Mi Lembut yang Diyakini Datangkan Rezeki
Setiap menjelang pergantian tahun dalam kalender Tionghoa, Marga Mulya kebanjiran orderan misoa. Sejak akhir tahun lalu, pesanan mi lembut berwarna putih dan panjang itu berdatangan ke perusahaan yang sudah 72 tahun berproduksi di Surabaya tersebut.
SEPTIAN NUR H., Jawa Pos
MASYARAKAT Tionghoa meyakini mengonsumsi misoa saat tahun baru Imlek akan mendatangkan hoki. ’’Dengan mengonsumsi misoa, umur mereka akan panjang. Seperti panjangnya setiap lembaran mi. Begitu pun rezeki yang akan didapatkan,” tutur Jeffry Sutrisno, pemilik CV Marga Mulya di Jalan Pesapen Selatan, Pabean Cantian.
Karena momen istimewa tersebut berlangsung pada 25 Januari, orderan diterima sejak akhir tahun lalu. Dalam sehari, pabrik mi yang diyakini tertua di Surabaya itu mampu menghasilkan 6–7 kuintal misoa. ”Pembeli tidak hanya berasal dari Surabaya, tetapi juga daerah lain seperti Ambon, Manado, Jakarta, hingga Papua,” kata pria kelahiran Surabaya, 12 Maret 1963 tersebut.
Mereka sebenarnya juga memproduksi mi kuning, tetapi misoa yang paling banyak dicari saat momen istimewa begini. Sebab, dengan mengonsumsi misoa, mereka meyakini rezeki dan kesehatan akan selalu menghampiri. Karena itu pula, kali ini Jeffry juga membagikan misoa dan mi kuning secara cuma-cuma kepada para pelanggannya. ’’Biar mereka juga bisa merayakan Imlek,’’ ujar ayah dua anak tersebut.
Jeffry merupakan generasi ketiga yang menjalankan usaha keluarga itu. Yang pertama adalah sang kakek bernama Nio Hok Eng. Kemudian, usaha tersebut dilanjutkan oleh ayahnya yang bernama Lukman Djajawikarta. Sekarang dia dipercaya meneruskan usaha itu.
Karena sebelumnya telah berkecimpung dalam pembuatan mi tersebut, dia tidak merasa kesulitan meneruskan usaha keluarganya. Kualitas merupakan hal yang paling diutamakan. Dalam sehari, pemesanan bisa mencapai 1 ton. Walaupun dia masih menggunakan mesin lama yang terbilang tradisional, semua pesanan mampu dipenuhi. Maksimal sehari, dia memproduksi 1 ton misoa dan mi kuning.
Meski begitu, dia tak mau menambah kapasitas. Dia memilih mempertahankan kualitas daripada banyaknya pendapatan yang masuk. ”Produk kami bisa dikenal banyak orang ya karena kualitasnya. Bukan melihat harganya,” ucapnya. Untuk mempertahankan kualitas seperti 72 tahun yang lalu, metode serta peralatan yang digunakan tetap sama.
Produksi menggunakan cara tradisional dan memakan waktu 3–4 hari. Mulai menggiling tepung jadi tipis dengan ukuran 0,5 mm–1 mm hingga memotong mi menggunakan gunting. Setelah itu, mi diuap dan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. ”Setelah pengeringan mencapai 25 persen, dilanjutkan menggunakan oven selama dua hari. Kemudian, dilanjutkan ke tahap pengemasan,” jelasnya.