Peran Warga Cegah Kekerasan Anak
Dalam Program LPA Jatim dan DP5A
SURABAYA, Jawa Pos – Maraknya angka kekerasan pada anak sangat memprihatinkan. Upaya pencegahan berupaya dilakukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur (Jatim). Yakni, dengan membentuk Sistem Perlindungan Anak Tingkat RT (Sparta) dan sekolah ramah anak. ”Langkah ini diharapkan menekan terjadinya kasus kekerasan pada anak. Terutama di wilayah lingkungan sekitar mereka,” kata Sekretaris LPA Jatim M. Isa Ansori Jumat sore (14/2).
Sebab, hampir 90 persen pelaku kasus kekerasan pada anak adalah orang terdekat korban. Hal tersebut membuat lingkungan sekitar lalai. Bahkan, mereka tidak sadar potensi kasus kekerasan bisa terjadi di dekat rumahnya. ”Sparta dibuat agar masyarakat peka dan mawas diri,” ucapnya.
Nanti, lanjut Isa, setiap RT memiliki struktur kepengurusan anggota Sparta. Mereka menyosialisasikan masalah kekerasan anak. Mereka juga dituntut lebih aktif mengawasi lingkungan sekitar. Termasuk lebih peka jika tetangga sedang bermasalah. ”Sebab, bentuk kekerasan pada anak tak hanya soal fisik atau seksualitas. Tapi, juga tentang penelantaran,” paparnya.
Nah, penelantaran sering kali terjadi di keluarga yang broken home. Isa mencontohkan kasus anak yang ditali bapaknya beberapa bulan lalu. Hal tersebut imbas keluarga yang berantakan. Di samping itu, kurangnya kepedulian lingkungan sekitar.
Dalam Sparta, tidak ada soal anak siapa. Semuanya anak bersama. Dengan begitu, tanggung jawab bisa dilakukan bersama. Termasuk masalah pengawasannya. Menurut Isa, rencana pembentukan Sprata sudah dibahas dengan pemkot pada akhir tahun lalu. Hanya, belum dilakukan secara menyeluruh. ”Kami masih menunggu pemkot untuk kelanjutannya,” terangnya.
Programtersebutmembutuhkan peran warga untuk mengawasi lingkungan sekitar. Isa menuturkan, hingga saat ini ada beberapa RT yang sudah membuat Sparta. Di samping itu, upaya lainnya adalah membentuk sekolah ramah anak. Semua elemen di sekolah tersebut harus bisa nyaman bagi peserta didik. Artinya, ada indikator penilaian di dalam sekolah. Isinya mencakup apa saja yang ada di sekolah. ”Kami akan bekerja sama dengan beberapa pakar pendidikan dan psikologi. Cara ini semoga bisa menekan kekerasan pada anak, terutama soal seksualitas,” paparnya.
Sebab, jumlah kekerasan seksual pada anak cukup tinggi. Dari 101 kasus selama 13 bulan, 40 persennya adalah jenis kekerasan seksual. Sementara itu, sebagian pelakunya orang terdekat korban. Termasuk yang lokasi kejadiannya di sekolah. ”Kasus ini tak memandang siapa pelaku dan korbannya. Semua bisa berpotensi menjadi korban dan tersangka,” lanjutnya.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP5A) Kota Surabaya Chandra Oratmangun mengatakan, kekerasan anak di Surabaya ditangani dengan berbagai langkah. Mulai pencegahan hingga penanganan.
Untuk pencegahan, pemkot memiliki program Kampung Pendidikan Kampunge Arek Suroboyo (KP KAS). Program itu secara luas ingin menghidupkan kembali semangat gotong royong dan kerja sama warga. ’’Dengan kepedulian warga, semua bisa saling menjaga,’’ jelasnya.
Sementara itu, untuk pencegahan kekerasan anak, ada berbagai program yang dilakukan tiap kampung. Salah satunya pembentukan jam belajar. Beberapa kampung saat ini telah menerapkan jam belajar pukul 18.00–20.00. Pada jam itu, warga mengintensifkan diri menguatkan semangat belajar anak-anak. ’’Keluarga bisa men-support kegiatan ini dengan tidak menyalakan televisi dan bermain gadget,’’ paparnya.
Program KP KAS juga dikoordinasi tiap ketua RT. Dengan begitu, pelaksanaannya bisa kondusif dan menyeluruh. Program tersebut, menurut Chandra, juga sudah berperan aktif dalam perlindungan anak. Khusus penanganan, DP5A memiliki liponsos Kampung Anak Negeri. Pemkot juga memiliki selter-selter khusus untuk menangani permasalahan kekerasan anak. ’’Lokasinya kami rahasiakan,’’ jelasnya.