Merdeka Belajar Melalui Berkesenian (Rupa)
PADA Desember 2019, Mendikbud Nadiem Makarim mencanangkan kebijakan baru yang bertajuk Merdeka Belajar. Kebijakan itu bertujuan memperbaiki pembelajaran yang selama ini hanya berfokus pada hasil ujian nasional. Berikutnya, ujian sekolah berstandar nasional (USBN) akan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Sekolah menjadi penentu bentuk penilaian. Bisa berupa karya tulis ilmiah, portofolio, atau penugasan lain.
Merdeka Belajar dapat menjadi momentum yang baik bagi guru dan siswa dalam mengeksplorasi materi belajar. Tidak bisa dimungkiri, sebagian besar teori belajar-mengajar yang diterapkan di Indonesia masih mengadopsi pendidikan Barat (salah satunya melalui penjajahan). Akibatnya, perpaduan dan kesejajaran antara rasio dan kreativitas dalam proses belajar-mengajar belum bisa dicapai secara optimal. Salah satu alternatif melatih kreativitas dan proses kreasi dapat dilakukan melalui berkesenian.
Kreativitas dan proses kreasi berkaitan erat dengan gambar dan menggambar anak. Sebab, anak berkomunikasi dengan bahasa rupa gambar sebelum bisa menulis. Prof Nang Primadi Tabrani dalam bukunya, Proses Kreasi, Gambar Anak, dan Proses Belajar (2014), menyatakan bahwa semua anak pasti suka menggambar. Terlepas dari anak memiliki bakat atau tidak. Kegiatan menggambar perlu dibina dan diberi ruang kebebasan sejak dini. Melalui menggambar, anak diberi kesempatan berpikir dan berimajinasi agar kemampuan kreatifnya berkembang.
Pada mata pelajaran yang mengutamakan rasio, anak dituntut menemukan satu jawaban yang benar dan pasti. Sebaliknya, dalam berkesenian, tidak ada yang benar dan salah. Anak didorong untuk berkreasi dan bereksperimen. Menggambar relatif mudah dilakukan jika dibandingkan dengan kegiatan seni lainnya. Ketika menggambar, anak sedang bermain, bereksperimen, berekspresi, dan berkreasi. Yang terpenting bukanlah hasil gambarnya bagus atau tidak, melainkan proses menghasilkan suatu gambar.
Pendidikan kesenian merupakan salah satu upaya memberikan keseimbangan pada pribadi manusia. Yakni, pribadi yang memiliki intelektual, ketajaman dan kehalusan rasa, serta kemampuan kerja terampil yang tampak pada perilaku etisestetis-artistik. Dari satu sisi, sikap estetis dapat mempertajam potensi afektif dan sisi lain dapat pula merangsang tumbuhnya kreativitas yang merupakan unsur vital dalam pembentukan karakter. Pendidikan seni di sekolah tidak bertujuan menghasilkan seniman cilik, tetapi mengusahakan pendidikan menjadi manusia seutuhnya.
Pendidikan di sekolah, terutama sekolah dasar dan usia dini, memang sudah seharusnya meningkatkan kemampuan rasio dan berbahasa kata. Namun, pendidikan juga tidak boleh mematikan kemampuan mengembangkan bahasa rupa gambar anak melalui berpikir dengan imajinasinya. Dengan kebijakan Merdeka Belajar, diharapkan guru tidak terjebak pada kompetensi akhir semata.
Dalam menghadapi generasi milenial saat ini, sekolah dan guru perlu mengembangkan metode pembelajaran yang lebih menyenangkan, menciptakan iklim belajar yang menunjang, serta akrab dan kondusif. Metode pembelajaran yang menyenangkan bukan berarti tanpa kesulitan.
Kreativitas justru akan berkembang bila ada ’’cukup kesulitan’’. Sekolah dan guru dapat menstimulus kreativitas siswa dengan memberi tantangan-tantangan menyenangkan. Tantangan yang merangsang proses kreasi siswa.
Integrasi kesenian dan mata pelajaran lain dapat menjadi wahana meleburnya kemampuan kreatif-fisik-rasio siswa melalui proses bermain, belajar, bereksperimen, berekspresi, dan berkreasi. Sebab, generasi yang rasional dan kreatif adalah impian semua bangsa. Bangsa yang tidak kreatif cepat atau lambat akan digilas sejarah.
*Dosen Universitas Kristen (UK) Petra, tinggal di Tambakrejo, Waru
Guru, dosen, pendidik, dan para profesional lain yang ingin mengeksplorasi gagasan dipersilakan mengirim tulisan lewat email