Soroti Kekurangan Aspek Manajerial Pemilu
JAKARTA, Jawa Pos – Rencana DPR untuk segera membahas revisi UU Pemilu direspons banyak pihak dalam bentuk masukan awal. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), misalnya, mengingatkan bahwa model pembahasan yang terfokus pada kepentingan elektoral partai harus dihindari. Aspek manajerial juga sangat penting untuk dipersiapkan.
Direktur Perludem Titi Anggraeni mengatakan, berdasar pengalaman pembahasan RUU Pemilu pada 2017, empat dari tujuh bulan pembahasan digunakan untuk membicarakan sistem pemilu yang berkaitan dengan kepentingan partai. ”Hanya tiga bulan yang digunakan untuk membahas menajemen, implikasi dari pilihan sistem, dan penegakan hukum,” ujarnya dalam peluncuran buku Evaluasi Pemilu 2019 di D’hotel, Jakarta, kemarin (2/2).
Imbasnya, penyelenggara pemilu keteteran untuk menjalankan undang-undang itu di lapangan. Agar tidak terulang, pembahasan harus segera dimulai. Dengan waktu yang panjang, pembahasan bisa dilakukan lebih dalam dan bisa menimbang risiko dari setiap pilihan kebijakan. Berbeda dengan pengalaman 2017, yang mana UU disahkan buru-buru dan baru selesai sehari sebelum rangkaian tahapan Pemilu 2019 dimulai.
Dalam pandangan Titi, aspek manajerial pelaksanaan Pemilu 2019 belum baik. Prinsip pemilu yang mudah dan cepat gagal diraih. Secara teknis, masyarakat kesulitan dalam memberikan hak suara. Hal itu dibuktikan dengan tingginya angka surat suara yang tidak sah.
Kemudian, dari segi kecepatan, hasilnya baru diketahui 35 hari pasca pemungutan. ”Dalam masa itu, banyak spekulasi yang muncul. Padahal, kecepatan mencegah spekulasi,” tuturnya. Di sisi lain, kerja penyelenggara juga sangat berat dan berpotensi bikin kapok untuk terlibat dalam penyelenggaraan.
Terkait sistem kepemiluan secara umum, Perludem mengusulkan agar pemilu serentak bisa dilanjutkan. Hanya, desain keserentakannya diubah menjadi dua bagian. Yakni, pemilu serentak nasional yang meliputi pemilihan presiden, DPR RI, dan DPD. Kemudian, pemilu serentak daerah yang meliputi pemilihan gubernur, bupati/wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
”Desain keserentakan nasional dan daerah dengan jarak dua tahun,” katanya. Sebab, jika dilakukan pada tahun yang sama, beban kerja penyelenggara akan sangat berat. Mengingat tahapan dua agenda besar tersebut dipastikan dilakukan secara bersamaan.
Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochammad Nurhasim mengatakan, Pemilu 2019 harus dievaluasi karena persoalannya terlalu banyak. Namun, dia mengingatkan agar evaluasi yang digawangi DPR dan pemerintah tidak didasarkan pada agenda politik tertentu, tetapi benarbenar didasarkan kajian. ”Harus didasarkan pada penelitian,” tegasnya.
Dia juga menitipkan, dalam pembahasan nanti, persoalan anggaran tidak dijadikan pertimbangan utama. Jangan sampai, dengan alasan hemat, kualitas pemilu digadaikan. ’’Pemilu demokratis itu bukan anggaran, tapi mudah dan berkualitas,” pungkasnya.