Apindo dan DPR Juga Menolak
PENOLAKAN kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga disuarakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Menurut mereka, menaikkan iuran BPJS Kesehatan malah memberatkan masyarakat dan perusahaan di tengah wabah Covid-19. Sekaligus, mengancam roda ekonomi nasional.
’’Kondisi masyarakat dan perusahaan sudah berat. Iuran naik makin menekan daya beli masyarakat. Kalau tidak bisa bayar, mereka tidak dapat akses kesehatan,’’ jelas Ketua Apindo Hariyadi B. Sukamdani dalam diskusi virtual Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) kemarin (13/5)
Dalam situasi pandemi Covid-19, mayoritas pendapatan masyarakat turun. Terjadi banyak pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan, penghasilan masyarakat yang masih bekerja menurun. Tentu akan menjadi pekerjaan rumah lagi jika banyak yang sulit membayar iuran.
Apalagi, lanjut Hariyadi, kenaikan iuran belum tentu meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Mengingat, dalam situasi normal, kondisi keuangan BPJS Kesehatan defisit. Tidak sedikit klaim rumah sakit yang telat dibayar BPJS Kesehatan.
’’Dalam kondisi seperti ini, sebetulnya perusahaan itu kan juga minta diberi relaksasi. Kelonggaran untuk tidak membayar penuh. Tapi, uang dari mana mau memberikan relaksasi?’’ ujar alumnus Magister Manajemen UI tersebut.
Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) enggan berkomentar tentang peraturan baru kenaikan tarif tersebut. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan bahwa kenaikan tarif baru tentu juga sudah melalui pertimbangan pemerintah secara saksama. ’’MA tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi. Sebab, itu wilayah pemerintah,’’ jelas Andi kemarin.
MA sebelumnya menerbitkan putusan yang mengabulkan gugatan atas Perpres 75/2019. Gugatan yang dilayangkan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tersebut meminta MA kembali menguji pasal kenaikan tarif. MA akhirnya mengabulkan gugatan dan otomatis aturan perubahan tarif di perpres itu tidak berlaku lagi. Putusan dikeluarkan pada Februari lalu. Namun, hingga bulan ini, tidak ada kejelasan mengenai kembalinya tarif ke aturan lama. Pemerintah justru mengeluarkan aturan baru.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh menyampaikan kekecewaan dengan diumumkannya kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan. ’’Bagi saya, pengumuman ini tidak layak. Kurang beretika ketika rakyat kesusahan akibat Covid-19,’’ tegasnya.
Perempuan yang akrab disapa Ninik itu menuturkan, rakyat seperti diombang-ambingkan. Tidak ada kejelasan. Sebelumnya, iuran BPJS Kesehatan dinaikkan. Kemudian, setelah keluar putusan MA, tarifnya kembali diturunkan. Terus, sekarang iuran BPJS Kesehatan kembali naik.
Dia menegaskan, rakyat tidak mendapatkan kepastian dan cenderung dipermainkan. ’’Meski asumsinya kelas I dan II adalah masyarakat mampu, dengan adanya Covid-19 ini, banyak yang menjadi orang miskin baru,’’ terangnya.
Masyarakat yang sebelumnya memiliki pekerjaan serta bisa membayar iuran BPJS Kesehatan kelas I dan II menjadi tidak mendapatkan penghasilan karena terkena PHK. Atau, penghasilan mereka dipotong lantaran dirumahkan. ’’Ayolah Presiden, jangan main-main dengan hati rakyat,’’ tuturnya.
Hal serupa disampaikan anggota komisi IX lainnya, Lucy Kurniasari. Menurut dia, tindakan presiden yang menerbitkan Perpres 64/2020 terkait dengan perubahan kedua atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah perbuatan melawan hukum. Presiden, lanjut dia, seharusnya taat asas dengan melaksanakan putusan MA. ’’Kalau begini kan pemerintah main-main dengan putusan MA,’’ ujarnya.
Dia khawatir kondisi itu menjadi preseden buruk ke depan. Bukan tidak mungkin tindakan Jokowi akan diikuti rakyat dengan membangkang pada hukum. Dia pun mendesak presiden membatalkan Perpres 64/2020. ’’Selanjutnya, kami minta presiden melaksanakan putusan MA dengan sungguh-sungguh untuk memberikan contoh kepada rakyat,’’ tutur anggota dewan dari dapil Jatim I (Surabaya–Sidoarjo) tersebut.