Berawal dari Keresahan: Dielu-elukan di Suriname, Kurang Dikenal di Sini
Cerita seorang tetangga dan pernah mengamen di sana menjadi inspirasi di balik lirik Stasiun Balapan. Dari lagu yang semula cuma diproduksi 100 biji kaset itu, Didi Kempot memperoleh tawaran membuat klip, melakukan tur keliling, dan menjadi duta PT KAI.
KOPI hitam di gelas Didi Kempot hampir tandas saat dia berkata, ”Oke, wis rampung (sudah selesai).”
Dari ”Terminal Tirtonadi” ke ”Pantai Klayar” lewat ”Dalan Anyar”
Baca Besok
Hariyono, Kuncung, dan rekanrekan pemusiknya yang telah menunggu pun mulai bersiap.
Gitar digenjreng. Didi pun mulai rengeng-rengeng (menyanyi pelan, agak menggumam) berdasar lirik 22 bait yang baru selesai digarapnya.
Ning Stasiun Balapan Kutha Solo sing dadi kenangan Kowe karo aku
Naliko ngeterke lungamu (Di Stasiun Balapan Kota Solo yang jadi kenangan Kamu dan aku
Saat mengantarkan kepergianmu) Lahirlah Stasiun Balapan, di sebuah studio musik di Solo, suatu hari pada pengujung 1998 itu. And the rest is history (dan sesudahnya adalah sejarah)...
Dari Stasiun Balapan, Didi Kempot berjalan jauh. Sangat jauh. Menapaki tangga popularitas, mengerek taraf kesejahteraannya, sekaligus menguatkan platform penulisan lagunya.
Yang pada akhirnya kelak membawanya menembus berbagai ”perbatasan” pendengar musik: tua-muda, kaya-miskin, kampung-gedongan, berbahasa Jawa-tak paham bahasa Jawa. Juga mendatangkan beragam penahbisan untuknya: ”Maestro Campursari”, The Godfather of Broken Heart”, ”Lord Didi”.
Dan itu semua diawali sebuah keresahan. Didi sudah rekaman sejumlah album ketika itu. Cidro, misalnya, telah pula beberapa kali dia tampilkan di Suriname dan Belanda. Dan disukai.
”Mas Kempot prihatin. Di luar namanya di elu-elukan, tapi di Indonesia malah kurang terkenal,” ujar Hariyono, kawan ngamen Didi sejak di Solo sampai Jakarta, kepada Jawa Pos Radar Solo.
Stasiun Balapan dipilih karena di stasiun kereta api di Solo itulah
Didi beberapa kali mengamen di masa muda. Lewat stasiun itu pula dia hilir mudik di antara dua kota yang berperan penting membentuk karir dan karakternya: Solo dan Jakarta.
Keinginan tersebut lantas dicurhatkan kepada dua sahabat kentalnya, Hariyono dan Kuncung. ”Langsung saja kami bilang, yoh mangkat (ayo berangkat/digarap, Red),” kata Hari Gempil, sapaan akrab Hariyono, menceritakan kembali peristiwa di balik lagu itu.
Mereka pun berbagi tugas. Didi menulis lirik. Hari dan Kuncung mengumpulkan pemusiknya. Para pemusik tersebut temanteman mereka sendiri yang biasa berkumpul di studio daerah Krembyongan, Kelurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Solo.
Lirik lagu itu sederhana saja. Bercerita tentang sebuah kesetiaan yang diingkari kekasihnya. Dengan Stasiun Balapan sebagai saksinya. Janji lungo mung sedelo Malah tanpo kirim warto Lali opo pancen nglali Yen eling mbok enggal bali (Janji cuma pergi sebentar Malah tak pernah kirim kabar Lupa apa pura-pura lupa Kalau ingat segeralah kembali) ”Katanya Mas Didi sih itu pengalaman tetangga sebelah rumahnya, tapi siapa saya tidak tahu,” ungkap Hari.
Yan Vellia, istri Didi Kempot, menyebutkan, ide lagu-lagu sang suami kebanyakan memang berasal dari pengalaman teman. ”Selain itu, Mas Didi menemukan banyak ide dari tempat-tempat tertentu hingga menjadi judul lagu atau diselipkan dalam liriknya,” katanya.
Setelah penggarapan rampung, Didi, Hariyono, dan Kuncung lantas berangkat ke Lokananta, studio rekaman legendaris di Solo, untuk merekam lagu tersebut. Karena keterbatasan dana, kala itu baru bisa membuat rekaman kaset pita. Di rekaman pertama hanya bisa membuat 100 biji kaset.
Seratus kaset tersebut, kata Hariyono, langsung dititipkan di sejumlah toko kaset di Solo. Bukan hanya itu, beberapa radio juga diberi satu kaset untuk membantu memperdengarkan kepada khalayak ramai.
Hanya dalam kurun waktu beberapa pekan, karena liriknya gampang dicerna, lagu tersebut langsung populer, khususnya di kalangan anak-anak muda. Setiap ada siaran radio, pasti ada yang meminta untuk diputarkan.
Efeknya, kaset lagu itu juga laku keras di pasaran. Saat ambil uang dari pemilik toko, pasti mereka memesan kembali. ”Karena banyak permintaan, akhirnya setiap pekan produksi sekitar 100 kaset,” kata Hariyono.
Agar tidak monoton, kaset tersebut ditambahi beberapa lagu Didi yang terdahulu, yang sering dibawakan di Suriname. Seperti Cidro, kemudian We Cen Yu (Kowe Pancen Ayu), dan beberapa lagu baru seperti Sekonyong-konyong Koder, Sewu Kutho, Terminal Tirtonadi, dan masih banyak lainnya. Satu album ada sekitar 16 lagu.
Stasiun Balapan kian meyakinkan Didi bahwa lagu-lagu dengan lirik membumi, melodi sederhana, adalah cara terbaik menggapai siapa saja. Dia jadi tidak berjarak dengan pendengarnya.
Patah hati atau kerinduan yang diceritakannya lewat lagu adalah patah hati dan kerinduan yang dimiliki orang-orang di jalanan, stasiun, pasar, terminal, dan di banyak tempat lain. Didi pun jadi bagian dari keseharian orang banyak.
Sebulan setelah dirilis, Dasa Record, Semarang, melirik lagu tersebut. Mereka mengontak Didi dan menawari membiayai pembuatan klip video.
Didi langsung mengiyakan penawaran itu. ”Kemudian Mas Didi menghubungi saya dan Mas Kuncung. Katanya waktu itu, ayo nggawe video clip (ayo bikin klip video, Red),” kenang Hariyono.
Setelah klip yang digarap di Stasiun Balapan itu rampung, Didi, Hariyono, dan Kuncung berpelukan. Tiga sahabat yang memulai segalanya dari musik jalanan tersebut tak menyangka akhirnya memiliki klip video mereka sendiri.
Klip itu pun semakin mengangkat popularitas Stasiun Balapan. Didi berkesempatan menggelar tur keliling. Penjualan keping VCD tahun pertama saja menembus 1 juta kopi. ”Saking tenarnya, khusus lagu Stasiun Balapan ini sampai dibuat menjadi 17 aransemen musik,” ungkapnya.
Apresiasi juga datang dari PT Kereta Api Indonesia (KAI). Didi diangkat sebagai Duta Kereta Api. Humas PT KAI Daop 6 Jogjakarta Eko Budianto mengatakan, pengangkatan itu dilakukan pusat sekitar 2017.
”Karena mungkin, satu, setelah ada lagu Stasiun Balapan itu, antara Didi kempot dan kereta api menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pastinya mengenalkan stasiun, ikut membantu mengenalkan masyarakat Indonesia keberadaan Stasiun Balapan Solo,” terangnya.
Kini, setelah sang penyanyi berpulang, Stasiun Balapan pun jadi salah satu monumen kesuksesannya. Melestarikan kenangan tentang Didi. Sekaligus mungkin juga menguak kesedihan karena sang legenda berpulang terlalu cepat. Ning Stasiun Balapan Rasane koyo wong kelangan... (Di Stasiun Balapan Rasanya seperti orang kehilangan)