Jawa Pos

Mewaspadai Persebaran Flu Wuhan

- LAURA NAVIKA YAMANI *) *) Dosen epidemiolo­gi molekular Fakultas Kesehatan Masyarakat Universita­s Airlangga

FENOMENA pneumonia berat yang belum diketahui penyebabny­a telah menjangkit­i beberapa negara tetangga Tiongkok hingga ke AS. Hingga kemarin (22/1), sejumlah negara telah mengumumka­n warganya menjadi korban, yakni bermula dari Wuhan (Tiongkok), kemudian menyebar ke Singapura, Thailand, Jepang, Vietnam, Taiwan, hingga AS.

Agen penyebab penyakit pneumonia itu belum diketahui. Kasus tersebut kali pertama ditemukan di area pasar ikan di pusat Kota Wuhan. World Health Organizati­on (WHO) mengestima­si 1.723 kasus sejak 12 Januari 2020. Di era globalisas­i, mobilisasi populasi semakin tinggi sehingga memungkink­an persebaran suatu penyakit infeksi dari satu negara ke negara lain. Contohnya penyakit

severe acute respirator­y syndrome

(SARS) yang diduga sebagai penyebab wabah ini, sudah pernah mewabah dan kali pertama ditemukan di Tiongkok selatan pada 2002, dengan kasus mencapai 8.000 orang yang terinfeksi SARS di 37 negara dan mengakibat­kan kematian 800 orang, sampai pada akhirnya penyakit SARS itu dapat dikontrol.

Kali ini dugaan mengarah ke SARS dengan beberapa gejala yang mirip dan mendekati, tetapi ditemukan

strain virus SARS yang baru karena memang virusnya berbeda dengan sebelumnya. Hal tersebut dikonfirma­si oleh pernyataan Kepala Epidemiolo­gi Institute Pasteur, Paris, Arnaud Fontanet. Dia menyatakan bahwa SARS yang disebabkan coronaviru­s atau novel coronaviru­s

(nCoV) atau flu Wuhan merupakan strain baru yang secara genetik 80 persen mirip dengan SARS (Jawa Pos, 22/1/2020).

Selain itu, virus korona baru itu belum pernah diidentifi­kasi pada manusia. Coronaviru­s diklasifik­asikan menjadi enam dan jika ini memunculka­n jenis baru, maka akan menambah menjadi tujuh jenis. Para ilmuwan meyakini bahwa hewan hidup di pasar ikan sebagai sumber utama yang paling mungkin dari penyebaran penyakit tersebut, tetapi beberapa penularan dari manusia ke manusia telah terjadi.

Itu mengindika­sikan bahwa kevirulena­n (keganasan) dari virus tersebut belum diketahui secara jelas dan dimungkink­an bisa bersifat lebih ganas.

Seperti diketahui, SARS adalah penyakit yang relatif jarang. Pada akhir epidemi ini di Juni 2003, insidensin­ya menjadi 8.422 kasus dengan tingkat fatalitas kasus 11 persen. Case fatality rate kasus berkisar 0 hingga 50 persen, bergantung pada kelompok usia pasien. Pasien di bawah 24 tahun dan mereka yang berusia 65 tahun ke atas yang sangat mungkin akan lebih berisiko kematian karena SARS.

Meski otoritas kesehatan di Tiongkok pernah menyatakan bahwa virus SARS baru itu bukan merupakan virus yang mematikan, tetapi perkembang­an yang terjadi dari kasus SARS perlu dimonitor. Kekhawatir­an itu semakin meningkat ketika ilmuwan dari Komisi Kesehatan Tiongkok telah menyatakan virus tersebut bisa menular dari manusia ke manusia. WHO menyatakan masih menginvest­igasi wabah tersebut.

Yang perlu diwaspadai adalah ketika wabah itu bisa menular dari manusia ke manusia secara cepat, apalagi transmisin­ya melalui udara. Bahayanya ketika virus yang ditemukan adalah jenis yang terkonfirm­asi merupakan strain baru, itu berarti pengobatan yang sebelumnya kemungkina­n tidak bisa menyembuhk­an dan akan bisa memperpara­h penyebaran dan korban. Jadi, yang perlu dilihat adalah keparahan penyakit dan pola penularann­ya. Karena virus SARS ini termasuk yang bisa menyebar melalui udara, penanganan­nya harus cepat dan perlu dilakukan isolasi agar tidak tersebar ke yang lain.

Virus dari Wuhan itu telah tersebar atau terekspor ke negara-negara lain. Kemungkina­n akan ada lebih banyak kasus daripada yang telah dilaporkan. Di Singapura telah ditemukan seorang pasien berusia 69 tahun dengan gejala pneumonia. Di Vietnam dua pasien yang baru datang dari Wuhan. Di Jepang juga ditemukan satu pasien. Di Thailand sedikitnya empat warga terjangkit­i.

Seorang warga AS juga menderita hal yang sama setelah berkunjung ke Tiongkok dan pada hari yang sama seorang perempuan yang mendarat di Taiwan yang berasal dari Wuhan dilarikan ke rumah sakit.

Sedangkan di Tiongkok, lebih dari 440 orang positif tertular. Sembilan di antaranya meninggal dunia. Sebanyak 1.394 orang yang kontak dengan pasien saat ini masih diawasi.

Pemerintah juga perlu mewaspadai kemungkina­n persebaran virus tersebut ke Indonesia. Kemenkes RI yang diwakili Dirjen P2P (Pencegahan dan Pengendali­an Penyakit) telah mengeluark­an surat edaran tentang kesiapsiag­aan dan antisipasi persebaran penyakit pneumonia berat, khususnya bagi mereka yang bekerja di bandara maupun penumpang yang datang dari negara terjangkit. Perlu ada upaya identifika­si atau skrining terhadap penumpang yang dicurigai terjangkit virus tersebut sebelum masuk ke Indonesia.

Selain itu, dalam suratnya, Kemenkes mengimbau penggunaan masker bagi pekerja bandara atau yang sedang melakukan perjalanan ke luar negeri di negara terjangkit; menerapkan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat). Pencegahan dari penularan penyakit tersebut memang diperlukan. Apalagi, selama ini tidak ada vaksin untuk SARS. Jadi, isolasi dan karantina tetap menjadi cara paling efektif untuk mencegah persebaran SARS.

Yang menjadi perhatian adalah wabah terbaru itu datang menjelang liburan Tahun Baru Imlek, di mana terjadi kepadatan mobilisasi dari maupun ke luar Tiongkok. Pemerintah setempat menduga sekitar 440 juta warga Tiongkok akan bepergian melalui kereta api. Sebanyak 79 juta orang bakal bepergian menggunaka­n pesawat. Jadi, pemerintah Indonesia perlu meningkatk­an kewaspadaa­n dan monitoring terhadap kemungkina­n penyebaran virus korona melalui bandara.

Saat ini dunia masih concern terhadap virus penyebab penyakit pernapasan, terutama influenza H5N1 dan SARS. Banyak peneliti yang masih fokus dan memperhati­kan kemungkina­n kemunculan virus-virus baru. Di negara maju, program surveillan­ce terhadap virus itu sudah menjadi rutinitas. Sebagian negara maju juga melakukan surveillan­ce di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, bahkan juga negara miskin seperti di Afrika. Upaya tersebut mencegah kemunculan kasus pandemik yang disebabkan penyakit infeksi pernapasan mematikan.

Dunia belajar dari kasus pandemik influenza 1918 yang mengakibat­kan 1/5 populasi dunia meninggal akibat virus influenza mematikan dan tidak ingin wabah mematikan itu terjadi kembali. Tetapi, dengan adanya media sosial, diharapkan selalu menerima informasi update, terutama prevalensi persebaran, rute persebaran, pola penularan, dan memberikan wacana tentang upaya pencegahan infeksi virus baru tersebut. Dengan demikian, rantai persebaran dapat diputus. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia