Minta Pemkot Lindungi Gedung Eks RS Mardi Santoso
SURABAYA, Jawa Pos – Sebuah bangunan kuno di Jalan Bubutan, Kecamatan Bubutan, tampak tidak terurus. Bangunan berlantai dua dalam area seluas 3 hektare itu dulu dikenal sebagai RS Mardi Santoso. Tetumbuhan lebat menutupi hampir seluruh bangunan. Hanya tampak gevel atau atap yang berbentuk segi tiga.
Menurut Sunawan, penjaga gedung tersebut, sejak 2009 bangunan bekas rumah sakit itu menjadi Restoran Hallo Surabaya. Namun, pada 2014 restoran itu berhenti beroperasi. Dia tidak tahu alasannya. Dia hanya menjalankan tugas untuk menjaga bangunan tersebut. Sunawan juga berkeberatan menyebut nama pihak yang menggajinya selama ini.
”Itu bangunan peninggalan Londo.
Cagar budaya juga. Makanya, saat dibangun restoran, gedung bekas RS masih ada. Di pojok selatan juga ada prasasti,” jelasnya. Saat ini, properti yang dijaganya itu dalam proses dijual. ’’Sejak empat tahun lalu. Katanya banyak yang menawar, tapi harganya belum cocok,’’ jelasnya.
Dosen ilmu sejarah dari Universitas Airlangga (Unair) Adrian Perkasa membenarkan bahwa bangunan itu cagar budaya. Menurut dia, pindahnya kepemilikan bangunan cagar budaya tersebut legal. ”Iya, asal memperhatikan ketentuan undang-undang yang berlaku. Khususnya UU Cagar Budaya,” katanya kemarin (13/2).
Bangunan cagar budaya itu tidak selalu dimiliki negara. Dia mencontohkan bangunan rumah milik Soekarno yang statusnya sebagai cagar budaya. Tapi, bangunan itu tidak dimiliki negara. Adrian menambahkan, siapa pun bisa memilikinya. Asalkan tidak mengubah dan mengganti bangunan baru. ”Itu penting. Kalau diubah, pemilik melanggar undang-undang,” tegasnya.
Menurut dia, gedung eks RS Mardi Santosa itu harus tetap berdiri karena terbilang sangat lawas. Kandidat PhD dari Universitas Leiden tersebut mengungkapkan, bangunan itu pernah menjadi panti asuhan perempuan pada 1854. Gedung tersebut juga pernah dikunjungi Gubernur Jenderal Hindia Belanda D. Fock. ”Saya mendapat foto kunjungannya dari situs lembaga ilmiah, KITLV di Leiden,” katanya.
Dia sependapat dengan Sunawan. Bangunan cagar budaya itu harus tetap difungsikan agar bisa bermanfaat, baik untuk pemiliknya, penggunanya, maupun masyarakat. Menurut dia, jika menjadi restoran kurang menguntungkan, gedung tersebut bisa menjadi tempat industri kreatif atau galeri kesenian.
Kepala Disbudpar Surabaya Antiek Sugiharti juga mengatakan bahwa gedung tersebut berstatus cagar budaya. Namun, area itu milik pribadi. Belum ada permohonan untuk melakukan renovasi dan perbaikan. ”Iya tidak harus milik pemkot. Tapi, keberadaannya dilindungi undangundang,” tandasnya.