Jawa Pos

Salah Kaprah Penggunaan Masker

- Oleh ARI FAHRIAL SYAM *)

SAAT ini jumlah kasus baru dan kasus meninggal karena terinfeksi 2019 novel coronaviru­s (2019-nCoV) atau yang kini dikenal dengan Covid-19 terus bertambah. Hingga kemarin (14/2), berdasar data dari www.worldomete­rs.info, jumlah kasus Covid-19 sudah mencapai 65.247 dengan jumlah kematian mencapai 149 pasien. Total, ada 28 negara yang sudah melaporkan kasus positif Covid-19.

Di sejumlah negara seperti Jepang, Singapura, dan Hongkong, jumlah kasus baru juga terus meningkat. Untuk Indonesia, hingga saat ini belum ada pasien suspect Covid19 yang terkonfirm­asi positif. Kondisi penyebaran Covid-19 memang cukup mencemaska­n masyarakat kita, terutama yang akan bepergian dengan pesawat terbang.

Pekan lalu kebetulan saya hari pertama terbang setelah gonjanggan­jing penyebaran virus pada pertengaha­n Januari 2020. Menarik apa yang saya amati di bandara. Saat ini lebih banyak orang yang menggunaka­n masker dibanding sebelum adanya wabah Covid-19. Hal itu membuat saya melakukan pengamatan kepada orang-orang yang berlalu-lalang di depan saya.

Dari pengamatan terhadap 118 orang yang kebetulan lalu-lalang di depan saya di Bandara SoekarnoHa­tta, Cengkareng, Tangerang, ternyata ada 23,7 persen orang yang menggunaka­n masker berbagai model dengan komposisi laki-laki dan perempuan lebih kurang sama. Yang menarik, dari 23,7 persen yang menggunaka­n masker, hanya 65 persen yang memakai masker dengan benar. Yakni, masker menutupi mulut dan lubang hidung serta kawat di hidung tertutup dengan baik.

Saya tidak mengetahui apakah mereka yang menggunaka­n masker dengan tidak benar menyadarin­ya. Mudah-mudahan saja mereka segera menyadari bahwa pemakaian maskernya tidak benar. Mereka yang salah, antara lain, mengenakan masker di dagu. Ada pula yang memakainya di leher. Atau, masker terpasang longgar. Jika melihat posisi masker, khususnya surgical mask, di dagu, mungkin mau dibuka dulu dan mungkin juga akan dipasang lagi. Justru kondisi itu bisa membuat masker jadi sumber penularan infeksi karena bagian yang terdalam sudah terlepas dan bagian luar sebagai tempat mencegah masuknya kuman di posisi yang mudah terhirup melalui hidung.

Saya merasa, kebiasaan mengenakan masker dengan tidak benar itu harus menjadi perhatian. Kalau tidak mau lagi atau risi menggunaka­nnya, sebaiknya masker dilepas dan dibuang. Selain itu, secara umum, penggunaan masker bedah tersebut hanya bisa bertahan enam jam atau harus diganti jika sudah basah atau kotor.

Ada satu hal lagi yang menarik pengamatan. Ternyata, ada yang menggunaka­n masker N95. Masker itu memang lebih efektif untuk mencegah tertular virus secara langsung karena punya daya proteksi 95 persen dari partikel yang sangat kecil. Tetapi, penggunaan­nya akan lebih tepat di ruang tertutup. Situasi yang membuat kita berada dalam keadaan akan kontak dengan orang yang sudah positif terinfeksi virus atau bakteri tuberkulos­is. Selain itu, masker N95 digunakan dalam jangka pendek, bukan seharian. Alih-alih untuk proteksi, pengguna masker N95 akan kekurangan oksigen. Apalagi, orang tersebut sedang bepergian di bandara dan berjalan atau setengah berlari untuk keperluan check-in dan boarding dengan lokasi gate agak jauh.

Salah-salah pengguna masker N95 berpotensi mengalami kekurangan oksigen atau hipoksia. Kondisi itu dapat menyebabka­n serangan jantung, stroke, atau kolaps/pingsan. Apalagi jika pengguna masker tersebut sudah memiliki masalah dengan paru-parunya.

Yang juga menarik, tidak ada satu pun orang yang menggunaka­n masker dengan posisi terbalik seperti hoaks yang viral tentang cara menggunaka­n masker secara bolak-balik.

Saya sendiri melalui akun Twitter pribadi @dokterari pernah menyurvei seputar cara penularan Covid-19 melalui airborne (udara). Dari 5.513 responden yang melakukan voting, 39 persen menyatakan bahwa virus ditularkan melalui airborne, 40 persen menyatakan tidak tahu, dan sisanya menyatakan mitos.

Dari perkembang­an terakhir, beberapa pakar kesehatan Tiongkok sudah menyatakan, pada beberapa keadaan Covid-19 ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui udara. Hingga saat ini, yang masih dianut, penularan melalui droplet cairan yang dikeluarka­n saat bicara keras, batuk, atau bersin. Apalagi, di daerah tropis seperti Indonesia saat ini, dengan suhu 30 derajat Celsius, virus cepat mati ketika berada di udara terbuka. Jadi, memang sebenarnya kalau kita tidak sedang sakit atau tidak berada di kerumunan, kita tidak perlu menggunaka­n masker.

Dari survei tersebut, kita bisa tahu bahwa tingkat pengetahua­n masyarakat seputar penyebaran virus masih rendah. Perlu disosialis­asikan secara terus-menerus tentang penyakit Covid-19 dan cara penularann­ya. Ketidaktah­uan itu membuat respons masyarakat berlebihan dalam mengantisi­pasi infeksi.

Saya juga berharap masyarakat dapat menerima secara wajar kepulangan WNI dari Wuhan, Tiongkok, yang akan menyelesai­kan masa karantina hari ini (15/2). Dari hasil karantina tersebut, hingga saat ini belum ada kasus suspect menderita infeksi Covid-19 dan tentu mereka semua diharapkan sehat.

Akhirnya, kita mengambil hikmah bahwa antisipasi penyebaran global infeksi Covid-19 bisa dilakukan dengan cuci tangan menggunaka­n sabun atau antiseptik hand sanitizer secara rutin. Tentu saja penggunaan antiseptik akan lebih efektif untuk mencegah penyakit infeksi usus, saluran pernapasan atas, dan saluran pernapasan bawah. Perlu juga menggunaka­n masker secara tepat kalau memang kita batuk atau pilek agar tidak terjadi penularan virus ke orang sekitar.

Selain itu, daya tahan tubuh tetap menjadi hal yang penting. Caranya, makan teratur, istirahat cukup, konsumsi banyak sayur dan buah, serta tidak merokok. Salam sehat. (*) *) Guru besar dan dekan Fakultas Kedokteran Universita­s Indonesia

Tingkat pengetahua­n masyarakat seputar penyebaran virus masih rendah. Perlu disosialis­asikan secara terus-menerus tentang penyakit Covid-19 dan cara penularann­ya.”

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia