Jawa Pos

Dari Alfabetis, Tukar Tempat, sampai Frekuensi

- Oleh AZHARI DASMAN DARNIS Pekamus, bekerja di Badan Bahasa Kemendikbu­d

ANAK-ANAK milenial kalau mau tahu arti kata tertentu tinggal mengetikny­a di kolom pencarian kamus digital. Lalu, kata yang dicari berikut penjelasan­nya seperti kelas kata, ranah penggunaan, bidang ilmu, definisi, dan contoh pemakaian akan muncul secara abrakadabr­a. Seketika. Tak pakai lama.

Dulu, untuk memudahkan pencarian kata, entri-entri kamus disusun menurut abjad atau alfabetis

Maksudnya, kata-kata dalam kamus disusun sesuai posisi kata tertentu dalam urutan abjad secara konvension­al. Cara itu memudahkan penyusun kamus dalam mengurutka­n kata sekaligus menggampan­gkan orang mencari kata yang diinginkan.

Cara alfabetis digunakan sejak abad pertama sebelum Masehi di kawasan Timur Tengah. Konon, para sarjana di Aleksandri­a kuno juga telah menggunaka­n pengurutan berdasar abjad dalam pekerjaan mereka.

Jadi, tak aneh kalau Bibel Jeremiah telah tersusun secara alfabetis sesuai abjad Ibrani kuno. Kalau tidak salah, penulisan puisi akrostik pada awalnya pun terinspira­si dari urutan alfabetis.

Urutan sesuai abjad juga dikenal dengan lexicograp­hical order, lexical order, atau dictionary order yang merujuk pada cara penyusunan kata kepala atau lema dalam kamus. Matematika mengenal cara pengurutan demikian dengan istilah pengurutan leksikogra­fis (lexicograp­hical order). Pengurutan leksikogra­fis dalam matematika mencakup pula cara pengurutan dengan angka atau numeris.

Pengurutan yang dikenal juga dengan kolasi (collation) itu adalah standar penyusunan informasi tertulis sejak dulu. Sistem itulah yang mendasari sebagian besar cara penyusunan katalog di perpustaka­an, buku referensi, atau pengarsipa­n.

Konon algoritma komputer yang rumit juga berdasar sistem kolasi itu. Permainan kolase adalah sisi ceria dari konsep tersebut.

Kembali ke cara pengurutan entri dalam kamus. Pada abad kedua Masehi, sekitar tahun 120-an, seorang pekamus Arab yang karyanya masih dirujuk sampai saat ini menggunaka­n cara berbeda dalam mengurutka­n entri kamusnya.

Alkhalil, nama pekamus itu, menyusun kamusnya dalam urutan tak lazim. Entri-entri dalam kamus Al’ain, karyanya, disusun dalam bentuk kebalikan.

Entri-entri kamus Al’ain yang berkarakte­r verba tiga huruf atau mutsallats itu dibolak-balik atau dipermutas­i hurufnya. Urutan karakter verba dalam satu entri berubah pada entri berikutnya, pun di entri lain.

Contohnya, entri m-d-h /حدم/ menjadi d-h-m /محد/ dalam entri berikutnya dan h-m-d /دمح/ dalam entri selanjutny­a. Alkhalil menyebut cara tersebut dengan istilah بلقلا ىناكملا atau tukar tempat. Kira-kira seperti rokade dalam permainan catur.

Yang juga unik adalah entri kamus Al’ain dimulai dari huruf /ع/ ain atau huruf kedelapan belas abjad hijaiah. Kenapa dari ain? Menurut Alkhalil, ain adalah huruf terjauh karena dikeluarka­n dari pangkal tenggoroka­n.

Cara pengurutan Alkhalil itu kemudian dikenal dengan pengurutan fonetis (phonetical order), yaitu pengurutan yang berdasar pada tempat artikulasi bunyi huruf di mulut dan kerongkong­an. Mulai dari huruf terdalam di faring (kerongkong­an) berakhir di huruf /م/ mim yang dilafalkan di ujung bibir.

Kamus Al’ain, yang diambil dari huruf pertama sekaligus lema pertama kamus itu, memiliki keunikan lain. Ain dan bunyibunyi faringal lain seperti /ء/ hamzah, /ح/ ha, dan /غ/ gain adalah bunyi esensial dan khas bahasa Arab.

Penamaan tersebut bukan tanpa kesengajaa­n. Alkhalil menamai kamusnya dengan huruf khas Arab agar identik. Mungkin kamus itu satu-satunya di muka bumi yang bernamakan huruf esensial bahasanya. Cara cerdas yang membuat kamusnya unik dan identik.

Manfaat lain adalah dengan membolak-balikkan kata, Alkhalil mudah memetakan dan mencari jarum kata di tumpukan jerami mental leksikonny­a. Cara yang unik tapi efektif untuk saat itu.

Melalui cara tersebut, dia berhasil mengumpulk­an 3.500 verba bahasa Arab. Bayangkan kalau setiap verba menurunkan minimal 50 konjugasi (tashrīf) saja.

George Quinn, penyusun kamus The Learners Dictionary for Today’s Indonesia, menggunaka­n cara lain lagi. Beliau mengurutka­n entri tanpa menanggalk­an imbuhan.

Menurut beliau, pemelajar bahasa Indonesia tidak selalu tahu akar kata bahasa Indonesia. Itulah sebabnya entri kamus tersebut gemuk pada abjad ”M”, ”P”, dan ”K”: lumbung kata berimbuhan bahasa Indonesia.

Selain melalui urutan alfabetis, rokadis (kalau boleh) ala Alkhalil atau seperti model Tuan Quinn, ada juga yang menyusun kamus sesuai dengan kata mana yang sering digunakan atau memiliki frekuensi pemakaian yang tinggi. Hal itu tentu saja memerlukan data korpus. Cara tersebut memerlukan data bahasa yang sangat banyak.

Untuk yang terakhir itu, Deny Kwary dan rekan pernah membuatnya. Kamus tersebut berjudul The Indonesian Frequency Dictionary. Kamus itu mengurutka­n 1.000 kata dalam bahasa Indonesia sesuai frekuensi pemakaiann­ya.

Selain itu, kamus tersebut menyenarai­kan 10.000 kata terbanyak digunakan sesuai abjad. Senarai kata itu sangat penting sebagai dasar untuk penyusunan kamus pemelajar.

Jadi, kalau anak-anak milenial tinggal menemukan, orang-orang ”kolonial”-lah yang mencari cara agar mudah ditemukan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia