Jawa Pos

Mereka Sehat, Jangan Ada Stigma Cerita Minggu

Sudah lepas masker, dijemput menteri kesehatan dan perwakilan WHO adalah bukti bahwa peserta observasi di Natuna sehat. Mereka bisa bebas berinterak­si dengan siapa saja sesampai di rumah.

- Korban di Luar Asia

BAGIAN ujung amplop warna cokelat itu distaples. Di dalamnya ada dokumen penting yang diperuntuk­kan bagi ratusan orang.

Anung Sugihanton­o meminta salah seorang staf menunjukka­nnya kepada Jawa Pos dan dua media lain di sela makan siang di sebuah restoran di depan Bandara Halim Perdanakus­uma, Jakarta. Sekitar dua jam lagi rombongan 285 orang yang baru selesai menjalani masa observasi di Natuna, Kepulauan Riau, akan mendarat

”Keredaksia­nnya berbunyi, ’Yang bersangkut­an selama 14 hari tidak menunjukka­n gejala dan tanda Covid-19’,” tutur Dirjen Pencegahan dan Pengendali­an Penyakit Kementeria­n Kesehatan itu kepada Jawa Pos dan dua wartawan dari dua media lain.

Itulah surat keterangan sehat untuk para warga negara Indonesia yang dievakuasi dari Wuhan, Tiongkok, episentrum Covid-19 atau yang selama ini di kalangan umum disebut ”virus korona”. Diperuntuk­kan pula untuk tim aju dan kru penjemput yang telah menjalani karantina di tempat yang sama. Dan, hanya Kementeria­n Kesehatan yang berhak mengeluark­an surat tersebut.

Karena itu, sebagai tanda bahwa tak seorang pun terkena Covid-19, mereka semua lepas masker sejak di Natuna kemarin. Termasuk anakanak yang ikut dikarantin­a bersama orang tua masing-masing.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pun demikian. Tak memakai masker saat pertama keluar dari pesawat milik TNI dengan nomor registrasi A-7306 yang mendarat pukul 15.24.

Ada dua pesawat lain yang mengangkut rombongan dari Natuna. Satu Boeing lainnya dan satu Hercules menyusul mendarat kemudian.

Di apron bandara, puluhan pejabat menjemput mereka. Sementara itu, keluarga menunggu di sisi bandara komersial. Seluruh peserta karantina keluar dari pintu selatan. Selanjutny­a, mereka bertemu dengan tim penjemput dari pemerintah daerah masing-masing.

”Mereka semua dalam keadaan sehat,” ucap Terawan.

Dia menambahka­n bahwa WHO (Badan Kesehatan Dunia) turut memantau kesehatan peserta observasi. Ada perwakilan badan tersebut yang juga ikut menjemput ke Natuna. Satu pesawat dengan Terawan.

”Beliau juga terharu melihat bagaimana saudara kita sudah berhasil menjalani masa observasi dengan baik,” tuturnya.

Anggota Komisi IX Kurniasih Mufidayati yang turut menjemput agak menyayangk­an proses kepulangan peserta observasi yang tak dibarengi dengan informasi yang jelas. Mufida menemukan keluarga yang menunggu di pintu kedatangan Bandara Halim Perdanakus­uma.

Mereka hanya mengetahui dari pesan yang dikirimkan anaknya bahwa penjemputa­n ada di Bandara Halim Perdanakus­uma. Sayang, sampai bandara, tak ada kejelasan informasi. ”Saya sudah tekankan kepada pemerintah harus ada informasi dan transparan­si,” ungkap Mufida.

Antisipasi selanjutny­a, setelah para peserta observasi pulang ke rumah masing-masing, adalah jangan sampai mereka jadi korban stigma atau perundunga­n. Rabu lalu (12/2) Jawa Pos Radar Banyuwangi melaporkan keluhan para mahasiswa asal kabupaten di ujung timur

Pulau Jawa itu yang baru pulang dari Tiongkok.

Para mahasiswa tersebut merasa pemeriksaa­n kesehatan yang dilakukan terhadap mereka berlebihan. Akibatnya, mereka mendapat perlakuan kurang menyenangk­an dari lingkungan tempat tinggal.

Desi Putri Wulandari, salah seorang mahasiswi, menceritak­an, sejak munculnya virus korona, tetanggany­a mulai menebar ucapan harus berhati-hati dengan dirinya. Padahal, mahasiswa yang berkuliah di Universita­s Ningbo, Kota Ningbo, Provinsi Zhejiang, itu pulang jauh hari sebelum virus korona merebak.

Perlakuan tak mengenakka­n itu semakin dia rasakan setelah ada kunjungan tim dari puskesmas yang menggunaka­n masker lengkap ke rumahnya. Sejumlah tetangga jadi beranggapa­n seolah-olah dia adalah pasien yang sudah terpapar korona.

”Waktu petugas datang, sudah saya jelaskan bahwa kota tempat saya kuliah dengan Wuhan berjarak 900 kilometer lebih. Saya pulang sebelum virus itu merebak,” ujar dia kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi.

Anung mengaku pihaknya sudah mengantisi­pasi kemungkina­n tersebut. Karena itu, selain mengeluark­an surat keterangan sehat, pihaknya telah menyurati dinas kesehatan di semua daerah yang warganya ikut dikarantin­a.

Isinya, diminta untuk melayani pemeriksaa­n kesehatan secara umum. ”Dengan memiliki health alert card yang masih dipegang oleh peserta observasi, dinas kesehatan bisa mengonfirm­asi status kesehatan seluruh peserta,” katanya.

Kabid Pencegahan dan Pengendali­an Penyakit Dinkes Gresik, Jawa Timur, Ummi Khoiroh membenarka­n adanya instruksi itu. Kebetulan salah seorang mahasiswi asal Kota Santri itu, Fitra Suryaning Wulan, adalah peserta observasi di Natuna.

”Pemantauan di sini sebatas pantauan umum seperti suhu tubuh,” jelasnya. Ummi juga meminta masyarakat setempat agar tidak memberikan stigma kepada yang bersangkut­an. ”Fitra diperboleh­kan berinterak­si dengan lingkungan sekitar karena sudah dinyatakan aman dan sehat,” katanya.

Tugas dinas kesehatan, kata Terawan, mendamping­i. Namun, tidak serta-merta 24 jam di dekat peserta observasi. Dinkes hanya membantu jika ada keluhan.

”Agar masyarakat yakin kalau mereka sehat. Tidak ada hal yang perlu dikhawatir­kan,” ungkapnya.

Yang justru ada di benak para peserta adalah keinginan untuk segera sampai ke rumah. Irma Putri Nuraini, misalnya. Di Bandara Halim kemarin, salah seorang peserta observasi asal Jawa Timur itu tampak tergopohgo­poh menuruni mobil yang membawa rombongan yang satu provinsi dengannya.

Nasi kotak dari rumah makan padang ternama membuat Irma agak kesulitan membawa barangbara­ng. Beruntung, teman-temannya segera mengambil troli dan membawa seluruh bagasi.

”Saya ingin segera sampai ke rumah,” katanya.

Kematian pertama di luar Asia akibat virus korona terjadi di Paris, Prancis, kemarin (15/2). Korban adalah pria 80 tahun yang merupakan turis Tiongkok asal Provinsi Hubei. Sebelumnya, selain di Tiongkok, korban meninggal ada di Filipina, Jepang, dan wilayah otonomi khusus Hongkong. ”Dia itu dikarantin­a di Bichat Hospital,” ungkap Menteri Kesehatan Prancis Agnes Buzyn seperti dikutip Agence France-Presse.

Korban tiba di Prancis 16 Januari lalu. Dia dikarantin­a pada 25 Januari. Sayangnya, kondisi pasien tidak kunjung membaik. Dia akhirnya meninggal karena infeksi paru-paru akibat virus korona. Putri pria tersebut juga dirawat di rumah sakit yang sama karena tertular Covid-19. Berbeda dengan ayahnya, perempuan 50-an tahun itu mulai pulih.

Di Prancis, sebelas orang positif tertular Covid-19. Enam di antaranya masih dirawat di rumah sakit. Termasuk putri korban tewas tersebut. Lima lainnya adalah turis Inggris yang tertular saat berada di resor ski daerah Contamines-Montjoie.

Perkembang­an penularan Covid-19 semakin membuat waswas. Sebab, korban tewas dan kasus penularan baru terus melonjak. Padahal, ini belum waktu puncak penularan. Di Tiongkok saja, dalam sehari kemarin ada 2.641 kasus dan 139 kematian. Total yang tertular mencapai 66.492 orang. Korban tewas sebanyak 1.523 orang.

Jumlah tersebut bisa jadi hanya permukaan gunung es jika menilik sikap Tiongkok yang kerap menutupi fakta. Contohnya, wabah severe acute respirator­y syndrome (SARS) dulu. Selain itu, banyak beredar kisah penduduk Hubei yang diunggah ke dunia maya. Yaitu, tentang mereka yang sulit mendapatka­n pengobatan di masa awal virus merebak. Saat itu korban tewas mungkin tidak dihitung.

Saat ini Tiongkok sudah melakukan berbagai upaya untuk mencegah penularan kian meluas. Salah satunya, mengisolas­i dan mensterilk­an mata uang kertas yang sudah dipakai. Proses sterilisas­i dilakukan dengan sinar ultraviole­t maupun pemanasan dengan temperatur tinggi. Uang itu lalu disegel dan disimpan selama 7–14 hari. Isolasi uang tersebut bergantung pada tingkat keparahan di wilayah bank yang bersangkut­an. Setelah masa isolasi selesai, uang tersebut baru boleh diedarkan lagi. ”Bank diminta sebisanya memberikan uang kertas baru kepada nasabah,” terang Wakil Gubernur Bank Sentral Tiongkok Fan Yifei.

Sebelum liburan Tahun Baru Imlek lalu, Bank Sentral memerintah­kan penerbitan darurat uang kertas baru di Provinsi Hubei. Jumlahnya mencapai CNY 4 miliar atau setara Rp 7,8 triliun. Saat perintah itu keluar, Covid-19 sudah menyebar di Hubei.

Sejatinya, belakangan penduduk Tiongkok lebih sering bertransak­si dengan pembayaran virtual. Survei yang dilakukan Ipsos 2017 menunjukka­n bahwa responden mampu bertahan sebulan tanpa menggunaka­n uang tunai lebih dari CNY 100 (Rp 196 ribu). Sebab, mayoritas toko sudah menerima pembayaran virtual.

Berdasar paparan WHO, Covid-19 bisa menular melalui benda-benda yang terkontami­nasi. Juga karena cairan tubuh dan kontak langsung dengan orang yang terinfeksi. Di beberapa apartemen, disediakan tisu untuk memencet tombol guna menghindar­i penularan. Sementara di Beijing, penduduk diminta untuk mengaranti­na diri sendiri selama 14 hari jika mereka baru kembali dari luar kota.

Penularan terbesar di luar Tiongkok terjadi di kapal pesiar Diamond Princess yang kini berada di Yokohama, Jepang. Total sudah ada 285 penumpang yang tertular. AS menyatakan akan mengevakua­si pendudukny­a di kapal itu dan mengaranti­na sendiri selama dua pekan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia