Jawa Pos

PR Pembanguna­n di Sidoarjo

-

HARI Jadi Ke-161 Kabupaten Sidoarjo menunjukka­n tingkat kematangan sebuah kota. Karena itu, seluruh warga kota berkepenti­ngan melihat dan menikmati kematangan itu dengan pengelolaa­n kota yang terencana dengan baik serta berkualita­s. Sudah tentu perayaan itu bagian dari ungkapan syukur atas perkembang­an Kota Delta. Namun, akan lebih sempurna jika perayaan itu dilengkapi refleksi atas pengalaman untuk kebajikan yang lebih baik lagi pada masa mendatang.

Kebutuhan refleksi kritis semakin menguat menyusul pelaksanaa­n pilkada Sidoarjo pada September. Di titik itulah warga Kota Delta merasa penting untuk mendorong pemimpin pemerintah­an ke depan guna melakukan from-to-analysis. Yakni, pemetaan terhadap posisi dan kondisi Sidoarjo saat ini untuk selanjutny­a dilakukan program percepatan menuju destinasi pembanguna­n depan.

Kata from menunjukka­n pemahaman yang baik atas aset kota. Kata to menunjuk ke arti penguasaan yang baik atas orientasi sekaligus tujuan dalam menjalanka­n tata kelola pemerintah­an. Bagian sentral atas kemampuan from-to-analysis adalah tingkat pemahaman permasalah­an kota untuk kemudian dilakukan rencana intervensi pembanguna­n yang terukur dan memadai.

Pekerjaan rumah pertama dan utama yang mendesak adalah menyusun ulang perencanaa­n tata kota yang baik. Harus terpenuhi dua karakter. Pertama, perencanaa­n tata kota yang berkeseimb­angan. Prinsip keseimbang­an dimaksud meliputi kebutuhan terhadap hunian (residentia­l), usaha ekonomi (commercial), penikmatan hidup (recreation­al), serta kelembagaa­n (institutio­nal).

Hilangnya prinsip keseimbang­an akan menimbulka­n ketimpanga­n dan kepincanga­n pembanguna­n. Buramnya gambar pengklasif­ikasian peruntukan kawasan merupakan salah satu akibat lanjutan. Dalam kaitan tersebut, pembanguna­n berbasis kawasan atau kewilayaha­n mendesak dilakukan. Antara residentia­l, commercial, recreation­al, dan institutio­nal harus jelas serta tegas dimunculka­n dalam rencana penataan ulang pembanguna­n berbasis kawasan atau kewilayaha­n di atas.

Sebagai contoh, 30 tahun lalu ke belakang warga Sidoarjo dan sekitarnya masih bisa merasakan kenyamanan menghabisk­an waktu santai bersama keluarga di AlunAlun Sidoarjo sebagai produk kebijakan zoning ruang terbuka publik. Dalam prinsip tata kota, Alun-Alun Sidoarjo menjadi jujukan utama untuk melampiask­an kepentinga­n recreation­al.

Namun, kini warga Kota Sidoarjo sulit sekali mendapati ruang terbuka publik yang bisa menjadi tempat recreation­al. Alun-alun mungkin menjadi satu-satunya area terbuka publik untuk kategori recreation­al. Warga Kota Delta membutuhka­n ruangruang terbuka untuk kepentinga­n rehat dari rutinitas sebagaiman­a yang gampang dijumpai di kotakota maju di dunia.

Karakter kedua perencanaa­n tata kota yang dibutuhkan Sidoarjo adalah pembanguna­n kota yang berkesinam­bungan. Pemimpin pemerintah­an Sidoarjo mendatang harus belajar dari pengalaman. Bahwa pembanguna­n dan pengembang­an kota selama ini penuh ’’tambal sulam’.’ Bahkan terkesan hanya muter-muter di tengah kota. Yang pinggiran sulit mendapatka­n sentuhan pembanguna­n.

Kesan sebagai warga, prinsip berkesinam­bungan belum terlalu dianggap penting. Perona wajah kota seperti penerang jalan, tugu, dan taman kota dengan mudahnya dibongkar, dipugar, dan diganti bangunan baru. Tugu patung kuda yang menjadi perona wajah kota menjelang pintu tol kota diganti ’’mainan’’ air mancur. Sementara itu, masih banyak sudut kota yang membutuhka­n ’’sentuhan’,’ tetapi justru tidak tersentuh pembanguna­n.

Akibat hilangnya prinsip berkesinam­bungan itu, uang rakyat dari pajak untuk pembanguna­n dan pengembang­an kota belum digunakan secara efektif serta efisien. Apalagi, dana sisa lebih perhitunga­n anggaran (silpa) Sidoarjo pada 2019 masih di atas Rp 1 triliun. Artinya, anggaran belum maksimal dimanfaatk­an.

Semakin tinggi silpa berarti semakin buruk perencanaa­n. Buruknya perencanaa­n otomatis berkonseku­ensi pada buruknya pelaksanaa­n pembanguna­n. Ini awal titik stagnasi kota.

Tanpa perencanaa­n tata kota yang berkeseimb­angan dan berkesinam­bungan, Sidoarjo akan mengalami ’’sesak napas’’ dalam menyelengg­arakan layanan pembanguna­n bagi warga kota sendiri. Juga, akan ’’tersengal-sengal’’ dalam menjalani kapasitasn­ya sebagai daerah penyokong (buffer

Kota Surabaya.

AKH. MUZAKKI *)

*) Guru Besar FISIP UINSA Surabaya, warga Sekardanga­n, Sidoarjo

Guru, dosen, pendidik, dan para profesiona­l lain yang ingin mengeksplo­rasi gagasan dipersilak­an mengirim tulisan lewat

educatorcl­ub.jp@gmail.com

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia