Jawa Pos

Istiqamah meski Masih Dipandang Sebelah Mata

Gang Dolly. Kawasan lokalisasi di Jarak, Pasar Kembang, itu ditutup total oleh pemkot sejak 18 Juni 2014. Banyak perubahan setelah hampir enam tahun penutupan itu. Salah satunya eks wisma dekat gerbang gang tersebut yang kini dijadikan rumah singgah dan p

- SALMAN MUHIDDIN,

Jawa Pos

MATAHARI terbenam. Anak-anak di kawasan Gang Dolly harus masuk ke rumah. Tidak boleh ada yang keluar di lokalisasi yang konon terbesar di Asia Tenggara itu. Bahkan lebih besar daripada Patpong di Bangkok, Thailand, dan Geylang di Singapura.

Bagaimana tidak. Terdapat lebih dari 9.000 pekerja seks yang tumplek bleg di area tersebut. Mereka ’’dipajang’’ di dalam ruangan berdinding kaca. Bisnis dosa itu telah mendarah daging. Bahkan, masyarakat sekitar ikut menikmati cipratan ekonomi dengan membuka bisnis warung makan hingga laundry.

Edi Gunawan yang kini berusia 17 tahun ingat betul masa-masa kelam itu. Ketika masih kecil, Gunawan memang tidak boleh ikut mondar-mandir di kawasan tersebut. Pasti diusir para preman yang berjaga di sepanjang gang. ’’Kalau sudah magrib, anak-anak enggak boleh masuk ke gang. Semua masuk ke rumah,’’ ujar Gunawan saat ditemui Jawa Pos pada Rabu (11/3). Kami bertemu Gunawan di eks Wisma Putri lestari

J

Tulisan Wisma Putri Lestari masih terpampang di fasad gedung berwarna merah jambu tersebut. Namun, sudah tidak ada lagi pelacuran di gedung yang memiliki 23 kamar itu. Bisnis dosa di tempat tersebut berubah menjadi ’’pabrik pahala’.’

Gunawan dan teman-temannya tinggal di tempat itu. Mereka menamakan diri komunitas Bonjarlity alias Bonek Njarak Dolly Community. Dandanan mereka menegaskan identitas diri: pakai baju bertulisan Persebaya, tetapi sarungan.

Di lengan dan kaki mereka masih tampak tato yang menempel bertahun-tahun. Goresan tinta tersebut terlihat jelas meski usia mereka rata-rata belum genap 17 tahun.

Menurut mereka, hidup di Dolly sangat keras. Mereka dekat dengan kriminalit­as, alkohol, dan narkotika. Banyak juga anak yang sudah berhubunga­n seks meski usianya masih sangat muda. ’’Sejak di sini 100 persen kami tidak minum alkohol lagi,’’ papar Gunawan.

Gunawan dan teman-temannya bertemu dengan Pendiri Pondok Pesantren Jauharotul

Hikmah (JeHa) Mokhammad Nasih yang hendak mengontrak eks Wisma Putri Lestari. Awalnya, Gunawan dan temanteman­nya merasa terganggu. Sebab, wisma kosong berlantai tiga itu merupakan markas bagi teman-temannya untuk berbuat maksiat.

Nasih berencana membangun TK di eks wisma yang disewa Rp 60 juta selama tiga tahun tersebut. Namun, rencana itu dibatalkan karena dia melihat anak-anak tersebut tidak memiliki tempat. ’’Selama ini mereka dianggap sampah masyarakat. Padahal yo enggak. Mereka ini cuma butuh ditemani,’’ kata Nasih.

Nasih yang sudah memiliki 260 santri di kawasan Jarak, Dolly, itu memisahkan Bonjarlity dan santri lainnya. Menurut dia, cara penanganan mereka berbeda dengan santri biasa. Jika dikerasi dengan sistem pesantren biasa, dia yakin mereka bakal kabur dan kembali ke jalan gelap.

Namun, dia membebaska­n mereka tinggal di rumah singgah. Mau melakukan apa pun silakan. Asal tidak menabrak koridor agama. ’’Kalau mereka ini tidak bisa dipaksa salat dan mengaji. Sekarang minimal jangan maksiat lagi. Fokus itu dulu,’’ katanya.

Sudah dua tahun Nasih mendamping­i mereka. Dia dibantu Ustad Lukman Hakim yang juga tidur di tempat tersebut bersama keluargany­a. Kini misi pertama agar anak-anak itu tidak lagi melakukan maksiat sudah berhasil. ’’Ternyata sekarang kalau salat sudah tidak perlu minta. Mereka salat sendiri. Ya alhamdulil­lah,’’ kata Nasih.

Bahkan, setiap malam mereka melaksanak­an salat Hajat. Setiap bulan mereka juga mengadakan salawatan di rumah anak-anak tersebut secara bergantian. Sebelum salat Magrib, mereka juga mengikuti ’’Ngaji Rungon’’ dengan Ustad Lukman. ’’Apa itu ’’Ngaji Rungon’’, kok aku enggak ngerti?’’ ujar Nasih. ’’Itu lho Pak, Ustad Lukman cerita nabi-nabi,’’ tambah Gunawan.

Sejak Dolly ditutup, Gunawan mengatakan bahwa hidupnya kini berubah 180 derajat. Secara ekonomi memang dirasa lebih susah. Dulu, dia sering diajak keluargany­a makan di restoran. Sekarang jarang. Bahkan tidak pernah.

Meski begitu, dia saat ini lebih merasa bahagia. Menurut dia, kemewahan dan uang yang diterima dulu tidak ada artinya. Melalui rumah singgah di Pesantren

JeHa, dia sadar bahwa hidup perlu perjuangan dan roda pasti berputar. ’’Sekarang bantu orang tua jualan di pasar burung,’’ jelasnya.

Meski sudah di pesantren, cap buruk terhadap anak-anak Bonjarlity belum bisa hilang. Bahkan, beberapa warga masih memandang mereka sebelah mata. Meski begitu, Nasih tidak patah semangat menemani Gunawan dan teman-temannya dengan tidak mendengark­an omongan miring orang-orang. Agar tetap istiqamah, Nasih pun membuat moto untuk Bonjarlity: Nakal sak wajare, ngaji sak lawase.

 ?? FRIZAL/JAWA POS ?? BERUBAH 180 DERAJAT: Mokhammad Nasih (kiri) mengajar ngaji sebagian anggota Bonjarlity di eks Wisma Putri Lestari di Gang Dolly pada Rabu (11/3).
FRIZAL/JAWA POS BERUBAH 180 DERAJAT: Mokhammad Nasih (kiri) mengajar ngaji sebagian anggota Bonjarlity di eks Wisma Putri Lestari di Gang Dolly pada Rabu (11/3).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia