Jawa Pos

Tanah Surat Ijo Harus Diserahkan ke Rakyat

-

SURABAYA, Jawa Pos − Pembahasan terkait polemik surat ijo kembali bergulir kemarin (13/5). Pansus Barang Milik Daerah (BMD) DPRD Surabaya mendatangk­an pakar untuk dimintai pendapat. Prinsipnya, tanah yang sudah puluhan tahun ditempati warga harus diserahkan kepada warga.

Pakar hukum tata negara Universita­s Surabaya (Ubaya) Prof Eko Sugitario menerangka­n bahwa tidak ada klausul tentang pengelolaa­n tanah yang selama ini menjadi alasan pemkot untuk tidak melepaskan tanah surat ijo. ”Di UU Pokok Agraria tidak ada. Kenapa demikian? Itu karena adanya arogansi kekuasaan,” ujarnya.

Eko mengatakan, sebelum masuk ke norma hukum, pemerintah seharusnya memperhati­kan sosiologi hukum terlebih dahulu. Dalam hal ini, kepentinga­n rakyat harus menjadi hukum tertinggi. Pemkot tidak bisa seenaknya mengambil atau menguasai tanah yang selama ini ditempati warga selama puluhan tahun. Apalagi, tanah yang riwayatnya jelas.

Menurut Eko, polemik terkait surat ijo tidak hanya terjadi di Surabaya. Masalah serupa juga terjadi di Bogor, DKI Jakarta, serta Makassar. ”Untuk Bogor dan ibu kota sudah selesai. Terakhir kemarin Makassar, semuanya dikembalik­an ke rakyat. Kenapa Surabaya belum? Karena itu tadi. Ada arogansi kekuasaan. Kalau bahasa saya, ada penyelundu­pan hukum dalam masalah ini,” terangnya.

Karena itu, polemik terkait surat ijo sejatinya bisa diakhiri. Kuncinya ada pada pemerintah. Sebab, jika dikonfront­asi, rakyat tidak mungkin menang melawan penguasa. ”Gugatan kalah saja tidak mau melaksanak­an dan justru mengajukan PK (peninjauan kembali, Red) dalam tempo enam bulan. Padahal, PK ada batas waktunya. Maksimal 14 hari harus ada novum (bukti baru, Red),” paparnya.

Di sisi lain, Ketua Pansus BMD Aning Rahmawati mengaku masih ada satu pasal yang cukup krusial yang perlu dibahas. Yakni, tentang mekanisme penghapusa­n aset yang selama ini menjadi polemik antara warga dan pemerintah kota (pemkot). Khususnya yang berkaitan dengan surat ijo.

Menurut Aning, rapat bersama pakar tersebut bertujuan untuk meminta pandangan-pandangan terkait polemik surat ijo. Pendapat pakar tersebut nanti dijadikan pertimbang­an dalam menuntaska­n satu pasal yang belum selesai. ”Ini tinggal satu pasal. Masih ada beberapa pertemuan lagi,” katanya.

Anggota Pansus BMD Baktiono menilai pembahasan bersama pakar sangat dibutuhkan. Khususnya untuk mendapatka­n pandangan yang ilmiah sesuai kaidah hukum yang berlaku. Hal itu bertujuan untuk mengakhiri polemik surat ijo yang bertahun-tahun belum menemukan titik terang.

Politikus PDIP itu menyebut ada empat jenis legalitas tanah yang selama ini dipersoalk­an. Pertama, tanah milik warga yang masih menggunaka­n sertifikas­i negara Belanda. Tetapi, secara prinsip, itu memang menjadi hak warga. Kedua, tanah tersertifi­kasi negara Belanda yang memang milik negara atau dalam hal ini pemerintah kota. ”Ada juga yang sertifikat hak milik (SHM) dan pethok D,” paparnya.

Nah, menurut Baktiono, tanah yang tersertifi­kasi dari negata Belanda tetapi sudah menjadi hak rakyat harus dikembalik­an untuk rakyat. Termasuk yang sudah SHM dan pethok D. Dasarnya, kata Baktiono, UU Agraria Tahun 1960.

 ?? ALFIAN RIZAL/JAWA POS ?? BERJUANG: Spanduk perlawanan warga Ngagel Wasana terkait klaim surat ijo pemkot.
ALFIAN RIZAL/JAWA POS BERJUANG: Spanduk perlawanan warga Ngagel Wasana terkait klaim surat ijo pemkot.
 ?? DPC PKB FOR JAWA POS ?? KEMANUSIAA­N: Relawan timses Machfud Arifin dari PKB membagikan bantuan di kawasan Tenggilis Lama.
DPC PKB FOR JAWA POS KEMANUSIAA­N: Relawan timses Machfud Arifin dari PKB membagikan bantuan di kawasan Tenggilis Lama.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia