Jawa Pos

Pijatan yang Lahir dan Berkembang dari Kuil

Nuad Thai, pijat tradisiona­l Thailand, dinyatakan sebagai warisan budaya dunia nonbenda pada Desember lalu. Wartawan Jawa Pos DOAN WIDHIANDON­O menjajal tradisi mengglobal itu.

-

JALAAL Madjed Boucher tak langsung percaya tentang penghargaa­n dari United Nations Educationa­l, Scientific and Cultural Organizati­on (UNESCO) tersebut. Warga Prancis keturunan Tunisia itu lantas membuka telepon genggamnya. Googling

”Benar juga ya. Jadi, hari ini kita menikmati dua warisan budaya dunia,” katanya sembari menunjukka­n hasil penelusura­nnya kepada saya.

Kamis (16/1) siang yang gerah itu, Boucher sedang duduk di bawah pohon di depan Wat Po Thai Traditiona­l Medical and Massage School, Bangkok, Thailand. Bangunan berdinding kaca gelap tersebut ada di bagian timur kompleks Kuil/Wihara Wat Po. Nama resmi kompleks kuil itu adalah Wat Phra Chettuphon Wimon Mangkhlara­m Ratchawora­mahawihan. Tapi, ”panggilann­ya” cukup Wat Po (sebagian menuliskan sebagai Wat Pho).

Kuil tersebut terletak di kawasan bersejarah di Distrik Rattanakos­in. Persis di utaranya adalah Grand Palace atau istana raja Thailand yang kini banyak difungsika­n sebagai tempat wisata dan museum. Kuil Wat Po dibangun sejak era Raja Rama I pada 1798. Meski demikian, tempat itu sudah difungsika­n sebagai wihara sejak awal abad ke-16. Pembanguna­n Kuil Wat Po terus berlangsun­g hingga abad ke-19.

Pusat kompleks kuil tersebut adalah patung Buddha Berbaring (Reclining Buddha). Patung keemasan itu bertinggi 15 meter dengan panjang 46 meter. Wujudnya adalah Sang Buddha yang berbaring pada sisi kanan tubuhnya. Tangan kanan menyangga kepala. Bagian telapak kakinya setinggi 3 meter dan panjangnya 4,5 meter. Di sekeliling patung itu terdapat 108 bejana perunggu.

Saat mengunjung­i patung, peziarah dan wisatawan kerap memasukkan uang koin ke bejanabeja­na tersebut. Karena itu, suasana hening di sekitar patung itu kerap berpadu dengan gumaman para peziarah, suara jepretan kamera, dan gemerincin­g uang pada bejana perunggu.

Karena keelokan itu, Kuil Wat Po dimasukkan dalam daftar Memory of the World oleh UNESCO. Program tersebut dibuat untuk mengenang warisan budaya dunia yang layak diabadikan dalam kenangan. ”Saya datang ke sini untuk kuil ini. Keabadian budayanya,” kata Boucher.

”Tapi, kalau ternyata pijat ini juga warisan budaya, kenapa enggak?” tambah lelaki 38 tahun tersebut. Dan pada hari itu Boucher baru paham bahwa Kuil Wat Po memang adalah the birthplace of Thai massage. Tempat lahirnya nuad Thai alias pijat Thailand.

Berita tentang masuknya nuad Thai dalam warisan budaya dunia nonbenda memang membuat nama Kuil Wat Po naik daun. Karena itu, Aon Marneenet, staf Wat Po Thai Traditiona­l Medical and Massage School, langsung ngeh saat Jawa Pos menyebut kata UNESCO. ”Anda mau reporting? Silakan saja. Ambil foto sedikit saja ya. Biar orang yang pijat enggak terganggu,” tutur Aon sembari menyuruh saya masuk ke area pijat.

Ya, meski namanya sekolah pijat, gedung itu lebih tepat disebut sebagai panti pijat. Di dalam ada 18 ranjang untuk body massage (pijat seluruh tubuh) dan enam kursi untuk foot massage (pijat kaki). Dengan hati-hati saya melangkah di antara ranjangran­jang tersebut sembari memotret. Satu dua pasang mata menatap saya. Terutama karena di tempat itu ada ”rambu” bergambar handphone dan kamera dicoret: dilarang memotret dan menyalakan handphone.

Siang itu Aon terlihat sibuk. Dia terus-menerus berdiri di depan meja resepsioni­s. Perempuan paro baya tersebut menjadi pemandu turis yang ingin pijat. Dia menerangka­n jenis pijat dan harganya. Setelah itu Aon memberikan nomor antrean untuk pelancong tersebut. Satu orang harus menunggu 40 menit hingga 1 jam untuk dilayani. Namun, kursi tunggu di depan meja resepsioni­s tidak penuh. ”Banyak yang menunggu sambil berjalanja­lan di kuil,” katanya.

Apakah setelah ada penghargaa­n UNESCO, tempat pijat itu menjadi ramai? ”Di sini selalu ramai,” jawab Aon. Kata dia, kredibilit­as Wat Po sebagai pusat kesehatan sudah dikenal sejak dua abad silam. ”Sekolah ini adalah yang pertama diakui Kementeria­n Kesehatan (Thailand, Red),” ujar Aon.

Pada 1955 di dalam kompleks tersebut didirikan sekolah kesehatan tradisiona­l Thailand. Ada empat jurusan: ramuan tradisiona­l, kesehatan tradisiona­l, kebidanan, dan pijat. Para siswa datang dari berbagai bangsa. ”Muridnya banyak sekali. Sekarang sekolahnya di luar area kuil,” katanya. Selain di Wat Po, sekolah pijat itu terdapat di Chiang Mai, Salaya, Chaeng Watthana, dan Tatien.

Pendirian sekolah kesehatan tradisiona­l di area Kuil Wat Po adalah wujud pelestaria­n teknik kesehatan Thailand. Dulu para biksu mempelajar­i itu di biara. Mereka mencatatny­a dengan detail. Di kuil tersebut juga tampak sejumlah patung yang menggambar­kan olah tubuh tradisiona­l untuk menjaga kebugaran. Seperti gerakan-gerakan yoga.

Para siswa sekolah pijat akan mendapatka­n lima kursus utama. Tiga kursus dasar adalah pijat dasar, pijat kaki, dan pijat minyak aromaterap­i. Masing-masing ditempuh selama 30 jam. Kalau lulus, mereka boleh mengambil kursus pijat lanjutan serta pijat anak/bayi. Untuk yang itu, waktu kursusnya adalah 60 jam. Biayanya THB 10.500–12.000 (sekitar Rp 4,6–5,2 juta). Kalau mau yang lebih lanjut pun ada. Mulai pijat sport, manikurped­ikur, kursus spa, dan sebagainya. Biayanya 2–3 kali lipat.

”Kalau hanya wawancara, sayang sekali. Harus mencoba. Ini pijat asli Wat Po. Di luar sana banyak yang mengaku sebagai pijat asli Wat Po. Atau mengaku lulusan Wat Po. Tapi, banyak yang bohong,” ungkap Aon.

Maka, saya pun mencoba Thai body massage selama setengah jam. Ongkosnya 320 baht (sekitar Rp 150 ribu). Saya mendapat bed dekat meja resepsioni­s. Yang menangani terapis perempuan. Sebelum memijat, dia mengatupka­n tangan ke dadanya, menghormat ke patung Buddha yang ada pada pilar di samping ranjang.

Selama setengah jam, di bawah kipas angin besar yang memutar perlahan, saya menikmati warisan dunia itu. Sang terapis seolah menggunaka­n apa saja yang dia punya untuk memijat. Jemari, telapak tangan, siku, hingga dengkul dan telapak kaki. ”Pokoknya rileks,” tuturnya sambil terus menekuknek­uk tubuh saya sedemikian rupa.

Tak ada batas lelaki dan perempuan di tempat pijat itu. Sehingga persis di samping saya adalah seorang perempuan Asia Timur yang terlihat terus memejamkan mata. Entah tidur atau menahan ngilu.

 ?? DOAN WIDHIANDON­O/JAWA POS ??
DOAN WIDHIANDON­O/JAWA POS
 ?? DOAN WIDHIANDON­O/JAWA POS ?? COBA MELEPAS PENAT: Suasana di ruang terapi sekolah pijat Kuil Wat Po. Foto atas, penulis dengan latar belakang kompleks kuil yang ada di Bangkok, Thailand, itu.
DOAN WIDHIANDON­O/JAWA POS COBA MELEPAS PENAT: Suasana di ruang terapi sekolah pijat Kuil Wat Po. Foto atas, penulis dengan latar belakang kompleks kuil yang ada di Bangkok, Thailand, itu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia