Rebutan Ganti Rugi, PT KAI Gugat Warga
SURABAYA, Jawa Pos – Lima warga yang menempati lahan seluas 872 meter persegi di Wonokromo digugat PT Kereta Api Indonesia (KAI). Penyebabnya, kedua belah pihak mengklaim sebagai pemilik sah lahan yang dulu menjadi lokasi berdirinya sebuah gedung bioskop tersebut. Dua pihak juga berebut uang ganti rugi Rp 5,8 miliar dari Pemkot Surabaya.
Penasihat hukum PT KAI, Juno Jalugama, mengungkapkan bahwa kasus itu bermula dari pembebasan lahan untuk lanjutan proyek frontage road (FR) Wonokromo di sisi barat
J
Nah, PT KAI mengklaim memiliki beberapa lahan di area tersebut. Salah satu bukti kepemilikannya adalah peta tanah dari zaman pendudukan Belanda. Dasar itulah yang membuat kliennya berani mengklaim tanah tersebut merupakan miliknya.
’’Dasar kami telah kuat bahwa tanah itu memang milik kami. Pantas jika pemilik yang berhak menguasai tanah tersebut,’’ katanya.
Bukan hanya itu, bagi Juno, peta Belanda tersebut juga sudah dibuat pada 1926. Menurut dia, ada kesalahpahaman dari lima warga tersebut. Mereka menganggap tidak ada yang memiliki tanah tersebut. Meski, dalam perjalanannya, memang status tanah itu diubah menjadi hak guna bangunan (HGB). Namun, masa HGB 25 tahun telah habis. Setelah ditinjau kepemilikan, PT KAI yang seharusnya mendapat ganti rugi. Meski begitu, kliennya meminta kasus tersebut diputus di sidang sebagai alasan kuat dalam kepemilikan tanah tersebut.
’ Peta Belanda sekarang menjadi prioritas untuk dijadikan sertifikat oleh Kementerian Pertanahan (KementerianAgrariadanTataRuang, Red). Makanya, kami berani menyatakan tanah itu milik kami karena dulu ada perubahan dari perusahaankeretaapidariBelanda menjadi milik Indonesia,’ jelasnya.
Menurut Juno, pihaknya juga telah menjalani mediasi. Namun, mediasi itu gagal. Sebab, tidak ada titik temu dalam penyelesaian perdamaian dalam kasus tersebut. ’’Satu-satunya cara, melanjutkan sidang dengan menunjukkan bukti kepemilikan dari kami berupa peta Belanda,’’ ungkap Juno.
Sementara itu, lima warga yang menempati lahan tersebut, yakni Murjani Harto, Sundoro Harto, Handoko Harto, Samuel Harto, dan Puro Kustowo Harto, merasa tidak terima dengan klaim dari PT KAI tersebut. Alasannya, tempat yang dulu dimanfaatkan sebagai lahan bioskop itu tidak punya masalah. Bahkan, uang ganti rugi Rp 2 miliar tidak pernah diminta PT KAI.
’’Makanya, ini sangat aneh. Permasalahan timbul saat pemkot mengganti lahan tersebut Rp 5 miliar. PT KAI seolah-olah ingin merebut apa yang menjadi hak klien kami,’’ terang Sudirman Sidabukke, kuasa hukum lima warga tersebut.
Menurut dia, kasus itu bermula ketika ada proyek pelebaran jalan. Nah, salah satu bangunan yang terdampak merupakan milik kliennya. Saat itu pemkot telah memberikan uang ganti rugi lebih dari Rp 2 miliar terkait dengan bangunannya. Nah, setelah itu, pemkot kembali akan mengganti bidang tanah tersebut. Namun, saat pergantian itu, PT KAI justru mengklaim jika tanah tersebut merupakan miliknya.
Padahal, menurut dia, bukti yang dimiliki PT KAI tidak tepat adanya. Sebab, versi kliennya, tanah itu dibeli dari milik perorangan pada zaman pendudukan Belanda. ’’Ada sertifikat hak guna bangunannya itu. Kalau PT KAI mengklaim tanah itu, kenapa ada sertifikat yang keluar?’’ tegas dia.
Bagi pengacara kelahiran Medan tersebut, kliennya telah mengelola tanah tersebut hampir 25 tahun. Namun, selama waktu pengelolaan tersebut, tidak ada yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut. Tibatiba, saat adanya ganti rugi, PT KAI seolah-olah mengaku tanah tersebut merupakan miliknya dengan peta bidang itu.