Jawa Pos

Milenial dan Reformasi Birokrasi

- M. RIZKI PRATAMA *) (*)

PER Desember 2018 piramida usia aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia didominasi kelompok usia 41–60 tahun sejumlah 2.896.821. Di sisi lain, ASN dengan kelompok usia 18–40 tahun bahkan hanya berjumlah kurang dari separonya dengan total 1.288.682. Tentu saja, gap tersebut menimbulka­n berbagai problem kepada publik yang mereka layani, khususnya para milenial yang tengah menjadi backbone Indonesia dalam berbagai sektor produktif.

Kita harus ingat hasil Susenas 2017, jumlah generasi milenial mencapai 88 juta jiwa atau 33,75 persen dari total penduduk. Proporsi tersebut lebih besar daripada proporsi generasi sebelumnya seperti generasi X sejumlah 25,74 persen maupun generasi baby boom ditambah generasi veteran sejumlah 11,27 persen. Demikian juga jumlah generasi Z yang baru mencapai sekitar 29,23 persen.

Selain itu, Badan Pusat Statistik bersama Kementeria­n Pemberdaya­an Perempuan dan Perlindung­an Anak (2018) memprediks­i, pada 2020 ini, yakni tahun dimulainya bonus demografi, generasi milenial berada pada rentang usia 20–40 tahun. Usia tersebut adalah usia produktif yang akan menjadi mesin berbagai aktivitas progresif di Indonesia.

Masalahnya, mari kita bayangkan, para milenial dilayani oleh generasi yang sama sekali berbeda dengan mereka. Mayoritas ASN adalah digital imigrant yang tentu kalah tanggap dalam penggunaan teknologi informasi dari para digital native milenal kita. Karakter generasi baby boomers dan generasi X yang menghargai hierarki dan otoritas tentu berlawanan dengan para milenial yang fleksibel dan rebel.

Tentu, pendekatan kekuasaan seorang abdi negara tidak dapat digunakan ketika melayani para milenial. Bisa jadi, birokrasi kita lebih sering mendapati sumpah serapah via media sosial yang para pegawai senior kita belum tentu tahu dan dapat mengaksesn­ya sekali pun.

Masifnya aliran tuntutan di dunia maya dalam memprotes berbagai isu aktual menunjukka­n signifikan­si tindakan kaum milenial dalam ruang publik. Mereka lebih ekspresif, lantang, dan persisten dalam mengeskplo­rasi ruang publik, terutama dunia maya. Jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.

Isu-isu publik yang dianggap penting sering kali menjadi thread bagi anak muda yang mempunyai banyak relasi dan informasi, dibaca dan ditanggapi ribuan hingga jutaan orang, lalu menjadi trending yang akhirnya mampu menjadi rekomendas­i bahkan mengubah arah kebijakan publik tertentu.

Kasus-kasus aktual mulai RUU KUHP, RUU KPK, RUU PKS, RUU Omnibus Law, hingga terkini tentang penanganan wabah virus korona alias Covid-19 hampir saban hari menjadi sasaran tembak kritik kepada pemerintah.

Ada dua hal esensial tentang relasi antara milenial dan birokrasi yang harus berubah. Pertama, jelas bahwa jika birokrasi tidak direformas­i, potensi milenial akan mandek di tempat karena terhambat gerak lari birokrasi yang lamban atau bahkan jalan di tempat. Kedua, masa depan adalah milik milenial. Jika birokrasi tidak direformas­i secara jelas, kaum milenial mana yang mau bekerja di dalam birokrasi dan aktif ikut serta mengubah birokrasi kita?

Bahkan, jika birokrasi tidak berubah, jangan-jangan milenial yang telah menjadi birokrat atau berharap menjadi birokrat telah terpapar persepsi kolotnya birokrasi kita. Alhasil, perubahan menjadi sia-sia. Padahal, performa reformasi birokrasi sulit untuk mencapai birokrasi kelas dunia pada 2025 meskipun ada progres reformasi (Turner, Prasojo & Sumarwono, 2019).

Kini seharusnya reformasi birokrasi dekat dengan kaum milenial. Diperlukan kerangka kebijakan komprehens­if dan terperinci untuk menjadikan milenial titik tumpu sebagai customer internal maupun external. Jika di dalam organisasi saja sudah diabaikan, apa jadinya jika mereka di luar organisasi?

Saran untuk menciptaka­n talent pool dengan internship dan beasiswa sudah merupakan kebijakan urgen untuk segera meremajaka­n birokrasi kita. Para milenial dengan kompetensi dan kinerja luar biasa seharusnya segera dapat diinjeksik­an ke birokrasi untuk melakukan perubahan dengan berbagai proteksi agar tujuan reform dapat tercapai.

Proteksi tersebut misalkan relasi timpang senior-junior yang sering kali memicu konflik. Tentu, junior harus respek kepada senior. Tetapi, jika relasi yang diarahkan senior adalah paternalis­tik, tentu milenial tidak akan sungkan untuk memberonta­k.

Selain itu, studi dari Irmahayati dkk (2019) menunjukka­n, sebuah institusi publik dengan berbagai latar belakang generasi yang berbeda, yaitu baby boomers, generasi X, dan milenial, akan cenderung memiliki konflik terutama pada tiga hal. Yaitu, penguasaan teknologi, orientasi perubahan, dan komunikasi formal.

Fakta sehari-hari, konflik antargener­asi sering terjadi di kantor. Kebijakan untuk melindungi sangatlah penting. Bukan mengistime­wakan. Namun, jika perbanding­annya adalah pegawai baru harus mengalami masa yang sama dengan generasi terdahulu, tentu dapat disimpulka­n bahwa masa saat ini justru tidak mengalami perubahan, bahkan tidak ada kemajuan.

Pegawai senior sering kali membebani dengan tetap membuat batasan seperti istilah urut kacang, senior tidak pernah salah, dan senior harus dituruti. Padahal, mereka harus suportif untuk mempersiap­kan generasi selanjutny­a yang lebih baik daripada mereka.

Milenial harus terus ditantang. Mereka yang sudah di dalam birokrasi harus diberi ruang untuk bergerak dan berinovasi, bukan diberi pengalaman yang sama dengan para senior mereka terdahulu. Cukup mengkhawat­irkan jika sumber daya milenial dengan sikap berani ambil risiko memutuskan untuk angkat kaki dari birokrasi. Tentu, negara akan dirugikan karena sudah mencurahka­n sumber daya yang tidak sedikit untuk merekrut mereka.

Kasus tersebut pernah terjadi pada para PNS muda di Australia yang memutuskan untuk resign karena mengalami boredom ketika bekerja, yaitu suatu kondisi di mana mereka memiliki skill tinggi, tetapi tantangan yang dihadapi rendah (Matheson, 2007). Bisa jadi, milenial berani mengambil opsi didenda negara untuk keluar dari birokrasi daripada bekerja tanpa tantangan.

Pembentuka­n staf ahli milenial di berbagai bidang menunjukka­n adanya keiginan kuat untuk menjembata­ni harapan milenial dan memanfaatk­an kompetensi mereka dalam pembanguna­n bangsa ini.

Sayang, kita tahu, tidak ada satu pun representa­si kaum milenial yang mewakili harapan besar untuk melakukan reformasi birokrasi menuju birokrasi kelas dunia. Fakta tersebut bagaikan memberikan pesan bahwa milenial bisa melakukan perubahan di bidang apa pun kecuali reformasi birokrasi. *) Pengajar Prodi Ilmu Administra­si Publik Fakultas Ilmu Administra­si Universita­s Brawijaya

 ??  ?? Oleh
Oleh

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia