Tarik-ulur KEK, Antara Kebutuhan dan Keinginan
RENCANA untuk menjadikan area pelabuhan internasional atau Java Integrated and Ports Estate (JIIPE) menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) belum juga terang. Sudah setahun lalu, operator JIIPE mengajukan izin KEK itu kepada pemkab. Namun, persetujuan tersebut tidak juga keluar. Pemkab berdalih persyaratan belum lengkap.
Sejumlah kalangan pun telah menyuarakan penolakan atas kehadiran KEK tersebut. Mereka menilai masih banyak persoalan. Mulai status pertanahan, kekhawatiran akan dampak negatifnya, baik lingkungan, sosial, maupun budaya, hingga persoalan potensi pendapatan daerah.
Sebagian kalangan mungkin belum memahami apa itu sebetulnya KEK? Apa beda dengan kawasan industri yang selama ini sudah ada di Gresik? Misalnya, Kawasan Industri Maspion (KIM) dan Kawasan Industri Gresik (KIG). Di sejumlah negara, KEK atau dalam bahasa Inggris dinamakan special economic zone (SEZ). Yakni, sebuah wilayah dengan peraturan khusus. Lebih bebas dari peraturan ekonomi yang berlaku di negara bersangkutan.
Demikian pula KEK yang telah diusulkan di JIIPE dan sudah berdiri di beberapa wilayah lain di Indonesia. Dengan KEK, segala aktivitas perdagangan menjadi mudah. Kemudahan ekspor-impor. Perusahaan-perusahaan di kawasan industri bersangkutan bakal diintegrasikan dengan memberikan perlakukan khusus. Pelindungan dari berbagai kendala seperti masalah tarif dan kerumitan birokrasi.
Dengan KEK, bukan hanya negara yang untung. Daerah-daerah di sekitarnya juga akan terimbas. Ikut menikmati berkah positifnya. Misalnya, pertumbuhan ekonomi serta potensi penyerapan tenaga kerja. Namun, suara demikian tersebut biasanya berasal dari pihak yang mendukung KEK. Kampanye-kampanye demikian itu selalu disampaikan. Suara manfaat. Tujuannya adalah meyakinkan. Wajar saja.
Per Oktober 2019, sudah ada sebanyak 13 KEK di Indonesia. Di antaranya, Sei Mangkei, Tanjung Lesung, Palu, Bitung, Morotai, dan Maloy Batuta Trans Kalimantan. Lalu, Tanjung Api-Api, Mandalika, Tanjung Kelayang, Sorong, Arun Lhokseumawe, Galang Batang, dan Singasari. Berdasar hasil evaluasi, kehadiran KEK tersebut masih jauh panggang dari api. Belum sesuai dengan harapan.
”Dibandingkan dengan harapan kami memang masih di bawah harapan,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution seperti dikutip website CNN Indonesia (10/10). Kementerian
Oleh
SHOLAHUDDIN *)
tersebut juga akan terus melakukan evaluasi terhadap KEK yang sudah berdiri. Bila target investasi tidak terealisasi di wilayah bersangkutan, konsekuensinya akan sampai kepada pencabutan status KEK.
Rencana kehadiran KEK di wilayah JIIPE boleh jadi masih terus tarik-ulur. Yang jelas, persoalan tersebut bukan hanya urusan bupati dan investor, melainkan juga persoalan masyarakat luas. Sebab, itu menyangkut masalah dampak. Baik iming-iming dampak positif maupun potensi imbas negatifnya. Terlebih, rencana KEK tersebut berada di wilayah Kecamatan Manyar. Wilayah yang dikenal sebagai salah satu basis santri.
Karena itu, memang sebaiknya bupati atau pemkab mengkaji betul antara manfaat dan mudaratnya sebelum buru-buru mengeluarkan izin. Tidak ada salahnya, pemkab segera mengundang segenap stakeholder. Mulai tokoh masyarakat, pemerintah desa, praktisi, ulama, hingga elemen lain. Lalu, mereka berdialog dan berdiskusi secara terbuka. Bukankah seperti kaidah, mencegah kemudaratan lebih diutamakan daripada mengambil kemanfaatan?
Apalagi, bupati tidak lama lagi akan mengakhiri masa jabatannya. Jangan sampai terburu-buru mengeluarkan persetujuan. Kehadiran KEK itu kelak malah bisa menjadi bom waktu. Tidak sesuai dengan harapan dan malah memicu masalah baru pada kemudian hari. Dampak lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat setempat. Saya berprasangka baik, pertimbangan kaidah itu yang membuat bupati sejauh ini belum mengeluarkan izin.
Sebagaimana artikel Abdul Aziz, dosen ekonomi politik FISIP Universitas Brawijaya (Jawa Pos, 11/2), sesungguhnya tidak ada yang salah dengan ambisi memburu investasi, terutama investasi asing. Namun, dia menjadi problem ketika sangat diistimewakan dan diperlakukan sebagai ”tuan besar” sehingga membuat negara mengerahkan energi begitu besar untuk melayani kaum investor.
Pada waktu yang sama, terjadi pengabaian, penelantaran, dan peminggiran terhadap kepentingan kelompok-kelompok lain yang juga memiliki hak yang sama untuk dilayani dan dihormati negara. Harga diri bangsa dan nilai-nilai kedaulatan bahkan terkadang dibiarkan terinjak demi investasi.
Bagi nelayan, petani, petambak, atau pedagang-pedagang kecil di wilayah Manyar dan sekitarnya, ketika mendengar kata KEK, pastilah mereka juga bingung. Yang mereka tahu, ”KEK” adalah kayu atau batu untuk mengganjal kendaraan agar tidak berjalan mundur atau maju. Karena itu, mereka mesti juga diberi pemahaman. Dengan demikian, mereka kelak tidak terpinggirkan, terabaikan, atau terusir dari tanah kelahiran mereka. Jika KEK hadir, itu merupakan kebutuhan. Bukan keinginan orang per orang.