Akan Tetap Jadi Risma yang Kadang Semaunya
Pemberian gelar kebangsawanan untuk Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini nyaris ditunda. Sebab, Sri Susuhunan Pakubuwono XIII tiba-tiba dipanggil ke Jakarta oleh Presiden Joko Widodo. Tapi, menjelang siang, akhirnya penobatan itu dijadwalkan kembali dan terlaksana.
AROMA melati mendominasi saat masuk ke Ruang Sasana Handrawina Keraton Surakarta Hadiningrat, Rabu petang (4/3). Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan putranya, Fuad Benardi, duduk di sebelah kiri singgasana Sri Susuhunan Pakubuwono XIII. Rombongan dari Pemkot Surabaya, termasuk sejumlah pejabat dan wartawan, duduk di belakang Risma dan putranya itu. Suara gamelan Jawa mengalun pelan memenuhi ruangan besar yang biasa digunakan untuk menerima tamu keraton tersebut.
Tak berapa lama, Pakubuwono
XIII yang duduk di kursi roda masuk ke Sasana Handrawina bersama sang istri. Petang itu dia mengenakan batik lengan panjang merah dan belangkon. Mereka lantas duduk di kursi di depan Sri Radya Laksana, lambang Kasunanan Surakarta. Dia baru saja pulang dari Jakarta karena dipanggil Presiden Joko Widodo. Prosesi pemberian penghargaan itu nyaris ditunda karena hal tersebut.
Risma dan rombongan berdiri memberikan hormat dengan membungkukkan badan. Suasana agak canggung karena abdi dalem keraton menerapkan tata cara penghormatan khas keraton Jawa. Mendekati sang raja dengan jalan jongkok lantas menangkupkan tangan ke dekat dahi untuk memberi hormat. Sementara itu, Risma dan rombongan sesekali membungkukkan badan serta menangkupkan tangan di dada untuk menaruh hormat. Perbedaan budaya Jawa Solo dan arek Suroboyoan begitu terlihat dalam acara tersebut. Saat diberi kesempatan untuk bicara, Risma berkali-kali menceritakan bahwa dirinya ”pencilakan”.
”Nyuwun duko Sinuwun, Ibuk. Kadang bahasane kasar ngoten,” ujar Risma yang memberikan penekanan pada ”kasar”. Dia semula juga kaget dan malu mendapatkan penghargaan sebagai keluarga bangsawan Keraton Surakarta Hadiningrat. Sebab, selama ini tingkah polahnya memang terkesan semaunya.
”Mohon maaf nanti kalau tak bisa mengubah tingkah saya soale kalau di lapangan kadang ndak sadar, pengen mencolot ya mencolot,” ujar Risma dalam balutan kebaya oranye. Tapi, dia memastikan semua hal yang dia lakukan itu untuk kebaikan warga Surabaya.
Tak ada brifing khusus untuk Risma pada prosesi tersebut. Dia hanya diminta untuk mengikuti arahan dari pembawa acara yang berbicara dalam campuran bahasa Jawa halus dan Indonesia. Pidato Risma pun disampaikan secara langsung. Tidak ada teks khusus. Secarik kertas yang dia pegang berisi nama lengkap Sinuwun.
Seluruh prosesi itu diadakan di dalam Sasana Handrawina. Area tersebut tidak termasuk dalam tempat wisata yang bisa dikunjungi turis sembarangan. Tempat wisata biasanya hanya di area museum keraton. Masuk ke area keraton itu pun punya tata aturan yang harus dipatuhi. Semua orang yang masuk diberi selendang kecil perpaduan merah-kuning. Pengunjung perempuan diwajibkan mengenakan sewek dari kain batik panjang untuk menutupi celana panjang.
Pemberian gelar tersebut dilakukan dengan penyerahan sertifikat piagam dalam tulisan hanacaraka dan alfabet berbahasa Jawa. Pada piagam tersebut, nama panjang dan gelar Risma menjadi Kanjeng Mas Ayu Dr (HC) Ir Tri Rismaharini Kelaswari MT. Atas gelar tersebut, Risma sudah dianggap bagian dari keluarga keraton. ”Gelar itu langsung dari krenteknya Sinuwun. Ndak tahu Sinuwun menerima sasmitha nopo, tahu-tahu saya dipanggil,” ungkap Kanjeng Pangeran Aryo. Dia menyatakan datang langsung ke Surabaya untuk menyerahkan surat undangan kepada Risma.
Kanjeng Raden Mas Panji Kusumo Wicitro menambahkan, pemberian gelar kanjeng mas ayu itu berbeda dengan kanjeng mas ayu tumenggung. Tanpa kata tumenggung berarti sudah dianggap sebagai bangsawan dan keluarga raja.
”Kalau masih ada kanjeng mas ayu tumenggung, itu masih abdi dalem,” ujar dia. Dia mence ritakan, bisa jadi Risma diberi penghargaan tersebut karena kiprahnya selama ini. ”Mungkin oleh Sinuwun, Bu Risma dianggap sebagai wali kota yang berprestasi,” jelasnya.