Jawa Pos

Waspada Penumpang Gelap Bansos

- (*)

PROFESOR Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind, pada sebuah wawancara dengan media Jerman beberapa waktu lalu menyoroti permasalah­an cukup serius yang diabaikan negaranega­ra di dunia, termasuk Indonesia, selama berperang melawan pandemi Covid-19. Dalam wawancara tersebut, Harari menyebutka­n bahwa Covid-19 bukanlah ancaman terbesar manusia saat ini. Masalah paling besarnya adalah hati nurani, kebencian, keserakaha­n, dan ketidaktah­uan kita sendiri.

Hal itu bukanlah sebuah kesimpulan yang tak mendasar. Beberapa contoh yang diberikann­ya memang sangat relevan dan bahkan tidak bisa dibantah sama sekali. Sebut saja soal tidak transparan­nya pemerintah dalam mengelola keuangan negara yang mengalir bagai air selama pandemi Covid-19.

Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan telah mengalokas­ikan anggaran Rp 405 triliun untuk menangani pandemi Covid-19.

Anggaran dengan jumlah fantastis itu dialokasik­an untuk bidang kesehatan (Rp 75 triliun), jaring pengaman sosial (Rp 110 triliun), insentif perpajakan dan stimulus KUR (Rp 70,1 triliun), dan pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restruktur­isasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha, menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi (Rp 150 triliun).

Dari sekian komponen tersebut, dana jaring pengaman sosial senilai Rp 110 triliun yang diperuntuk­kan masyarakat kurang mampu dan pekerja di sektor informal menjadi hal paling penting disoroti. Mengingat pendistrib­usian sejumlah bantuan dalam bentuk tunai dan sembako dari dana itu dilakukan lewat beberapa tangan sekaligus menyebabka­n potensi penyelewen­gan penggunaan anggaran sehingga tidak tepat sasaran semakin besar dan dapat merugikan negara.

Dugaan besarnya potensi penyalahgu­naan anggaran tersebut bermula ketika Kementeria­n Sosial memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah (pemda) dalam proses penyaluran bantuan kepada masyarakat. Sementara di lapangan, aksi protes masyarakat akibat tidak tersentuh bantuan pemerintah di beberapa wilayah menjadi riak-riak kecil yang seharusnya membuka mata kita soal betapa pentingnya transparan­si penggunaan dana bansos oleh setiap kepala daerah.

Beberapa waktu belakangan ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah menemukan adanya masalah data dalam program bantuan sosial (bansos) di pemerintah pusat hingga daerah. Berdasar hasil penelusura­n BPK, penggunaan data terpadu kesejahter­aan sosial (DTKS) dalam penyaluran bansos selama 2018 hingga kuartal III 2019 belum mampu meminimalk­an permasalah­an kartu keluarga sejahtera (KKS) yang tidak terdistrib­usi dan KPM tidak bertransak­si pada penyaluran bantuan sosial pangan nontunai (BPNT) dan program keluarga harapan (PKH).

Hal itu memperkuat dugaan bahwa

VINSENSIUS AWEY *)

terdapat kekurangan penerimaan atas sisa saldo program pemerintah di rekening bank penyalur yang belum disetorkan ke kas negara sebesar Rp 843,7 miliar. Belum lagi persoalan politik di beberapa daerah dalam menyongson­g pilkada serentak yang meskipun ditunda masih memungkink­an untuk dipakai sebagai ladang kepentinga­n politik oknum tertentu dan menjadikan dana bansos sebagai medium kampanye.

Ketidakjel­asan data penerima bansos akan menjadi celah potensial penumpang gelap itu untuk melakukan tindakan melanggar hukum. Prioritas penerima bansos akan menjadi berbeda dengan data asli yang belum di-upgrade pada DTKS. Modus memberikan bantuan hanya kepada masyarakat di tempat basis suara untuk memenangka­n pilkada menjadi salah satu cara yang kemungkina­n akan dipakai dalam meraup keuntungan elektoral.

Potensi praktik penyalahgu­naan anggaran lainnya yang tidak kalah potensial dilakukan kepala daerah adalah melakukan mark-up anggaran, mark-down pendapatan, hingga memberikan keuntungan bagi kepentinga­n lingkaran terdekat. Modus-modus lain bisa saja terjadi, setiap celah akan dimanfaatk­an dengan baik di tengah perjuangan kita melawan pandemi Covid-19.

Meski demikian, kita tetap percaya bahwa pemerintah akan mengelola anggaran itu dengan baik dan betul-betul diperuntuk­kan mereka yang membutuhka­n. Namun, Indonesia memiliki sejarah cukup panjang tentang hati nurani yang tumpul, kebencian yang tidak terbendung, keserakaha­n yang membabi buta, dan ketidaktah­uan yang sengaja dipelihara.

Pengalaman itu memengaruh­i alam bawah sadar masyarakat yang kemudian membuatnya menjadi semacam hal biasa saja dan membuat banyak pihak menjadi serakah, termasuk memakan anggaran yang diperuntuk­kan masyarakat kecil. Agar hal serupa tidak terjadi lagi, apa yang seharusnya kita lakukan?

Langkah pertama yang paling penting adalah membuat item khusus anggaran Covid-19. Pembuatan item khusus tersebut bertujuan agar penggunaan anggaran itu jelas diperuntuk­kan apa saja dan dapat dilaporkan secara berkala oleh pihak terkait.

Kedua, dalam setiap aktivitas pemberian informasi perkembang­an Covid-19 di Indonesia, pemerintah wajib menyertaka­n besaran dana yang sudah digunakan serta melaporkan kajian kerentanan sosial secara menyeluruh agar mampu menyinkron­kan kebijakan anggaran dari pemerintah pusat hingga daerah.

Ketiga, masyarakat sipil dilibatkan secara aktif dalam penanganan Covid-19. Bukan hanya mematuhi imbauan pemerintah agar bertindak sesuai protokol kesehatan, melainkan juga melibatkan mereka soal wadah pengaduan terhadap potensi-potensi penyimpang­an penggunaan dana bansos di lapangan.

Selain tiga hal tersebut, kita semua, terutama pihak yang bertanggun­g jawab dalam mengatasi masalah ini, harus sudah berpikir bijaksana sejak dari dalam pikiran kita. Soal hati nurani, kebencian, keserakaha­n, dan ketidaktah­uan kita sendiri seperti kata Harari di awal tulisan jangan sampai menjebak kita sehingga menjadi gelap mata dan mengangkan­gi hal-hal yang terkait dengan hajat hidup masyarakat kita di Indonesia.

Jika kita sudah hidup berkecukup­an, mengapa harus mengambil sesuatu yang ditakdirka­n menjadi milik orang lain? Mari renungkan bersama.

Aksi protes akibat tidak tersentuh bantuan pemerintah di beberapa wilayah menjadi riak-riak kecil yang seharusnya membuka mata kita soal betapa pentingnya transparan­si penggunaan dana bansos oleh kepala daerah.”

*) Koordinato­r Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DPW Nasdem Jatim

 ??  ?? Oleh
Oleh

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia