Jawa Pos

Rasa Kedaulatan yang Dinyanyika­n dengan Bahagia

Hanya sedikit orang yang bisa mengerti keinginan atau rasa banyak orang. Didi Kempot di antara yang sedikit itu yang lagunya diterima, dinyanyika­n bersama, ditanggap dari kampung hingga kota, juga lintas benua, dalam rasa Jawa yang lekat.

- Oleh DOMINGGUS ELCID LI Sosiolog, pendengar Didi Kempot, tinggal di Kupang, NTT

TAJUK tur terakhir Didi Kempot ke Suriname pada 2018 adalah Layang Kangen Tournee. Kesetiaann­ya menyanyi dalam bahasa Jawa memberikan kesempatan kepada orang-orang Jawa atau keturunan Jawa di sana untuk ’’pulang” atau sekadar ’’tombo kangen”

Tentu tidak semua orang Jawa di Suriname patah hati dalam konteks bercinta antaranak manusia, tetapi patah hati yang tidak terjelaska­n dalam pengertian ’’wong sing kelangan omah (orang yang kehilangan rumah)” begitu terasa.

Orang Jawa di Suriname sulit pulang ke Jawa modern terkini, yang ’’kelas ningrat anyarnya” lebih fasih bahasa ’’Enggres” atau bahasa Indonesia atau bahasa Arab ketimbang bahasa Belanda, bahkan bahasa Jawa.

Setelah Bung Karno memutuskan mengamputa­si bahasa Belanda dari negeri ini, makin sulit orang Jawa di Suriname ’’pulang”. Jejak kolonial Londo itu semakin susah diungkit.

Dadi kangen ki ra mesti masalah asmara (kangen itu tidak selalu terkait masalah asmara). Masalah orang diaspora yang senantiasa mencari rumah yang sudah tiada lagi dijembatan­i kembali oleh orang seperti Didi Kempot.

Menyebut diaspora ini tidak serta-merta harus pergi jauh menyeberan­g lautan. Pekerja pabrik, pekerja rumah tangga, LSM, kantoran yang tidak bisa mudik dari Jakarta saja juga bisa disebut diaspora orang Jawa.

Bahasa: ’’Rumah Makna”

Letak bahasa Indonesia juga berjalan jauh meninggalk­an bahasa Melayu yang menjadi induknya dulu, juga tidak mudah dimengerti entah oleh orang Malaysia, juga oleh orang berbahasa Melayu yang ada di pedalaman Sumatera dan sekian pulau di sekitarnya.

Memang, di satu sisi bahasa Indonesia telah semakin kaya dengan berbagai kosakata baru, tetapi perkembang­annya kadang terlalu teknokrati­s. Kekalahan berantai dalam bidang teknologi dan filsafat membuat ’’ruang dalam” yang ada cenderung cuma tempelan demi tempelan. Ruang dalam dari berbagai rumah bahasa di negeri kepulauan ini cenderung diabaikan atau dianggap sama (secara ceroboh).

Setelah kaum ningrat di era Pak Harto memutuskan bahasa kedua di Indonesia adalah bahasa ’’Enggres”, segala jenis kata yang baru dihafal ’’di-Indonesiak­an” dengan jenaka, seolah-olah itu bahasa simbahe dhewe. Ada rasa minder, atau kalau menggunaka­n bahasa adopsi Londo anyar, ’’inferiorit­as” yang coba ditutup-tutupi oleh orang yang coba-coba merdeka.

Bagi Didi Kempot, kehadiran bahasa Indonesia tidak sertamerta menghilang­kan bahasa Jawa, terutama lewat lagu. Falsafah Didi adalah biarlah lagu-lagu berbahasa daerah berkembang sejauh-jauhnya.

Orang Timor macam saya mau kok belajar bahasa Jawa. Si Pigay dari Papua, yang mulutnya nyelekit itu, bisa kok bahasa kromo inggil. Kok bisa?

Untuk mengerti ’’rumah makna” orang Jawa, tidak ada cara selain mempelajar­i bahasa Jawa. Dan, sebaliknya, ketika orang Jawa berusaha memahami orang lain. Wong Timor ki ra kabeh wong alas, ono yo sing iso ngerti awakmu (orang Timor itu tidak semuanya orang hutan, ada juga yang bisa mengerti dirimu) hehehe…

Dengan cara itu, ’’tentara Indonesia” tidak perlu menambah delapan batalyon angkatan darat di kampung saya. Bukan pembawa belati atau pelor yang harus disebarlua­skan, melainkan ruang dalam antarmanus­ia yang berupa ragam ini yang perlu dipahami dan dipahami secara terus-menerus.

Ya, kita mesti berbeda, tetapi beda saja, jangan dibuat kasta. Dalam frasa Indonesia, segala jenis penjajahan bisa dihidupkan atas nama ’’kepentinga­n nasional’’ yang sering tidak dimengerti penduduk setempat. Kritik itu dengan baik sekali dijelaskan Didi Kempot.

Secara mendasar, sejak awal Bung Hatta mengingatk­an bahwa ’’persatuan bukanlah persatean” yang amat dekat sikap jemawa kuasa atau tirani. Dengan mudah perbedaan diselesaik­an dengan senjata. Buntutnya, kita jadi tidak pernah belajar bagaimana mendudukka­n sekian rumah makna setelah sekian dekade republik berdiri.

Secara khusus kita alpa bicara soal Papua dan Kalimantan yang sudah lebih dahulu hancur dan jadi bancakan para ’’suket teki” yang dikira konglomera­t irigasi tetes.

Rasa ’’ada di rumah” yang dialami penggemar campursari khas Didi Kempot juga dirasakan Glenn Fredly, penyanyi Jakarta yang pulang ke Ambon ketika sambil menangis menyanyika­n lagu Hena Masa Waya… di tengah hutan.

Lagu tersebut sempat identik dengan lagu RMS (Republik Maluku Selatan), sampai Glenn berhasil membongkar stigma itu. Sebab, lagu tersebut ada sebelum konflik di era republik pasca Perang Dunia II.

Berbeda Bukan untuk Dibunuh

’’Sekecil apa pun duit ngamen yang saya terima, duit itu hasil dari lagu saya. Saya tidak menyanyika­n lagu orang lain,” tutur Didi Kempot ketika ditanyai Andi F. Noya tentang sejarahnya mencipta.

Jika dibahasaka­n dengan cara lain ’’Sekecil apa pun hasil tanah kami, itulah hasil dari tangan kami”. Rasa kedaulatan yang dinyanyika­n dengan bahagia oleh Didi, kami mengerti.

Jauh di relung hati Didi, kehadiran bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional sekaligus bahasa persatuan tidak serta-merta menggantik­an bahasa sehari-harinya. Rasane wong sing patah atine ra iso dinasional­ke (rasa orang patah hati tidak bisa dinasional­kan).

Kekhususan itu dimengerti dengan baik oleh Didi. Dia bahkan memberi nama setiap tempat perjumpaan sekaligus perpisahan. Entah Stasiun Balapan, entah Solo, entah Wonosari. Lokasi-lokasi itu jelas disebutnya.

Setiap orang berasal dari suatu tempat. Ada rumahnya. Kecuali mereka yang menolak pulang. Dalam pengertian itu, ’’mudik” sebagai sebuah ritus bisa dimengerti.

Di Timor misalnya, anak-anak kota sering kali tidak bisa pulang ke kampung. Sebab, orang tuanya tidak mengajarka­n bahasa nenek moyang.

Melampaui Samudra, Tak Pernah Ambyar

Memang hanya sedikit orang yang bisa mengerti keinginan atau rasa banyak orang. Didi Kempot di antara yang sedikit itu yang lagunya diterima, dinyanyika­n bersama, ditanggap dari kampung hingga kota, juga lintas benua, dalam rasa Jawa yang lekat.

Sedikit orang yang punya tekad baja, untuk mewujudkan apa yang diyakininy­a dan dengan segala keaslianny­a. Di titik ini Didi tidak pernah ambyar.

Sebab, itulah keyakinan Didi Kempot yang dilakoniny­a sepanjang hidup. Keyakinan itulah yang mungkin membuat dia tetap kuat dan bertahan menyanyi dalam sakit untuk semua yang lagi susah dihantam korona. Ia ingin menghibur.

Di tengah globalisas­i yang membuat orang merasa maju jika pergi dan sering tidak pernah bisa kembali atau menemukan rumah, Mas Didi tetap setia mengingatk­an: ’’Harus ada tempat untuk pulang!”

Sejauh apa pun orang pergi. Seberapa lama pun orang pergi. Didi Kempot adalah matriks waktu yang memungkink­an orang untuk pulang.

Orang Jawa di Suriname yang dibawa pergi melampaui Samudra Atlantik seabad lampau menemukan titik pulang dalam Didi Kempot. Di sini, kaum pekerja, asisten rumah tangga, penulis kere, atau pejabat yang bosan korupsi (tapi tidak bisa berhenti) menemukan tambatan hatinya dalam lagu-lagu Didi Kempot.

Mas Didi telah menyediaka­n ’’rumah” agar kami dan mereka bisa mampir leren (istirahat). Atau hanya untuk sambat (curhat) sejenak.

Sugeng tindak Mas Didi Kempot!

 ?? ALFIAN RIZAL/JAWA POS ?? MELINTAS BATAS:
Didi Kempot saat tampil di Jazz Gunung 2019 di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur.
ALFIAN RIZAL/JAWA POS MELINTAS BATAS: Didi Kempot saat tampil di Jazz Gunung 2019 di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur.
 ??  ?? Hidup dan Perjalanan Didi Kempot (11)
Hidup dan Perjalanan Didi Kempot (11)
 ?? Baca Besok ?? Teh Hangat dan Synchroniz­e Festival
Baca Besok Teh Hangat dan Synchroniz­e Festival

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia