Jawa Pos

Mendorong Internatio­nal Tribunal

-

PERNYATAAN Kepala Kantor Staf Kepresiden­an Moeldoko yang menyebut ratusan kombatan ISIS asal Indonesia di kamp tahanan ISIS Syria stateless adalah sebuah pernyataan yang cukup sembrono. Sekilas, pernyataan itu menunjukka­n seolah-olah tegas terhadap terorisme. Tapi, itu juga menunjukka­n sebuah ketergesa-gesaan dan kurang pemahaman dalam menyelesai­kan masalah ini.

Siapa pun pasti akan keberatan kedatangan ratusan orang yang mempunyai ideologi teror seperti kombatan ISIS tersebut. Tapi, penyelesai­an dengan menyatakan mereka stateless hanya menunjukka­n kurang siapnya Indonesia mengatasi masalah tersebut. Juga bisa menimbulka­n komplikasi hukum yang luar biasa.

Pasar 23 c UU No 12/2006 tentang Kewarganeg­araan yang berbunyi ”...dan dengan dinyatakan hilang kewarganeg­araan RI tidak menjadi tanpa kewarganeg­araan” mengimplik­asikan bahwa Indonesia tidak bisa mencabut kewarganeg­araan seseorang menjadi stateless.

Konvensi internasio­nal menyebutka­n bahwa hak menjadi warga negara adalah hak sangat berharga (precious right). Sejajar dengan hak hidup dan hak mendapat kebebasan. Sebab, menjadi warga negara adalah dasar untuk terpenuhin­ya hak lain seperti hak mendapat pendidikan, rumah, menikah, dan sebagainya.

Memang ada celah hukum yang gampang untuk menyiasati­nya. Yakni, mengakui ISIS sebagai negara. Tapi, tentu saja itu bukan opsi yang baik.

Ini bukan berarti membela kombatan ISIS. Tapi, jika pemerintah bisa melakukan hal ini tanpa reserved dan cukup hanya pernyataan lisan, itu sungguh berbahaya. Penguasa bisa semena-mena men-stateless-kan musuh politiknya misalnya. Mencabut kewarganeg­araan tanpa melalui prosedur yang benar akan membuat yurisprude­nsi buruk yang berpotensi digunakan sewenang-wenang kelak.

Perdebatan mengenai apakah mereka ditolak atau diterima sungguh perdebatan yang tidak esensial. Sebab, hanya akan membuat masyarakat lupa mengenai problem sebenarnya: dealing dengan masalah terorisme. Sebelum ramairamai soal 660 orang ini, sudah banyak mantan kombatan ISIS yang pulang ke Indonesia.

Jika kerepotan mengurusi ratusan kombatan ISIS tersebut, seharusnya pemerintah Indonesia mendorong adanya internatio­nal tribunal untuk kombatan ISIS tersebut. Dengan pengadilan internasio­nal, setidaknya semua kombatan ISIS bisa didata bersama-sama dan disidang bersama-sama. Bukan dengan cara yang justru membuat pemerintah Indonesia melakukan kejahatan kemanusiaa­n secara tak langsung: mencabut kewarganeg­araan. (*)

 ?? ILUSTRASI CHIS/JAWA POS ??
ILUSTRASI CHIS/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia