Jawa Pos

Pilih Habiskan Waktu atau Uang

Zimbabwe sudah kekurangan sumber daya air sejak lama. Namun, kemarau panjang membuat penduduk makin frustrasi. Terutama, keluarga miskin yang tak punya banyak pilihan.

- MOCHAMAD SALSABYL ADN, Jawa Pos

RUTINITAS pagi Florence Kaseke selalu sama. Setiap subuh tiba, warga Kota Chitungwiz­a, 30 kilometer dari ibu kota Harare, itu bakal bersua dengan tetanggany­a di sumur kampung. Bukan untuk nongkrong dan bergosip. Melainkan antre jatah air hari itu.

”Pagi ini saya bangun pukul 04.00 dan masuk ke antrean pompa air,” ujarnya kepada Al Jazeera.

Aktivitas harian Kaseke berputar di pompa kampung. Pukul 06.00, perempuan berusia 34 tahun itu bakal keluar dari antrean untuk mempersiap­kan keperluan anaknya sebelum berangkat sekolah. Pukul 08.00, dia kembali datang untuk mengecek posisi antrean yang sudah dipesan. Satu jam kemudian, ibu dua anak itu baru mendapatka­n jatah airnya.

Bagi warga Chitungwiz­a, antre air sudah menyedot sebagian besar waktu mereka. Banyak penduduk yang menunggu semalam suntuk untuk mendapatka­n air. Terkadang mereka harus bergantian dengan anggota keluarga lain agar antrean tak diserobot.

”Hampir setiap waktu kami harus berjaga di sumur. Sedangkan saya terus menua,” ujar Sarah Zanga, penduduk lokal yang berusia 75 tahun.

Rakyat Zimbabwe terpaksa menjalani rutinitas tersebut. Persediaan air yang seharusnya dipenuhi pemerintah tak bisa diandalkan. Dari keran leding pemerintah, air hanya mengalir beberapa jam pada Sabtu. Hari lainnya, keran itu kering kerontang.

”Bahkan, adakalanya air tak keluar pada Sabtu,” ungkap Fortune Magaya, perempuan berusia 21 tahun.

Tentu ada cara lain untuk memperoleh air. Yakni, membeli air yang dipompa keluarga yang lebih mampu.

Namun, harganya mencekik dompet. Zimbabwe Peace Project melaporkan, air dijual seharga 1,5 dolar Zimbabwe (Rp 57) per ember di Chitungwiz­a.

Namun, harga bisa melonjak hingga dua kali lipat saat kota dilanda pemadaman listrik. Kebanyakan penjual air menggunaka­n pompa listrik. Sedangkan pemadaman listrik bisa bertahan hingga 18 jam.

Keluarga Magaya biasanya membeli 40 liter air dalam seminggu. Namun, air tersebut hanya digunakan untuk memasak. ”Rasanya sakit setiap kali kami harus membeli air,” ungkapnya.

Kaseke juga khawatir dengan masa depan generasi muda. Sebab, banyak pemuda-pemudi yang diminta untuk menjaga antrean pada malam hari. Mereka berada di tempat itu tanpa pengawasan orang tua. ”Banyak juga suami istri yang bertengkar karena antrean itu. Mereka menuduh pasangan mereka berselingk­uh dengan alasan mengantre,” papar Kaseke.

Masalah persediaan air di Zimbabwe bukan hal asing. Namun, kemarau panjang sudah melanda Zimbabwe sejak 2018. Di Kota Harare, 1 juta jiwa hidup tanpa air leding. Dua di antara empat kolam persediaan air kosong.

Sedangkan satu fasilitas pengelolaa­n air kota, Morton Jaffray, tak beroperasi sejak September.

Memang tak semua wilayah kering tanpa hujan dua tahun terakhir ini. Namun, hujan juga belum tentu jadi solusi yang tepat. Tahun lalu penduduk Kota Buhera kebagian hujan. Yang jadi masalah, hujan itu datang karena badai Idai. Pada akhirnya, banjir menyapu rata kota tersebut. Salah satunya rumah Alice Posha. Hunian itu terseret banjir.

Tahun ini rumah perempuan yang berusia 60 tahun itu sudah kembali berdiri. Masalahnya, efek banjir tahun lalu sudah berakhir dan kampungnya juga dilanda kemarau ekstrem. Tanaman jagung di ladangnya layu. ”Saya khawatir panen tahun ini akan jelek,” ungkapnya kepada Agence France-Presse.

Meski sempat diguyur hujan dalam dua tahun terakhir, banyak wilayah bernasib seperti Buhera. Peneliti mengatakan bahwa itu adalah dampak perubahan iklim.

 ?? JEKESAI NJIKIZANA/AFP ?? GALI PASIR: Celia Munhangu menggali pasir untuk mencari seember air.
JEKESAI NJIKIZANA/AFP GALI PASIR: Celia Munhangu menggali pasir untuk mencari seember air.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia