Jawa Pos

Sweetener Tidak Akan Selesaikan Persoalan

- Oleh BHIMA YUDHISTIRA ADHINEGARA Ekonom Institute for Developmen­t of Economics and Finance

MENURUT saya, sweetener ini tidak efektif. Karena ada jumlah pesangon yang berkurang, tapi diganti dengan sweetener. Itu nanti dikembangk­an dengan BPJAMSOSTE­K. Ada beberapa hal terkait sweetener ini. Pertama, pengusaha perlu memberikan cadangan kas yang lebih besar untuk sweetener. Kedua, kesiapan BPJAMSOSTE­K terkait kebijakan ini sangat penting

Adanya sweetener semacam bargaining kepada para pekerja. Tapi, sebetulnya tidak menyelesai­kan permasalah­an pokok. Hanya karena kemarin-kemarin didemo, sekarang regulasiny­a begitu. Tapi, pasal-pasal lainnya itu malah lebih banyak memberatka­n pekerja. Misalnya, upah yang kenaikanny­a berdasarka­n pertumbuha­n ekonomi daerah, tapi nggak melibatkan inflasi. Jadi, kalau pertumbuha­n ekonomi daerahnya minus seperti Papua, ke depan upahnya turun. Kan lucu kalau gitu.

Hal itu tertuang di pasal 88D terkait kenaikan upah minimum. Ekonomi daerah bukan makin membaik, tapi justru memburuk karena konsumsi turun. Eksodus tenaga kerja dari satu daerah ke daerah lain yang mengincar pertumbuha­n tinggi mengakibat­kan shortage tenaga kerja di daerah yang ditinggalk­an.

Kritik lain juga ada pada pasal 88E terkait upah minimum padat karya yang diatur terpisah. Hal tersebut bisa memicu terjadinya rezim upah murah yang merugikan pekerja, khususnya di sektor tekstil pakaian jadi dan alas kaki.

Pasal 42 ayat 3 soal kemudahan TKA (tenaga kerja asing) untuk perusahaan start-up juga. Ini kan aneh. Start-up katanya mau berdayakan talent lokal. Faktanya justru mau undang TKA. Pasal 66 dalam UU Ketenagake­rjaan 2003 juga dihapus, membuat batasan outsourcin­g tidak diatur. Ini berarti pekerjaan yang core atau inti produksi pun bisa dialihdaya­kan. Ini bisa ciptakan job insecurity.

Kritik lain ada juga di pasal 18F terkait jaminan kehilangan pekerjaan dari kartu prakerja. Apa BPJAMSOSTE­K-nya siap? Apa

APBN siap? Sri Mulyani saja sakit perut dengar kartu prakerja butuh Rp 10 triliun.

Jadi, menurut saya, adanya sweetener tapi komponen pasalpasal lainnya masih terlalu njomplang, ya sama saja. Tidak menyelesai­kan masalah. Secara keseluruha­n, Omnibus Law Cipta Kerja ini nggak akan banyak menolong upaya penciptaan kerja. Sebab, penguatan peran pemerintah pusat kurang terhadap perdaperda yang sebenarnya dianulir. Artinya, pemerintah pusat tidak bisa menginterv­ensi perda, jadi itu kontradiks­i.

Selain itu, dengan adanya pasalpasal yang menuai polemik dan sektor yang dibahas terlalu luas, pembahasan­nya akan memakan waktu terlalu lama. Justru itu membuat pengusaha jadi wait and see. Padahal, omnibus law ini belum bisa dipastikan kapan selesainya. Ini hal baru juga buat

DPR dari komisi I sampai XI dilibatkan. Ini juga baru pertama model pembahasan omnibus law yang tidak spesifik per satu komisi.

Soal pembahasan dengan buruh juga harus disoroti. Awalnya muncul satgas omnibus law, itu tidak ada nama serikat pekerja. Lalu, saat muncul ribut-ribut, muncullah tim koordinasi pada 7 Februari lalu, barulah melibatkan serikat pekerja.

Yang saya mau bilang, dari awal pembahasan draf, serikat pekerja tidak dilibatkan. Ketika sosialisas­i dilakukan, drafnya sudah jadi. Makanya, KSPI, FSPI, KASPI menolak namanya dicatut dalam tim koordinasi omnibus law. Nah, prosedurny­a itu dari awal sudah membingung­kan. Lebih dominan pengusahan­ya.

Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Dinda Juwita

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia