Takut Tertular, Eksodus Warga Natuna Berlanjut
KEPUTUSAN pemerintah mengarantina para WNI di Natuna terus memicu ketakutan masal dari warga setempat. Imbasnya, ratusan warga yang tinggal di sekitar lokasi karantina mengungsi ke luar pulau. Aksi eksodus itu bahkan masih berlangsung hingga kemarin. Wartawan Jawa Pos Ilham Dwi Wancoko yang kemarin berada di Natuna melaporkan, ada dua jalur yang bisa digunakan untuk keluar dari pulau. Yakni, jalur udara dan laut J
Untuk jalur udara, hanya ada dua kali penerbangan dalam sehari. Kapasitas pesawat hanya 170 dan 130 orang. Untuk penerbangan keluar Natuna kemarin, dua pesawat sudah terisi penuh.
Untuk jalur laut menggunakan kapal, jadwalnya hanya seminggu sekali. Kapal Bukit Raya menjadi satu-satunya kapal yang melayani keluar Natuna. Berdasar data Dinas Perhubungan Natuna, sebelum WNI dari Wuhan tiba, rata-rata jumlah penumpang Kapal Bukit Raya hanya 400 orang per perjalanan.
Namun, pada Minggu malam (2/2) atau saat WNI dari Wuhan tiba, jumlahnya meningkat menjadi 675 orang. ”Saya tidak mengetahui kenapa meningkat, mungkin karena kebetulan sekolah libur,” tutur Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Natuna Iskandar D.J.
Eksodus warga begitu terasa di Desa Kota Tua, Penagi. Jarak desa tersebut dengan lokasi karantina hanya sekitar 1 km. Ketua RT 1 Kota Tua Penagi Yohanes Suprianto menuturkan, jumlah warga di desanya mencapai 373 jiwa. Dari jumlah itu, yang memutuskan eksodus sebanyak 81 orang. ”Itu hanya yang melapor ke saya, ya,” tutur dia saat ditemui di rumahnya kemarin. Dia memprediksi jumlah itu akan makin banyak. ”Tapi, menunggu kapal. Kapal yang Minggu malam rutenya tidak ke pulau tujuannya,” jelasnya.
Sementara itu, Kiki Firdaus, koordinator warga penolak karantina, membenarkan adanya sebagian besar warga yang memutuskan eksodus. Salah satunya adalah tetangganya yang bernama Fadli. ”Sebenarnya Fadli ini ada tugas kedinasan,” ujarnya. Tapi, karena ada WNI dari Wuhan yang dikarantina di Natuna, Fadli sekalian membawa istri dan anaknya. ”Mereka ke Pulau Serasan,
salah satu pulau terdekat di Natuna,” jelas dia kepada Jawa Pos kemarin.
Sebenarnya ketakutan warga Natuna terhadap proses karantina itu disebabkan minimnya sosialisasi dari pemerintah pusat. Kiki sendiri baru mengetahui Natuna digunakan sebagai tempat karantina pada Jumat malam (31/1). ”Itu juga dari surat edaran yang dikirim melalui WhatsApp,” ujarnya.
Sama sekali tidak ada penjelasan dari pemerintah. Misalnya, soal bagaimana keamanan lokasi karantina. ”Kami hanya tahu dari surat edaran dan berita,” keluhnya.
Dia juga menyebut ada pembohongan publik. Sebab, pemerintah menyatakan lokasi karantina berjarak 6 kilometer dari permukiman terdekat. Kiki menuturkan, rumahnya hanya berbatasan hutan bakau dengan lokasi karantina. ”Saya sudah cek melalui Google Map, jaraknya hanya 1,5 km dari rumah saya di Pering,” terangnya.
Keluhan juga disampaikan Yohanes Suprianto. Dia menuturkan, sebagai warga yang bermukim paling dekat dengan lokasi karantina, dirinya tidak mendapatkan informasi apa pun dari pemerintah pusat. Baik dari Kementerian Kesehatan maupun kementerian lain. ”Hanya ada dari Dinas Kesehatan Kabupaten Natuna yang memberikan selembar kertas tentang cara mencegah virus korona,” jelasnya.
Hal itu membuat warga merasa waswas. Menurut dia, kalau saja pemerintah melakukan sosialisasi beberapa hari sebelumnya, kondisinya pasti berbeda. Dia menegaskan, warga di sekitar lokasi karantina memiliki hak untuk mengetahui dampak dari adanya lokasi karantina WNI dari Wuhan. Warga juga perlu tahu usaha pemerintah untuk mencegah virus korona menjangkiti warga setempat. ”Informasi semacam ini sama sekali tidak didapatkan. Kalau kami dapat informasi ini, tentu ketakutan berkurang,” ujarnya.
Dia bercerita, saat WNI dari Wuhan tiba di Natuna, ketakutan begitu terasa di kalangan warga Desa Kota Tua. Itu, antara lain, dialami keluarga Edi Suroso atau Tedja dan istrinya, Biah. Pada hari yang sama dengan kedatangan WNI dari Wuhan, Biah langsung berkemas-kemas untuk pindah. ”Dia lapor ke saya sembari menangis histeris,” ucapnya.
Saat itu semua warga merasakan ketegangan. Biah akan pindah dulu untuk menghindari kemungkinan terjangkit virus korona. ”Itu wajar karena anaknya yang kecil usia 1 tahun memang sedang sakit-sakitan,” paparnya.
Sementara itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono menyatakan, penempatan observasi di Natuna didasari banyak pertimbangan. Sebenarnya banyak opsi yang disiapkan. Namun, melihat jumlah WNI yang harus diobservasi, waktu, dan kedaruratan, pangkalan militer terpadu di Natuna menjadi pilihan.
Terkait dengan penolakan warga, Anung menjelaskan bahwa Kemenkes telah memiliki skenario penanggulangan. Jarak antara tempat observasi dan perkampungan dinilai cukup jauh. ”Virus itu tidak kuat (tidak bertahan, Red) dalam udara,” papar dia.
Selain itu, tenda atau kamar yang digunakan untuk karantina sudah diatur sedemikian rupa. Misalnya, tenda terdiri atas dua lapis dan ada pengaturan sirkulasi udara. Dengan cara itu, dia berharap tidak terjadi penularan ke masyarakat.
Pertimbangan lainnya adalah kondisi psikologis WNI yang dievakuasi. Sebenarnya ada tempat yang lebih jauh dan terpencil. Namun, jika ditempatkan di lokasi tersebut, dikhawatirkan 238 WNI itu stres. ”Konsep karantina ini untuk observasi, bukan membatasi,” bebernya.