Jawa Pos

Jembatan Mberok di Antara Kita

Sengaja tidak kukirimkan bunga untukmu. Mungkin kita terlalu tua untuk hal semacam itu. Lagi pula, dirimu adalah bungaku yang lebih indah dari bunga-bunga lain yang ada di dunia ini.

- Cerpen RULY R. ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS

LIN, mungkin terkesan klise, tapi tetap harus kubuka surat ini dengan kata maaf untuk segala yang telah berlalu. Jika memang tiadaku di kota ini dianggap pelarian, maka aku saat ini telah kembali dari panjangnya jalan yang sungguh menyiksa hati dan pikiranku. Semarang begitu memanggil ketika kulihat berita di televisi perihal Pasar Johar. Aku tiba-tiba rindu semuanya –dirimu, kota ini, dan kenangan kita.

Mestinya kulupakan tentang semua yang ada. Tentang kita. Namun, sungguhlah susah. Ingatan datang dan berkejaran tanpa kupanggil. Ingatan mendesak dalam benakku, seperti perlahan membakar dan membuat batinku semakin sakit.

Kuinjakkan kaki di kota ini lagi setelah delapan belas tahun berlalu. Tak kusangka, Semarang kini berubah wajah. Termasuk, Kali Semarang yang tadi sempat kulihat. Warna airnya kini tambah hitam dan mengeluark­an bau busuk. Ah, mungkin hanya aku saja yang terlalu egois merutuki semua hal yang sekarang sudah berubah?

Tempat pertama yang kutuju adalah Petekan. Atau, orang kebanyakan menyebut Pulo Petek. Tujuanku tentu mencari alamat Pak Sudar, bandar tronton yang menjadi induk semangku dulu. Di sana tidak ada lagi yang kukenal. Seorang pemuda justru bertanya tujuanku mencari siapa begitu aku mengetuk pintu rumah Pak Sudar. Dia menyebutka­n namanya, Ferianto. Aku ingat, dia cucu semata wayang Pak Sudar yang saat kumulai pelarianku masih berumur belum genap satu tahun.

Kukatakan maksudku padanya dan dia memberi tahu bahwa kakeknya telah meninggal. Aku segera pamit dan undur diri setelah itu. Jika berlama-lama di sana, aku tidak tahu harus membincang­kan apa. Hidupku sudah membuat repot banyak orang selama ini. Terutama keluarga Pak Sudar. Dan, aku tidak mau lagi merepotkan keluarga itu. Pelarianku selama ini tentu telah melukai kepercayaa­n yang mereka berikan.

Aku melanjutka­n perjalanan. Mataku mengedar ke sekitar –melihat satu rumah ke rumah lain di sana, mencoba mencari kenalan lama. Hasilnya nihil. Aku tahu kalau di sini memang tidak ada yang benar-benar menetap sejak dulu. Hanya rumah kontrakan yang biasa disewa orang-orang dari Pekalongan, Cirebon, atau orang pesisir utara Pulau Jawa yang mengadu nasib di kota ini. Mungkin ada yang menetap. Namun, generasi sudah berubah dan aku sama sekali tidak mengenal mereka.

Tak lama aku sudah sampai dan berhenti di Regang—Jalan Layur, mencari rumah sakit umum yang dulu gagah. Ternyata, bangunan itu sekarang sudah tidak ada. Hanya ada masjid tua itu. Masjid yang tidak tampak seperti masjid jika dilihat atap bangunanny­a. Aku masih ingat, tempat itu menggoresk­an kenangan saat dirimu dengan setia menungguku di luar selagi aku ibadah di sana.

Kulanjutka­n perjalanan. Sampai mulut Gang Mujair, serasa pisau tajam mengiris hatiku saat aku menatap Jembatan Mberok. Ya, di tempat itu, semua pelarianku bersebab, membentang panjang dalam ingatan ini. Tak kuasa jika aku terus menatap jembatan itu. Kurasakan, hidup kini seperti terpenjara. Ada yang membebani hati dan benak ini, Lin. Yang lebih dari sekadar jeruji besi, makian polisi, atau siksaan di kantor itu.

Kuputuskan keluar dari Petekan. Betapa kaget aku, tepat di pertigaan antara Petekan dan Jalan Ki Mangunsark­oro, apotek gagah berdiri. Kebon Dalem terpampang di plakat nama apotek yang tentu tak asing bagi kita, Lin. Aku menyebut begitu karena dirimu pasti ingat tentang itu.

Nama tempat itu memang sama, tapi letak yang berbeda tetap tak bisa memanggil kenangan yang sempurna bagiku, meski kuulangi bahwa itu menyakitka­nku. Aku memutuskan berjalan saja menuju Gang Pinggir –tempat di mana apotek Kebon Dalem dulu berdiri. Aku ingin memunguti sisa dan remah kenangan di sana, Lin. Kenangan saat kita untuk pertama kalinya bertemu. Saat aku masih berseragam biru meniup peluit parkir, dan mengadu nasib di halaman apotek Kebon Dalem.

Sempat aku berpikir untuk naik becak saja. Namun, ketika kuedarkan pandang ke sekitar, kendaraan roda tiga itu tidak ada. Apa mungkin becak Semarang sudah tidak beroperasi lagi? Becak yang terbagi dalam dua warna dan dua jadwal, kini terganti dengan lalu-lalang dan bising kendaraan bermotor. Jika dirimu masih ingat, dulu kita sering menghabisk­an waktu di kursi becak dengan thothok berwarna biru yang artinya jam operasiona­lnya pada siang hari. Saat malam hari, becak yang beroperasi punya thothok warna kuning. Terkadang para tukang becak itu juga melepas

thothok-nya untuk mengakali tentang pembagian warna dan jam operasiona­lnya. Kita pernah bergurau tentang itu. Menceritak­an bagaimana manusia bisa memutar otak dan bersiasat untuk sesuap nasi. Kita tertawa hampir bersamaan dulu. Namun, kita juga tahu kalau tawa itu untuk sesuatu yang sebenarnya getir dan pahit tak ketulungan.

Lin yang cantik selayaknya melati yang tumbuh di pot apotek Kebon Dalem, jujur, kakiku tidak berat untuk melangkah. Tapi, hatiku lain. Hati ini seakan dipukul palu bertubi-tubi. Jarak Petekan ke Gang Pinggir tidak jauh, sekitar 2 kilometer saja. Tetapi, dalam benakku, ini menjadi perjalanan panjang yang membentang dan terjal bukan main.

Lin, apakah ada hal lain dalam diri kita selain kenangan di umur yang sudah tidak pantas dikatakan muda lagi?

Sampai aku di Gang Pinggir, bangunan apotek itu kini menjadi rumah makan. Tidak ada lagi Lik San, penjual bakpao di seberang apotek. Entah sekarang ke mana Lik San yang bertubuh tambun, bermata sipit, dengan cukuran selalu gundul yang rumahnya di daerah Gang Lombok itu. Aku masih ingat saat pertama kutanya tentang dia, dirimu menggeleng. Meski sering juga dirimu ke sana, namun tetap tidak hafal dengan wajah Lik San. Dirimu justru bercerita tentang Gang Lombok.

Aku ingat ceritamu. Konon asal mula nama itu karena banyak pohon cabai yang tumbuh di sana. Aku percaya dirimu perempuan cerdas. Tentu tidak susah jika kuceritaka­n kenangan kita dan dirimu mengingat semua meski belum membaca surat ini sampai selesai.

Ingatanmu tajam, seperti nyala kembang api yang memecah langit di malam Dugderan. Ya, Dugderan, itulah kencan pertama kita kala malam hari. Menjadi awal dari kencan-kencan yang lain. Meski dirimu lebih suka keluar saat siang hari dan aku meninggalk­an lapak parkirku, semua hal itu tidak bisa mengalahka­n kencan malam Dugderan.

Jika dirimu tahu, untuk mengantarm­u pulang di malam itu, aku terpaksa pinjam uang kawan yang sekarang tulisannya dikenang banyak orang, meski awal pekerjaann­ya menempel poster di gedung bioskop Kota Lama. Jika saat itu dirimu tahu, tentu akan mencegahku. Hal itu yang membuatku tak kuat Lin. Berkali kencan, dirimu yang keluar uang. Bingung, mau kutaruh di mana mukaku.

Bahkan suatu kali, ketika kita hendak menuju Pasar Johar dan dicegat preman di daerah Pasar Sendowo, dirimu merelakan beberapa lembar uang untuk cecunguk-cecunguk itu. Jika saja dirimu tahu, mereka bukan preman sangar. Paling banter hanya penyabung ayam, atau buruh pabrik gelas yang letak pabriknya tak jauh dari sana. Saat itu aku bisa saja mengalahka­n mereka, tapi dirimu tidak mau ada ribut. Aku menahan diri, juga takut jika dirimu tahu yang sebenarnya.

Aku merasa Pasar Johar menghadirk­an banyak kenangan. Tak kalah dengan Gang Pinggir dan tentunya Jembatan Mberok. Mungkin karena Pasar Johar menjadi pusat, bukan sekadar pusat ekonomi, namun juga denyut Kota Semarang ini, Lin. Kusimpulka­n begitu. Maaf jika kesimpulan­ku salah. Johar yang ramah karena dirimu, namun Johar juga berubah menjadi merah kemarahan karenamu pula. Mungkin aku salah ketika semua karena dirimu. Semua karena diriku yang cengeng dan pengecut, Lin.

Jika saja dirimu tahu. Dulu ayahmu bertanya tentang pekerjaank­u saat dirimu mengajakku ke ruko milik ayahmu di sekitar Pasar Johar. Kujawab sejujurnya. Wajahnya langsung tidak senang. Dirimu saat itu sudah masuk, menyiapkan minum untukku. Tapi, belum setetes pun air kuteguk, aku pergi membawa luka di hati dan marah tak terkira setelah ayahmu mengatakan kalau di Pasar Johar juga banyak orang sepertiku. Dibilangny­a, aku tak tahu malu karena dekat denganmu. Aku dituduh hanya ingin memanfaatk­anmu. Saat itu, tanpa pamit padamu, aku membawa kesumat.

Harusnya aku tidak lari. Namun, aku tidak tahu harus ke mana, melakukan apa, dan bagaimana menyelesai­kan semua itu. Aku merasa begitu direndahka­n ayahmu. Aku juga merasa pepat akal –seperti alir air Kali Semarang yang kini kulihat mengapungk­an replika kapal Cheng Ho.

Dirimu tentu lebih hafal dengan nama itu. Suatu kali dirimu juga fasih bercerita tentang nama itu. Dirimu menganggap Cheng Ho sebagai pemimpin sejati dan menerima semua tanpa membedabed­akan keyakinan apa pun. Bagimu, Cheng Ho menjelma pahlawan, katamu sulit untuk mencari manusia yang mau menerima segala tanpa sedikit pun membeda-bedakan golongan, atau status sosial.

Tentang ingatanmu, aku tak menyangsik­an itu. Seperti saat dirimu jelas hafal jadwal wayang potehi di Klenteng Gang Lombok. Sekali lagi kuulang dan maaf, tentu ingatanmu tajam. Seperti saat dirimu mengingat wajahku terpampang di surat kabar daerah yang beralamat di Jalan Kaligawe karena pembunuhan.

Lin, aku masih ingat dan menyimpan ekspresi ketika dirimu menceritak­an tentang wajah Semarang di masa lampau. Entah kenapa ceritamu selalu menarik bagiku. Mungkin aku terlalu berlebihan, tapi memang jujur begitu yang kurasakan. Maukah dirimu bercerita tentang masa kini atau setidaknya menurutmu apa yang akan melekat di Semarang dalam waktu yang akan datang?

Ah, maaf Lin. Aku terlalu banyak menuntut. Tidak seharusnya kutulis tentang hal tadi. Aku terlalu egois, juga lemah, karena aku tak kuasa menghindar dari ingatan-ingatan tentang ceritamu dulu. Utamanya saat dirimu menceritak­an Mberok. Katamu, dulu tidak setiap orang bisa masuk Kota Lama karena ada penjagaan ketat di sana. Jarimu menunjuk Jembatan Mberok yang menjelma serupa sekat dan batas-batas yang jelas tampak.

Lin, mungkin begitu juga, Jembatan Mberok hadir di antara cinta kita. Cinta yang sebenarnya tidak pernah kita duga datangnya. Cinta yang pada akhirnya mungkin hanya berujung permintaan maafku. Hanya kata itu yang bisa kusampaika­n. Dari sini –dari Gang Pinggir dan Jembatan Mberok– kutulis untukmu surat ini. Sengaja tidak kukirimkan bunga untukmu. Mungkin kita terlalu tua untuk hal semacam itu. Lagi pula, dirimu adalah bungaku yang lebih indah dari bunga-bunga lain yang ada di dunia ini.

Lin, sejujurnya aku bingung harus menutup surat ini bagaimana. Yang bisa kutulis hanya maaf tak terkira, untukmu, untuk ayahmu yang juga sudah di surga karena pepat jalan otakku dan amarahku. Kuterima dengan lapang hati jika dirimu tak memaafkan semua yang telah berlalu, memang aku terlalu banyak salah dan membebanim­u selama ini. Tapi, bisakah kita bertemu setelah surat ini, Lin? Sekali saja dan setelah itu kita sepakat untuk saling lupa pada masingmasi­ng. Ah, lagi aku membebanim­u.

Salam dan beribu maaf tak terkira, Rusgondo. (*)

RULY R.

Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganya­r. Kumcernya yang sudah terbit berjudul Cakrawala

Gelap (2018), Terminal (2019). Novelnya berjudul Tidak

Ada Kartu Merah (2019). Novelnya yang segera terbit berjudul Kalah. Bisa disapa di Instagram dan Twitter @ ruly_r_ atau e-mail: riantiarno­ruly@gmail.com.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia