Antara Deradikalisasi dan Moderasi Beragama
PERSOALAN deradikalisasi dan moderasi telah menjadi topik perbincangan dalam banyak forum ilmiah. Dalam kegiatan dakwah, deradikalisasi dan moderasi juga menjadi materi ceramah. Pemerintah juga turut memopulerkan tema radikal dan radikalisme dalam berbagai konteks. Presiden Joko Widodo secara khusus mengamanahkan kepada Kemenag dan institusi lain untuk memperhatikan radikalisme.
Mengapa perhatian terhadap radikalisme begitu besar? Jawabannya, karena radikalisme dipahami sebagai paham yang mengajarkan kekerasan. Persepsi Barat terhadap Islam menjadi rujukan memaknai radikal dalam konteks kekerasan. Dunia Barat memahami Islam dengan gambaran yang menakutkan sehingga memunculkan gejala Islamofobia. Karena itulah, tidak mengherankan jika di dunia akademik, kajian tentang Islam tercurah pada tema-tema radikalisme. Sebagaimana yang tergambar melalui karya dengan judul yang menakutkan seperti Islam radikal (radical Islam), Islam militan (militant Islam), dan jihad (sacred rage).
Lebih mendalam, kata radikal merupakan konsep yang netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Radikalis yang menjadi sifat kata radikal berasal dari bahasa Latin, yakni radix atau radici berarti akar, sumber, dan asal mula. Secara filosofis, radikal dimaknai lebih luas dengan arti mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan yang esensial. Radikal juga bermakna kegiatan berpikir yang tidak biasa (unconventional). Secara sosiologis radikalisme juga multiperspektif, bergantung pada subjek yang memahami dan dalam konteks apa konsep itu digunakan.
Dengan demikian, radikalisme dapat bermakna positif dan negatif. Radikal bermakna positif jika dipahami sebagai pikiran, sikap, dan tindakan seseorang atau kelompok orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai yang mendasar. Mendasar berarti berpegang pada akar keyakinan sebagaimana diajarkan dalam semua agama. Tetapi, harus diakui, kata radikal yang kemudian berkembang menjadi paham atau isme (radikalisme) sering mewujud dalam budaya suka menyalahkan dan mengafirkan. Budaya itu menjadikan karakter radikal lebih berkonotasi negatif.
Karakter radikal juga diekspresikan dalam bentuk kekerasan pada orangorang yang tidak sepaham dengan dirinya. Menurut Ahmad Syafi’i Maarif, kelompok radikalis dengan karakter negatif selalu berpikiran he who is not with me is against me (orang yang tidak mengikuti saya adalah musuh saya). Pandangan tersebut sangat berbahaya karena dapat menghadirkan teror bagi orang lain. Dampaknya, mereka yang terteror mengalami ketakutan. Jika terus dikembangkan, dimensi negatif dari radikalisme dapat melahirkan ”Khawarij gaya baru” yang memandang enteng penderitaan, bahkan kematian, orang lain.
Sebagai fenomena sosial keagamaan, gerakan radikalisme juga menempuh jalan kekerasan untuk mencapai tujuan. Pelaku radikalisme dan terorisme bahkan menggunakan ajaran jihad untuk melegitimasi strategi perjuangan fisik mengangkat senjata dengan mempertaruhkan nyawa. Padahal, jihad tidak harus dimaknai sebagai perjuangan fisik. Buya Sutan Mansur (1895–1985), misalnya, memaknai jihad dengan arti ”bekerja sepenuh hati”. Pemahaman itu menarik karena jihad tidak dimaknai berjuang atau berperang, tetapi bekerja. Dengan spirit jihad dalam pengertian berperang itulah, ajaran radikalisme terus disemai sehingga menjadi ideologi. Sebagai ideologi, radikalisme terus tumbuh sehingga sulit dilumpuhkan.
Karena ideologi radikalisme terus dikembangkan, seluruh elemen bangsa harus terlibat aktif melawan ideologi radikal. Usaha melakukan kontraradikalisme dan penyembuhan terhadap mereka yang terpapar ideologi radikal disebut deradikalisasi. Deradikalisasi juga dimaknai sebagai usaha menetralkan paham radikal bagi terduga teroris, keluarga teroris, simpatisan, dan individu yang terpengaruh paham radikal. Tegasnya, deradikalisasi merupakan usaha untuk mengubah ideologi, pemikiran, pemahaman, sikap, dan tindakan seseorang yang semula radikal menjadi tidak radikal. Strategi yang dilakukan melalui reedukasi, resosialisasi, dan penanaman nilainilai multikulturalisme.
Tetapi, harus diakui, deradikalisasi yang dilaksanakan pemerintah melalui BNPT sering menggunakan kekerasan. Ironisnya, kekerasan terhadap terduga teroris sering dilakukan aparat di depan keluarganya. Perlakuan itu pasti menghadirkan trauma mendalam, bahkan sangat mungkin dendam kesumat, bagi keluarga terduga teroris. Bukan hanya di negeri tercinta, penanganan radikalisme di negara lain juga menggunakan kekerasan. Jalan perdamaian untuk menangani radikalisme sebagaimana diserukan sosiolog Johan Galtung sepertinya tertutup. Di hadapan pendukung gerakan perdamaian, Galtung pernah berseru, ”Moderates all over the world, unite (Kaum moderat sedunia, bersatulah)!”
Deradikalisasi juga menempatkan mereka yang menjadi sasaran program terstigma sebagai radikalis. Mereka juga divonis anti-NKRI dan anti-Pancasila. Dengan berbagai kelemahan itulah sebagian kalangan menawarkan program moderasi beragama. Dalam konteks Islam, moderasi beragama disebut wasatiyyah Islam. Kata wasatiyyah lazim digunakan untuk menyebut posisi tengah di antara dua ekstremitas. Jika dikaitkan dengan agama, moderasi bermakna pemikiran, sikap, dan perilaku dalam beragama dengan mengambil posisi tengah (wasatiyyah).
Moderasi beragama dapat menjadikan pemeluknya terhindar dari sikap ekstrem dan berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran agama (ghuluw). Pendekatan moderasi memperoleh justifikasi dari sejumlah intelektual seperti Mohammad
Hasyim Kamali dalam The Middle Path of Moderation in Islam (2015). Buku itu menekankan pentingnya moderasi beragama di tengah menguatnya radikalisme dan fundamentalisme. Pertemuan tingkat tinggi yang diikuti ulama dan sarjana muslim dari berbagai dunia di Bogor pada 1–3 Mei 2018 juga menekankan pentingnya wasatiyyah Islam. Wasatiyyah dipandang sebagai strategi jitu melawan radikalisme sekaligus mewujudkan peradaban global.
Pada konteks itulah pemerintah dan civil society penting melakukan penguatan moderasi untuk mengonter radikalisme. Harus diakui, moderasi juga bukan tanpa kritik. Din Syamsuddin, misalnya, menilai moderasi terlalu reduksionis dan mengalami penyempitan makna. Tetapi, jika dibandingkan dengan deradikalisasi, moderasi beragama terasa lebih positif karena mereka yang menjadi sasaran program terhindar dari stigma radikalis. Apalagi, moderasi juga mengutamakan pendekatan dialogis dan humanistis. Melalui strategi itu, mereka yang potensial terpapar ideologi radikal dapat diajak untuk merumuskan berbagai narasi kontraradikalisme. Dengan cara itu ideologi radikalisme akan tergerus dan digantikan model beragama yang moderat. *) Guru besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, wakil sekretaris PW Muhammadiyah Jatim
Ringkasan pidato pengukuhan penulis sebagai guru besar di UIN Sunan Ampel Kamis (13/2)