Berharap Lepas Tekanan, Tetap Andalkan Produk Pangan
SELAMA dua tahun terakhir, pelaku usaha ritel masih kesulitan meraih target pertumbuhan omzet dua digit. Dampak pemilu dan pelemahan ekonomi global ternyata berimbas pada minat konsumsi masyarakat.
NAMUN, tahun ini Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) kembali mematok target double digit dengan optimisme yang lebih tinggi. Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan tren industri ritel. Pembahasan omnibus law disebut Roy akan menimbulkan semangat baru di kalangan stakeholder bisnis. Menurut Roy, kebijakan tersebut dapat memudahkan para peritel dalam proses perizinan untuk meningkatkan asetnya.
”Juga berharap kelonggaran atas investasi padat karya sehingga memungkinkan banyak perusahaan masuk dengan membuka pabrik untuk menyerap tenaga kerja,” ujarnya. Roy juga menuturkan, dana desa tahun ini meningkat daripada tahun lalu. Yakni, dari Rp 70 triliun menjadi Rp 72 triliun. ’’Program keluarga harapan juga meningkat dari Rp 110.000 jadi Rp 140.000 per bulan sehingga itu mendorong konsumsi masyarakat.”
Dengan hal-hal tersebut, Roy optimistis tahun ini industri ritel bisa tumbuh signifikan jika dibandingkan dengan tahun lalu. Sepanjang 2019, pihaknya memproyeksikan pertumbuhan ritel 7,5–8 persen. Tahun ini pihaknya yakin ritel mampu tumbuh 10 persen. ”Prinsipnya, kami tetap terus berusaha optimistis, tetapi tetap waspada dengan situasi atau kondisi yang ada,” ungkapnya.
Pada 2019 penjualan ritel meleset dari target 10 persen karena pertumbuhannya tidak merata setiap bulan. Konsumsi masyarakat sempat melemah saat pilpres dan pileg. ’’Setelah pilpres, terjadi demo-demo sehingga konsumsi melemah karena masyarakat menahan belanja. Kemudian, ada pileg. Sehingga penjualan selama dua bulan merupakan yang terendah. Di samping itu, penjualan ritel selama Ramadan 2019 lebih kecil daripada 2018,” jelasnya.
Roy menilai target pertumbuhan ritel 10 persen tahun ini terbilang cukup realistis. Target itu mempertimbangkan volatilitas indeks penjualan riil (IPR). ”Inflasi yang rendah juga patut diwaspadai. Sebab, di satu sisi, inflasi rendah menandakan stabilitas harga barang. Tetapi, di sisi lain, menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat,” katanya.
Sepanjang tahun lalu, inflasi mencapai 2,72 persen, lebih rendah daripada 2018 sebesar 3,13 persen. Untuk itu, Roy berharap pemerintah terus menjaga daya beli masyarakat dengan tetap memberikan bantuan sosial (bansos) dan subsidi. Aprindo meyakini tahun ini pertumbuhan penjualan ritel tetap didorong produk pangan. Sebab, kontribusi produk pangan 60 persen.
Perkembangan e-commerce yang pesat juga disebut tak menjadi alasan mandeknya peran toko ritel. ’’Saat ini semua perusahaan ritel memiliki bisnis e-commerce atau online untuk memenuhi tuntutan pasar,” ujarnya. Sampai saat ini, lanjut Roy, transaksi perdagangan secara offline masih lebih tinggi.