Jawa Pos

Relevansi Panji dan Valentine

- Oleh HENRI NURCAHYO Henri Nurcahyo, inisiator Pusat Konservasi Budaya Panji

BAGAIMANA sejatinya ihwal Valentine’s

Day yang akhirnya dinobatkan sebagai

Hari Kasih Sayang? Barangkali tak banyak yang mau tahu asal usulnya. Pokoknya sayang-sayangan. Padahal, kalau itu yang dipahami, mengapa tidak mengacu pada cerita Panji saja?

Sejarah Hari Valentine menjulur sejak zaman Romawi kuno. Kaisar Claudius II melarang pernikahan dan pertunanga­n karena dianggap menghambat spirit peperangan. Tapi, Valentinus, seorang rahib, tetap menikahkan pasangan secara diam-diam. Akhirnya, sang pendeta ditahan dan dieksekusi. Hukuman pada 278 Masehi itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Kasih Sayang.

Sedangkan cerita Panji adalah legenda klasik asli Nusantara. Isinya kisah romantis percintaan antara Raden Panji Asmarabang­un dari Kerajaan Janggala dan Dewi Sekartaji atau Candrakira­na dari Kerajaan Kadiri.

Kisah cinta mereka tidak berlangsun­g mulus, penuh halangan dan rintangan, petualanga­n dan penyamaran, hingga akhirnya kedua insan yang dijodohkan sejak kecil itu dapat mempersatu­kan dua kerajaan yang turun-temurun berseteru.

Cerita Panji adalah sebuah pusaka budaya Nusantara yang diabadikan dalam banyak dongeng, naskah-naskah kuno, cerita-cerita dalam berbagai seni pertunjuka­n dan tarian, digoreskan menjadi motif batik, bahkan diabadikan dalam relief di belasan candi di Jawa Timur. Cerita Panji yang berasal dari Jawa Timur menyebar ke seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, seluruh Sumatera hingga semenanjun­g Melayu, bahkan lebih populer di Malaysia, Kamboja, dan Thailand. Tidak kenal cerita Panji? Dongeng Ande-Ande Lumut hanyalah salah satu contohnya.

Ande-Ande Lumut, dalam dongeng itu, menolak lamaran para jelita: Kleting Abang, Kleting Biru, dan Kleting Ijo. Yang dia terima justru Kleting Kuning yang tampak buruk rupa dan beraroma busuk. Sebab, Ande-Ande Lumut tahu bahwa Kleting Kuning sesungguhn­ya adalah Dewi Sekartaji yang menyamar sebagaiman­a Ande-Ande Lumut sendiri adalah samaran Raden Panji Asmarabang­un.

Cinta sejati sepasang kekasih itu akhirnya happy ending, sebagaiman­a ratusan versi cerita Panji lainnya. Bandingkan dengan roman Romeo-Juliet, Bangsacara-Ragapadmi, Sangkurian­g, dan banyak kisah cinta lain yang selalu berakhir tragedi.

Sedemikian berhargany­a cerita Panji sehingga dinyatakan sebagai Memory of the World (MoW) oleh UNESCO atas keberadaan ratusan naskahnya yang disimpan di Perpusnas Indonesia, Malaysia, Kamboja, Belanda, dan Inggris.

Penetapan itu menambah jumlah MoW yang sudah didapatkan oleh Indonesia. Sebelumnya, ada arsip-arsip Dutch East India Company–VOC (ditetapkan pada 2003), naskah I La Galigo (2011), naskah Babad Diponegoro (2013), kitab Nagara Krtagama (2013), dan arsip-arsip Konferensi Asia-Afrika (2015). Bahkan, bersamaan dengan ditetapkan­nya cerita Panji sebagai MoW, pada 2017 UNESCO juga menetapkan arsip-arsip konservasi Borobudur dan arsip-arsip tsunami di Samudra Hindia.

Mengapa cerita Panji belum juga populer di masyarakat? Bahkan, cerita Panji ternyata masih kalah populer oleh Mahabarata atau Ramayana justru di tanah Jawa sendiri yang merupakan tempat kelahirann­ya. Lihat saja, dalam budaya Jawa ada tradisi mitoni, yaitu ritual memperinga­ti usia kehamilan 7 (tujuh) bulan dengan melukiskan sosok Raden Kamajaya dan Dewi Ratih pada dua cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning). Harapannya, kalau nanti anak yang terlahir laki-laki akan setampan Raden Kamajaya dan kalau perempuan secantik Dewi Ratih. Tetapi, sepasang kekasih itu kadang juga dimaknai sebagai gambaran Raden Arjuna dan Dewi Sembadra. Sayang sekali, belum pernah ada yang mengaitkan lukisan sepasang kekasih di kelapa muda itu dengan pasangan Raden Panji Asmarabang­un dan Dewi Sekartaji.

Jika Valentine’s Day berasal dari sejarah, cerita Panji sepenuhnya fiksi tapi terkait erat dengan peristiwa sejarah. Meminjam istilah Soenarto Timoer, cerita Panji dapat disebut ”dongeng yang disejarahk­an”. Selintas seperti fakta sejarah tapi sesungguhn­ya murni fiksi sebagaiman­a Mahabarata dan Ramayana.

Tetapi, cerita Panji justru menjadi budaya tanding terhadap epos besar dari India itu pada zaman Majapahit. Dilukiskan­nya belasan relief di candi-candi di Jawa Timur yang semuanya dibangun menjelang akhir masa Majapahit adalah bukti konkret yang sulit dibantah.

Jadi, bukanlah hal yang mengada-ada saat kita mengaitkan Hari Valentine dengan cerita Panji. Senyampang hari-hari ini masyarakat, khususnya kaum muda, merayakan Hari Kasih Sayang yang mengacu pada peristiwa dipancungn­ya Valentinus di tanah Romawi, sesungguhn­ya inilah momen yang tepat untuk kembali mengenalka­n bahwa bangsa kita memiliki pusaka budaya yang tak ternilai harganya. Akankah pusaka budaya Nusantara itu malah lebih dihargai di Thailand ketimbang di tanah kelahirann­ya sendiri?

Cerita Panji tidak akan populer manakala tidak disertai dengan produk ekonomi kreatif. Mementaska­n seni pertunjuka­n dengan tema Panji adalah salah satu cara agar orang diingatkan lagi perihal makna kasih sayang sebagaiman­a yang disampaika­n dalam cerita Panji. Tidak harus dikaitkan dengan kisah pemancunga­n seorang pendeta yang bernama Valentinus di zaman Romawi.

Kalau pada zaman Majapahit cerita Panji dipopulerk­an lagi untuk menandingi budaya asing (India), mengapa sekarang ini cerita Panji tidak menjadi alternatif budaya mancanegar­a yang bernama Valentine’s Day?

Selamat Hari Kasih Sayang.

Salam Panji dan Sekartaji. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia