”Obat Mujarab” Covid-19
SAAT virus Covid-19 mulai mewabah hebat dan tak ada satu pun orang yang memastikan kapan berakhir, banyak argumen yang nyinyir pada agama. Agama disebut-sebut gagap memahami pandemi global itu
Juga, dianggap gagal untuk berkontribusi terhadap bagaimana seharusnya memahami, menyikapi, dan menangani virus yang bermutasi tinggi dan belum ada penangkalnya itu.
Puasa Ramadan menjadi bukti untuk menangkal argumen miring di atas. Pesan kejujuran di balik ajaran puasa di bulan suci ini menjadi bukti bahwa kontribusi agama signifikan bagi upaya penangkalan persebaran virus korona.
Saat penularan virus tersebut mulai menyentuh dan menyasar tenaga medis, ketegasan argumen yang menihilkan kontribusi agama di atas mulai cenderung lunglai. Pasalnya, tenaga kesehatan yang dilengkapi dengan berbagai alat pelindung diri (APD) pun termasuk pihak yang berisiko tinggi tertular virus dari pasien.
Meninggalnya dr Berkatnu Indrawan Janguk, seorang dokter di RS dr M. Soewandhie Surabaya, berawal dari pasien yang tidak jujur. Dia tertular oleh pasien asal Pemalang yang tidak secara lengkap nan jujur menjelaskan riwayat penyakitnya (Jawa Pos, 28/4). Di RS Muhammadiyah Kediri, 15 tenaga medis sebelumnya dilaporkan harus melakukan isolasi diri. Alkisah, ada pasien datang mengeluhkan batuk, pilek, dan sesak napas, tapi dia tidak jujur saat ditanya pernah pergi ke mana saja dan kontak dengan siapa saja. Kejujuran ternyata menjadi kata kunci terkini pemutusan atau minimal reduksi persebaran virus Covid-19.
Puasa Ramadan mengajarkan kejujuran supertinggi. Begitu tingginya semangat agama untuk menanamkan kejujuran yang supertinggi dalam hidup, hadirnya perintah puasa itu dilengkapi dengan hadis qudsi dengan redaksi yang cukup eksklusif. Kullu ’amal ibni Adam lahu illa al-shiyamu, fa innahu li wa ana ajzi bihi. Terjemahannya, ”Semua pahala ibadah yang dikerjakan oleh manusia untuk dirinya sendiri kecuali puasa; puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan mengganjarnya”.
Redaksi hadis qudsi di atas, bagi saya, pasti menyimpan rahasia ajaran yang luar biasa di balik perintah ibadah puasa. Memang, puasa Ramadan, seperti halnya salat, bebas kelas sosial. Bedanya, puasa Ramadan mendapatkan gambaran tersendiri dari Allah SWT, terutama menyangkut jaminan atas imbalan pahala bagi pelakunya, karena semangat kejujuran personal yang menjadi karakter utamanya. Ukurannya, hanya orang yang bersangkutan dan Allah yang tahu.
Ibadah puasa mengajarkan kejujuran sejati. Bukan kejujuran semu yang dibungkus oleh proses transaksional dan dibalut kepentingan mencari muka. Kejujuran sejati seperti inilah yang merupakan awal dari segala kebajikan.
Tingginya ajaran kejujuran sejati di atas membuat para ulama hanya mampu memberikan ukuran indikatif atas sukses-tidaknya puasa Ramadan. AlImam al-Ghazali, sebagai misal, membuat ukuran indikatif dimaksud melalui tiga kategori puasa: ’awam (biasa), khawash (spesial), dan khawashul khawash (superspesial).
Namun, siapa yang mengukur seseorang masuk kategori apa, hanya Allah yang tahu. Minimal, kecenderungan hari dan bulan setelah Ramadan lebih baik dari sebelumnya berarti indikasi sukses. Jika lebih buruk atau minimal sama, berarti kurang atau tidak sukses.
Jadi, ukuran kesuksesan puasa Ramadan itu bukan sekadar prosedural, melainkan esensial. Secara prosedural, seseorang bisa saja telah berhasil menyelesaikan ibadah puasa karena dia tidak makan, minum, atau berhubungan suami-istri selama siang hari di bulan Ramadan. Akan tetapi, secara esensial, soal kualitas puasa seseorang dan pengaruhnya terhadap kepribadiannya, hanya yang bersangkutan dan Allah yang tahu.
Karena itulah, hadis qudsi di atas hadir untuk menanamkan kesejatian diri melalui perintah ibadah puasa Ramadan. Nah, saat pandemi Covid-19 telah mengubah gaya hidup dan gaya bekerja semua orang, kesejatian diri dimaksud sangat dibutuhkan. Dan, kejujuran menjadi semangat dasarnya. Untuk itu, penting bagi kita menumbuhkan kesadaran baru dengan mengaitkan antara kesempurnaan berpuasa dan keutamaan isolasi diri di rumah. Melakukan Tarawih berjamaah-terbatas di rumah serta tidak melakukan perjalanan mudik, misalnya, harus dipahami sebagai bagian dari kesempurnaan dan keutamaan dimaksud.
Jadi, puasa Ramadan berkontribusi penting untuk memperkuat indeks kejujuran yang kini menjadi masalah besar di balik persebaran virus Covid-19. Jika kejujuran menjadi komitmen setiap orang, tentu dalam urusan penanganan persebaran Covid-19, petugas medis tidak harus terlalu khawatir atas nasib kesehatannya.
Melalui semangat kejujuran yang diajarkan, puasa Ramadan mempersembahkan ”obat mujarab” bagi serangkaian upaya penekanan persebaran dan atau penanganan Covid-19. Lebih dari itu, komitmen untuk membangun ekosistem sosial yang baik di balik perintah puasa Ramadan melengkapi kontribusi agama dimaksud. Tidak mudik adalah juga perintah agamaRamadan agar ekosistem sosial yang baik dengan tidak adanya penularan virus korona di tengah masyarakat bisa terjamin.