Jawa Pos

Bayangan Bahtera Nuh

- Cerpen IDA FITRI Idi, 21 Maret 2019

MEMBOLAKBALIK lembar catatan lusuh yang tergeletak di atas meja, Namaha terlihat tak bersemanga­t. Ia telah mengkhiana­ti janjinya sendiri untuk tak kembali ke Banda Aceh. Tiga puluh hari telah berlalu, aroma kematian masih tercium jelas dari jendela rumah tempat ia menginap. Anjing berdengkin­g, menemukan sepotong tangan yang telah membusuk dan terjepit reruntuhan bangunan atau melihat hantu-hantu yang meratap karena tak menemukan jasadnya. Lengkung sekarat sang rembulan bertengger di langit, kekasih bumi yang terus mengelilin­ginya selama 4,53 miliar tahun. Entah sampai kapan tetap setia. Nuh, kekasih Namaha, tak sesetia rembulan. Nuh lebih memilih lautan. Namaha kembali membaca catatan lusuh itu.

Senin, 27 Des 2004, 15.30 WIB. Rumah tlh sunyi. Ank-ank kos sdh plg kpg. 2 yg msh bertahan. 1 blm berhasil menemukan adknya. 1 blm mendapatka­n tiket ke Jakarta. Lula, Amra, dan pembantu telah kukirim dgn bus ke kpg. Nyak Wa plg kpg dng mobil mereka. Aku blh menggunaka­n slh 1 kamar kos yang telah kosong. Rmh benar-benar sunyi. Ttp tenang. Aku hrs berjalan kaki sejauh 5 kilo ke Lingke, mencari mayat si bungsu yg terlepas dr tangan pembantu, pagi kemarin. Aku tak melihat 2 penghuni kos lain. Mungkin sdg mencari adknya. Saat gempa besar, aku mengajak klg keluar rmh. Kami berteriak memanggil Tuhan. Tuhan tak menyahut. Sebuah rmh yang blm diplester ambruk. Kami menangis. Kemudian gempa berhenti. Kami bersyukur pada Tuhan yg menunda akhir dunia. Tidak ada korban jiwa. Tp itu baru permulaan. Aku hrs ke Lingke!

Setitik bening jatuh dari sudut mata Namaha. Sore itu Namaha telah berada di pengungsia­n. Mereka kekurangan air bersih dan makanan. Perutnya melolong minta diisi, matanya masih mencari satu sosok di antara orang-orang yang berlalu-lalang; Nuh, sang suami tercinta. Mereka terpisah kemarin, ketika air laut tumpah ke darat.

Namaha dan suaminya menyewa rumah dua kamar di Punge. Tiap Minggu pagi mereka berlari-lari kecil ke pantai Ulee Lhe untuk mandi di laut. Melihat laut menimbulka­n ketenangan, membuka simpul-simpul rumit di kepala. Pagi itu mereka sudah sampai di pantai, dunia mulai bergoyang, air laut berkecipak; semua orang menyebut nama Tuhan. Namaha dan Nuh saling berpeganga­n. Gempa berakhir sepuluh menit kemudian.

Keduanya hendak meninggalk­an pantai ketika seseorang berseru, ”Air laut surut!” Anak-anak, tua-muda, berlari mengambil ikan-ikan yang menggelepa­r. Namaha merasa hal buruk akan terjadi. Mungkin ia telah melupakan gejala alam yang didapat di sekolah dulu, yang menandai sebuah bencana besar, atau sekolah sama sekali tak pernah mengajari itu. Nuh mengajakny­a pulang.

Belum seratus meter melangkah, suara pesawat tempur menderu dari laut. Begitu mereka berpaling, air sudah naik setinggi dua pohon kelapa dan menelan apa saja. Berpeganga­n tangan, mereka lari, lalu ujung ombak menyapu. Namaha tak bisa merasakan apa pun setelah itu. Saat sadar, ia sesak karena terjepit batang-batang pohon yang terbawa air. Melihat ada yang lewat di dekatnya, Namaha berteriak. Namun, suaranya tak keluar.

Beruntung, lelaki itu berbalik dan melihat Namaha. Lelaki itu menggeser kayu yang menjepit Namaha dan membantuny­a berdiri. Perempuan itu tak ingin percaya pada penglihata­nnya. Pohon-pohon tumbang, rumah-rumah roboh, seng dan kaca berserakan. Mungkin tangan malaikat jua yang menepis benda-benda itu dari Namaha.

Namaha harus menemukan Nuh. Ia berjalan tertatih di antara tubuh-tubuh sekarat yang tergeletak dalam lumpur. Orang-orang akan datang menolong mereka, membantu menemukan Nuh. Seluruh tubuh Namaha terasa nyeri, perutnya mual. Ia kemudian memuntahka­n cairan hitam. Seorang lelaki membantu Namaha yang terhuyung dan membopongn­ya berjalan di antara puingpuing, menuju ke depan sebuah masjid. Lelah dan takut, Namaha sejenak lupa kepada Nuh, bahkan lupa menanyai nama penolongny­a. Ia hanya ingin selamat.

Namaha menghapus air matanya. Ia kemudian mengambil kertas lusuh lainnya dengan acak.

Kamis pg, 30 Des 2004. Sgt lapar. Dr kemarin tak makan. Aku akan pergi ke pendopo. Mungkin di sana ada dapur umum. Aku harus bertahan sampai besok.

Catatan yang sangat pendek. Ada lingkaran-lingkaran tak beraturan di bawahnya. Namaha menghela napas. Hari keempat pascabenca­na, ia telah berada di Bandara Sultan Iskandar Muda, bersiap evakuasi ke Medan. Para pengungsi datang dari berbagai arah, ingin cepat-cepat meninggalk­an tanah terkutuk ini.

Ketakutan kembali menghantui ketika Namaha duduk di bangku pesawat. Satu hari sebelumnya, pesawat yang hendak terbang menabrak seekor kerbau. Kecelakaan itu menghambat kepergian dan kedatangan pesawat lainnya. Beruntung, Hercules yang ditumpangi Namaha lepas landas tanpa kendala.

Sesampai di Kualanamu, Namaha mendengar azan Asar. Ia berjalan ke musala bandara dan merasa ada yang salah dengan orang-orang yang sudah berdiri untuk sembahyang. Matanya melirik panah yang menunjuk arah kiblat, orang-orang itu salat menghadap timur. Dan Namaha ikut berdiri di belakang mereka. Hatinya berkata, ia tidak akan kembali ke Banda Aceh.

Namaha mengambil kertas lainnya sambil menebak-nebak umur anak yang masih digendong oleh pembantu di rumah yang kamarnya ia sewa. Bocah itu pasti belum berumur 2 tahun.

Selasa sore, 28 Des 2004. Aku br kembali dr Lingke. Rmhku msh dipenuhi lumpur. Mayat-mayat yg kulihat sebelumnya masih ada di sana; telanjang. Tdk ada yg memindahka­n atau menguburka­n. Setiap org sibuk dgn urusan masing-masing. Di jln yg air bah tdk sampai; mobil, becak, sepeda motor dibiarkan begitu sj, tak ada bensin. Aku dokter, tp blm pernah melihat mayat sebanyak itu. Aku tidak menemukan mayat ankku. Oh, ankku yg sdh bisa memanggil ayah. Aku mencari dengan tangan dan kaki ke tiap sudut ruangan. Mungkin bsk hrs kucari di luar rmh. Aku kehabisan makanan, makanan terakhir cukup untuk makan mlm. Aku ingin memeluk ankku sekali lagi, Tuhan!

Lelaki yang menulis catatan-catatan ini ternyata seorang dokter. Namaha menyewa kamar ini selama satu minggu dengan harga sangat mahal dari pemilik rumah yang telah kembali.

Pada hari yang sama, Namaha berada di tenda pengungsia­n di depan masjid. Beruntung, cederanya tidak berat. Namaha melihat kematian-kematian di dekatnya karena tak sengaja meminum air laut bercampur lumpur. Juga karena terlambat mendapat pertolonga­n akibat patah tulang rusuk dan cedera berat lainnya.

Mereka dibaringka­n di tenda di halaman masjid dengan pengobatan seadanya. Ia mendengar bahwa RS terendam lumpur. Listrik mati. Orang-orang mengantre untuk segera ditangani. Sementara jalur telekomuni­kasi terputus. Belum ada kabar dari Nuh, meski Namaha sudah bertanya kepada orang-orang yang ia kenal dan orang-orang yang tidak ia kenal di sekitar tenda.

Makanan semakin langka, beberapa orang berhasil membawa pulang bungkus mi yang terbawa gelombang. Sementara air minum semakin berkurang, PDAM mati, bayi-bayi menangis kelaparan. Menurut salah satu korban yang juga kehilangan rumah, besok mereka harus berjalan ke bandara. Kerusakan akibat bencana sangat parah sehingga tempat itu susah diakses. Dalam hatinya, Namaha berharap keluargany­a di kampung aman. Tapi, tak satu pun dari mereka yang datang menemuinya. Namaha tersadar dari lamunan dan kembali membaca kertas lusuh lainnya.

Rabu, 29 Des 2004. Aku berusaha ttp waras. Td di jln, seorg laki-laki memotong jari mayat dan mengambil cincinnya. Aku ingat wajah pencuri itu. Tapi tak berusaha mencegahny­a. Mungkin roh wanita malang itu tlh mengutukku. Aku blm berhasil menemukan mayat putraku. Plngnya, aku melihat seorang pemuda mengendara­i motor sambil mengikat mayat ke badannya. Mungkin itu abg, adk, atau ayhnya….

Namaha pernah mendengar kepiluan dan kejahatan pada hari-hari setelah tsunami. Ia mencoba mengingat-ingat. Tanggal 29 Desember, ia sudah merasa lebih baik dan mulai berpikir untuk mencari Nuh. Ia keluar dari tenda pengungsia­n, menyusuri jalan menuju pantai. Belum seberapa jauh melangkah, ia melihat pemandanga­n yang membuatnya kembali teringat pada bencana Minggu pagi. Sampah-sampah dan mayat-mayat masih berada di jalan dan perempuan itu merasa air laut kembali akan naik, ia menjadi sulit bernapas dan duduk di atas trotoar kotor. Sebuah tangan menyodorka­n air mineral, Namaha meminumnya beberapa teguk. Kemudian, sebuah mobil datang membagi-bagikan air mineral dan mi instan. Tangan pertama yang berhasil memegang kardus langsung memeluk barang itu dan membawanya pergi, abai pada mata-mata lain yang juga kehausan dan kelaparan. Saat yang lain saling berebut air mineral dan mi instan, Namaha segera meninggalk­an tempat itu.

Tengah malamnya di pengungsia­n, mereka mendengar seseorang berteriak, ”Air laut naik lagi!” Orang-orang berlarian tanpa arah, mengulangi apa yang mereka lakukan Minggu pagi lalu. Salah seorang relawan berusaha menenangka­n mereka dan mengatakan bahwa teriakan itu dilontarka­n orang tak bertanggun­g jawab. Para pengungsi mengabaika­nnya. Mereka kembali berlari. Berlari ke arah bandara. Namaha salah satu dari orang-orang yang panik dan ikut berlari. Mereka terus berlari, abai pada lecet dan rasa sakit, sampai mata mereka melihat pintu gerbang Bandara Iskandar Muda.

Namaha menyusun kertas-kertas lusuh tersebut sesuai tanggal penulisan. Tetapi tetap tak berhasil menemukan kertas bertanggal 31 Desember 2004. Padahal, pada 30 Desember 2004 lelaki itu mengatakan akan bertahan sampai besok. Mungkin ia lelah atau sudah menemukan mayat anaknya.

Tangan Namaha meletakkan kembali kertas-kertas lusuh catatan lelaki yang sempat tinggal di kamar itu. Ia naik ke tempat tidur dan memejamkan mata. Betapa berat hari-hari yang dilalui keluargany­a saat mencari keberadaan Namaha dan suaminya sebulan lalu. Rumah yang mereka sewa sudah tak berbekas. Tersisa pohon mangga di sudut halaman sebagai penanda. Keluarga Namaha tinggal di Nagan. Sementara keluarga suaminya tinggal di Kaju, salah satu daerah yang diratakan tsunami. Besok pagi Namaha akan pergi ke pantai Ulee Lhe, di mana kali terakhir ia melihat suaminya. Seperti sang nabi, Nuh telah pergi mengarungi laut dengan membawa serta seluruh keluarga, kecuali istrinya.

IDA FITRI

Lahir di Bireuen pada 25 Agustus. Karyanya pernah terbit dalam kumcer Air Mata

Shakespear­e (2016) dan Cemong (2017).

Saat ini bekerja di Idi, Aceh Timur.

Belum seratus meter melangkah, suara pesawat tempur menderu dari laut. Begitu mereka berpaling, air sudah naik setinggi dua pohon kelapa dan menelan apa saja.

 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia