Jawa Pos

Masih Sedikit WNI yang Berkunjung

Berkunjung ke Kazakhstan sekarang memang mudah. Tak perlu pusing mengurus visa. Tak perlu ribet lapor diri setelah lima hari berada di negara itu. Berikut laporan DOAN WIDHIANDON­O, wartawan Jawa Pos dari Nur-Sultan.

- (*)

SUGENG Wahono, minister counselor KBRI untuk Kazakhstan dan Tajikistan, bercerita sambil makan siang pada medio Januari yang beku di Nur-Sultan, Kazakhstan. Suhu waktu itu ada di kisaran minus 10 derajat Celsius. ’’Kemarin ada WNI yang telepon curhat ke saya. Nangis-nangis. Minta pulang,’’ ungkap arek Malang yang pernah menjadi wartawan di Jawa Pos pada 1991 tersebut.

Katanya, WNI perempuan itu sakit. Dia merasa enggak lagi betah tinggal di Tajikistan. ’’Wah, saya juga bingung. Bagaimana? Ya saya dengarkan dulu ceritanya sambil sama-sama cari solusi,’’ ujar alumnus Fakultas Hukum Universita­s Brawijaya tersebut.

Sebagai minister counselor, tentu menerima curhat tidak menjadi tugas Sugeng. ’’Tapi, namanya di negeri orang. Saudara mereka itu siapa lagi kalau bukan kita,’’ ungkap ayah satu putri tersebut.

Obrolan keprihatin­an tentang WNI yang sakit itu juga ada pada pertemuan sore di kediaman Etik Soenaryati di Almaty, kota terbesar yang terletak di kawasan selatan Kazakhstan. Etik adalah arek Perak, Surabaya, yang keluargany­a tinggal di Bluru, Sidoarjo. Suami Etik adalah orang asli Manchester, Inggris, yang bekerja di Almaty.

Rabu (15/1) itu Etik menjadi tuan rumah pertemuan para WNI di Almaty. Yang hadir adalah Listya Marmita yang juga ibu rumah tangga seperti Etik. Selain itu, ada dua terapis spa, Ni Kadek Sudiartini (Diar) dan Ni Luh Sudarmini (Niluh). Lalu, ada Muhammad Arief Fadillah yang bekerja di salah satu perusahaan teknologi digital. Seorang lagi adalah Kautsar Yarzuqu Mayyasya, alumnus FISIP Universita­s Airlangga yang sekarang menjadi pilot maskapai Air Astana. Mereka ngobrol sembari menikmati santapan khas Indonesia: nasi kuning, rendang, sup, dan tumis sayuran. Penutupnya adalah brownies dan es krim yang yummy.

Dengan prihatin, Etik, Niluh, dan Diar membicarak­an seorang terapis yang mengalami problem di pekerjaann­ya. Yaitu, sakit. ’’Saya mau bantu juga gimana? Nanti apa dia nggak bermasalah dengan bosnya?” kata Etik, ibu dua anak itu.

Arief mengakui, bagi WNI di Kazakhstan, obrolan dan saling cerita dengan sesama WNI itu sangat penting. ’’Setidaknya ada komunikasi lah. Kalau ada yang bisa dibantu, ya kami bantu. Ada grup WhatsApp juga,’’ kata lelaki yang beristri perempuan Kazakhstan tersebut.

Komunikasi antar-WNI di Kazakhstan memang terbilang intens. Sebab, jumlah mereka sangat sedikit. Dubes RI untuk Kazakhstan dan Tajikistan Rahmat Pramono mengakui hal itu. Jumlah warga Kazakhstan yang pergi ke Indonesia justru banyak (lihat grafis). ’’Mereka biasanya ke Bali. Menikmati suasana tropis. Lihat laut. Kazakhstan kan ndak punya laut,’’ kata Pramono. Ya, Kazakhstan adalah negeri landlock. Seluruh batasnya adalah daratan negara lain. Satusatuny­a air ada di barat. Yaitu, Laut Kaspia. Yang meski bernama laut, sejatinya danau.

Turis dari Indonesia ke Kazakhstan juga sedikit. ’’Mungkin belum tahu apa yang harus dicari di sini. Alam Kazakhstan itu sabana-stepa. Tidak banyak gunung,’’ ungkap Pramono. Karena itu, wisata alam justru ada di kawasan Kazakhstan Selatan yang dikeliling­i pegunungan. Di sana ada kawasan ski atau hiking untuk musim panas.

Kazakhstan juga tidak memiliki peninggala­n peradaban yang besar seperti candi, keraton, atau sistem budaya lain. Sebab, masyarakat mereka dulu adalah kaum nomaden. Mereka berpindah-pindah, tidak membangun kota. Meski begitu, peradaban mereka sejatinya kaya. Itu tampak pada koleksi museum negeri tersebut. Sistem pertanian, pertambang­an, religi, hingga kuliner Kazakhstan cukup beragam. ’’Sebagai padang rumput, dulu negeri ini menjadi tempat pertemuan banyak bangsa. Sekarang etnisnya 100 lebih,’’ ungkap Pramono.

Kazakhstan sejatinya sudah membuka diri bagi Indonesia. September 2019, negeri itu tak lagi mewajibkan visa bagi WNI. Sedangkan Indonesia sudah terlebih dulu membebaska­n visa warga Kazakhstan sejak 2016.

Meski begitu, hubungan business-tobusiness Indonesia-Kazakhstan sejatinya menunjukka­n tren positif. ’’Dari tahun ke tahun terus meningkat,’’ ujar Pramono. Memang ada sejumlah kendala dalam koneksi bisnis itu. Terutama karena Kazakhstan adalah negeri landlock. Arus komoditas Indonesia-Kazakhstan harus melewati negara ketiga.

Menurut Pramono, Kazakhstan masih menjadi negeri yang potensial bagi tenaga kerja Indonesia. Sebab, tenaga kerja lokal negara itu masih memiliki kendala. Banyak bidang yang masih memerlukan tenaga kerja asing dengan kualifikas­i tertentu. ’’Jadi, tenaga kerja asing memang masih diperlukan di sini,’’ ucap Pramono.

Karena itu, KBRI tak pernah berhenti mempromosi­kan Indonesia. Baik dari segi seni-budaya maupun produk-produk semacam kopi hingga buah-buahan tropis. Itu tidak gampang. Sebab, tak semua orang Kazakhstan langsung ngeh dengan Indonesia. ’’Indonesia itu beda dengan Malaysia?” tanya Irashid dan Askhad, dua warga yang ditemui Jawa Pos di salah satu halte bus di Nur-Sultan. Mereka baru manggut-manggut saat melihat peta. Ada negara kepulauan besar yang terletak di antara Malaysia dan Australia.

 ?? DOAN WIDHIANDON­O/JAWA POS ?? SORE YANG AKRAB: Dari kiri, Ni Kadek Sudiartini, Ni Luh Sudarmini, Etik Soenaryati, Listya Marmita, Kautsar Yarzuqu Mayyasya, dan Muhammad Arief Fadillah menikmati santap sore di Almaty.
DOAN WIDHIANDON­O/JAWA POS SORE YANG AKRAB: Dari kiri, Ni Kadek Sudiartini, Ni Luh Sudarmini, Etik Soenaryati, Listya Marmita, Kautsar Yarzuqu Mayyasya, dan Muhammad Arief Fadillah menikmati santap sore di Almaty.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia