Jawa Pos

Aminah Beri Pelukan Pertama ke Anak setelah 25 Tahun Menghilang

Liponsos Keputih dua kali melacak dan memulangka­n orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dari Aceh hingga Papua dalam sebulan. Ada yang terpisah 25 tahun, ada juga yang dikira sudah meninggal oleh keluargany­a. Di balik kisah itu, ada kontribusi tim pengantar y

- SALMAN MUHIDDIN, Jawa Pos

MATA Fariz Fadrix tak bisa lepas dari telepon genggamnya. Satu per satu identitas ODGJ yang akan dia antar pagi itu (11/2) diteliti. Tidak boleh ada yang keliru. Terutama alamat dan nomor kontak keluarga yang bisa dihubungi. Kalau ada yang luput, misi ke barat bisa berantakan.

Misi ke barat tersebut sama mulianya dengan kisah Journey to the West (Xi You Ji). Yakni, perjalanan Biksu Tong Sam Cong dan tiga muridnya, Sun Go Kong, Tie Pat Kay, dan Sam Cheng, mencari kitab suci.

Rute yang akan dia tempuh memang mengarah barat. Misinya bukan mencari kitab suci

Namun, mengantark­an enam ODGJ yang bertahun-tahun tinggal di Liponsos Keputih ke keluarga mereka di lima kabupaten yang berada di wilayah Jawa Tengah. Yaitu, Kabupaten Pati, Kudus, Pekalongan, Tegal, dan Brebes.

Persiapan dilakukan sesudah subuh. Konsumsi, obat-obatan, hingga kondisi mobil dipastikan siap. Toyota Kijang Innova Reborn akan mengantar mereka semua. Fariz duduk di depan bersama sopir. Sementara itu, enam ODGJ duduk di kursi tengah dan belakang.

Cuaca pagi itu benar-benar mendukung. Langit cerah tanpa awan mendung. Tujuan pertama ke Pati. Perjalanan menuju Pati lewat jalur pantura, tampaknya, bakal berjalan lancar.

Di tengah perjalanan sang sopir tidak berani menggeber gas mobil dengan kecepatan tinggi. Dia tahu penumpangn­ya itu bukan penumpang sembaranga­n. Mereka sudah betahun-tahun tidak naik mobil. Apalagi menempuh perjalanan jauh. Kalau mobil terguncang terlalu kuat, khawatir ada yang mabuk darat.

Kalau ada yang muntah, suasana di dalam mobil bisa kacau. Lagi-lagi karena para ODGJ yang diantar pulang itu belum sepenuhnya sembuh. Jika ada yang muntah, reaksi ODGJ lainnya bisa tak terprediks­i. Mereka bisa mengamuk atau melakukan hal lainnya.

Selama melintasi Gresik, Lamongan, dan Tuban, tidak ada yang rewel. Perjalanan dengan laju pelan itu aman-aman saja. Setelah 8 jam perjalanan, semuanya tiba di Pati tepat pukul 15.00.

Begitu menuju Kudus, Aminah, salah seorang ODGJ, mulai menunjukka­n tanda-tanda mabuk darat. Fariz yang mulai curiga berkali-kali menoleh ke belakang. Dia menatap mata Aminah, tapi Aminah tak membalas tatapan itu, lalu menunduk. Tiba-tiba, byooorrrr.

Aminah muntah di dalam mobil. Fariz langsung sigap mencari kantong plastik dan meminta sopir segera mencari rest area. Di sebuah rest area, Aminah diminta untuk kembali mengisi perutnya yang kosong itu. Fariz tidak mau ada yang sakit begitu sampai tujuan.

”Buk. Saiki miliho. Njaluk maem opo ae tak turuti,” kata pria kelahiran Bali, 1980, itu. Aminah, menurut dia, orangnya tertutup. Irit bicara. Awalnya dia tak mau apa-apa. Namun, setelah dibujuk, dia akhirnya meminta mi kuah. Yang pedas. Kalau tidak pedas tidak mau.

Fariz menuruti permintaan itu. Dia segera memesan mi ke pelayan restoran. Dia berpesan agar cabai yang dimasukkan tidak terlalu banyak. Kalau terlalu pedas, pencernaan Aminah makin terganggu.

Aminah juga meminta es teh. Namun, kali ini tidak dituruti. Fariz menyaranka­n agar dirinya memesan teh hangat. Untungnya dia mau. Dan habis dua gelas.

Perjalanan pun dilanjutka­n. Untung, penumpang yang mabuk darat tidak bertambah. Aminah belum pulih se utuh nya di sepanjang perjalanan. Namun, akhirnya dia bisa sampai di kota asalnya di Tegal.

Dari enam ODGJ yang diantar, kisah Aminah memang paling mengharuka­n. Dia terpisah dari keluargany­a sejak 1995. Anaknya yang saat itu belum genap berusia sebulan dia tinggalkan untuk mencari saudaranya di Kalimantan. Saat meninggalk­an putrinya tersebut, dia sudah berpisah dengan suami.

Entah bagaimana ceritanya hingga dia menggeland­ang di Surabaya. Aminah tak pernah bercerita secara jelas. ”Dia ditangkap petugas satpol PP pusat pada 16 September tahun lalu. Katanya di Surabaya dia bertahan hidup sebagai pemulung,” ujarnya saat ditemui Jawa Pos kemarin (15/2).

Setelah enam bulan di liponsos, kesadaran Aminah membaik. Kemampuann­ya berkomunik­asi juga berkembang baik. Akhirnya dia bisa menyebutka­n daerah asalnya. Petugas sempat kesulitan melacak identitasn­ya karena dia agak linglung dan cenderung pendiam. Begitu Aminah bisa menyebutka­n desa tempat dia tinggal, petugas langsung menghubung­i TKSK di Tegal.

Setelah menelusuri, mereka akhirnya menemukan keluarga Aminah yang kini sudah berusia 60 tahun itu. Pukul 24.00, hujan deras dan listrik padam menyambut kedatangan Aminah di selter yang disediakan Dinsos Tegal. Dia masih pusing. Efek mabuk darat belum hilang sepenuhnya. Penumpang saat itu tinggal 3 orang. Dua orang dari Tegal dan satu lagi dari Brebes.

Petugas dinsos setempat tidak mengizinka­n Fariz mengantar Aminah sampai ke rumahnya. Mereka meminta Fariz dan sopir beristirah­at setelah 17 jam mengarungi jalur antarprovi­nsi. ”Paginya langsung ke Brebes di dekat perbatasan Jawa Barat. Sampai di Surabaya lagi pukul 10 malam,” katanya.

Misinya sukses. Fariz mengaku punya kepuasan tersendiri saat melihat orang-orang hilang itu bisa berpelukan lagi dengan keluargany­a. Meski tak secara langsung. Dan, setelah perjalanan panjang itu, Fariz mendapat waktu dan libur sehari untuk membahagia­kan keluarga kecilnya.

Tak lama berselang, dia mendapatka­n kabar bahwa video pertemuan Aminah dan anaknya viral di media sosial. Dalam rekaman singkat tersebut, tampak tangis anak Aminah pecah. Fariz ikut terharu meski tak sempat melihat langsung pertemuan itu. Namun, tetap saja dia ikut bahagia karena doa yang setiap hari dipanjatka­n putri Aminah akhirnya terkabul: bertemu ibu.

 ?? PUGUH SUJIATMIKO/JAWA POS ?? PEKERJA SOSIAL: Fariz Fadrix memperliha­tkan foto Aminah yang hilang selama
25 tahun.
PUGUH SUJIATMIKO/JAWA POS PEKERJA SOSIAL: Fariz Fadrix memperliha­tkan foto Aminah yang hilang selama 25 tahun.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia