha kelas atas. Yang kecil pun harus dilibatkan.
Kalau kita menyebut omnibus law untuk membuka lapangan kerja, harus ada peta permasalahannya dulu. Ada di mana masalahnya, di tingkat nasional atau daerah? Kalau di tingkat daerah, kan
artinya bukan diatur dengan UU, melainkan peraturan daerah.
Omnibus law ini seolah-olah seperti jargon untuk mengatasi berbagai permasalahan regulasi. Padahal, jangan lupa, UU pasti juga memiliki peraturan pelaksanaannya.
Apakah PSHK optimistis pembahasan RUU Omnibus Law tuntas dalam tiga bulan?
Pemerintah kalau mau sih pasti bisa ngebut. Mau publik menolak bagaimanapun, asal pemerintah dan DPR sudah ketemu, maka bisa jadi. Di sini permasalahannya, legislatif harus jelas posisi kritisnya di mana. Sebagai legislatif, seharusnya DPR menjalankan fungsi mereka itu. Jangan sampai DPR justru adem-adem saja.