Bola Kita, Bola yang Kaya Cerita
Kedua penulis menyajikan banyak sisi sepak bola Indonesia. Mulai berupa analisis sampai cerita yang sangat personal.
di Indonesia, tulis Ahmad Syauqi Soeratno dalam kata pengantar buku ini, bukan sekadar permainan yang melibatkan dua puluh dua orang yang bertanding di atas lapangan hijau, namun secara historis memikul tanggung jawab sosial sebagai alat perjuangan bangsa.
Kalimat itu seperti membawa ingatan kita kembali ke berdekade silam, pada 19 April 1930. Saat ada 17 pemuda yang berkumpul di Gedung Hadiprojo, Jogjakarta, dan membuat cemas pemerintah kolonial karena dikhawatirkan memicu tumbuhnya bibit kebangsaan. Tanggal itu pun kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya PSSI.
Nukilan historis itu memperlihatkan demikian banyaknya sisi sepak bola di sini. Begitu kaya cerita. Jauh melampaui 90 menit.
Dan keragaman kandungan sepak bola kita itulah yang dihadirkan oleh Fajar Junaedi dan Miftakhul Fahamsyah dalam buku ini. Dengan latar belakangnya sebagai akademisi, Fajar berusaha mengamati dan membingkai tiap tulisan agar renyah dibaca. Sedangkan Miftakhul, lewat panjangnya pengalaman sebagai wartawan, menyajikan sesuatu yang dekat, baik tentang suporter, pemain, maupun pelatih.
Buku ini terbagi ke dalam tiga bab. Bab pertama menganalisis apakah klub sepak bola di Indonesia mampu menjadi klub profesional. Bab kedua menggambarkan kelindan hubungan sepak bola dan fans. Lalu, bab ketiga menceritakan bagaimana media mewartakan sepak bola, terjalinnya antarkomunitas, dan menyatunya sisi kemanusiaan di sepak bola.
Dibangun di atas fondasi kapitalisme semu, sepak bola Indonesia terus dipaksa menjadi sepak bola profesional (halaman 7). Lewat Kapitalisme Semu dan Kegagalan Swastanisasi Sepak Bola Indonesia, Fajar berusaha menjelaskan bahwa ada sikap ketergesa-gesaan dari PSSI yang menggabungkan kompetisi Perserikatan dan Galatama menjadi Liga Indonesia hampir tiga dekade silam. Dampaknya masih terasa sampai sekarang, berupa masih banyaknya salah kaprah dalam pengelolaan klub.
Bergantungnya setiap klub pada APBD pun terasa berdampak hingga kini. Ketika APBD dilarang untuk pembiayaan, banyak klub yang kemudian bertumbangan. Sebab, sepak bola di Indonesia masih berwatak perserikatan yang mengedepankan egoisme kedaerahan (halaman 15).
Padahal, kalau dikelola dengan benar, sepak bola kita punya potensi besar. Miftakhul menyoroti hal itu dalam Ketika ’Anak Baru’ Itu Melantai di Bursa Saham yang membahas upaya Bali United untuk mengembangkan bisnis sepak bola. Sebab, klub yang berbasis di Bali itu percaya bahwa sepak bola Indonesia bisa dijual.
Ada hal-hal positif yang bisa diperlihatkan kepada publik daripada sekadar keributan ataupun tawuran. Dan mereka percaya, sepak bola lebih dari 90 menit.
Kata ”tawuran”, ”keributan”, ”kerusuhan”, atau apa pun namanya, apa boleh buat, cukup lekat dalam perbincangan sepak bola kita. Tulisan Jangan Ada Rantis di Antara Kita adalah gambaran yang tepat tentang bagaimana perselisihan antarsuporter sering terjadi.
Acap kali pemain terpaksa diangkut dengan rantis, alih-alih menggunakan bus. Padahal, sepak bola bukan medan perang (halaman 50).
Karena rivalitas suporter yang masih kental, mitigasi bencana pada tiap pertandingan sepak bola harus dihadirkan. Mitigasi yang perlu dilakukan, pembangunan fisik stadion yang memadai, pemberian informasi tentang mitigasi bencana, penyediaan fasilitas medis seperti ambulans dan pemadam kebakaran, serta yang tak kalah penting adalah sikap panitia pelaksana pertandingan dalam pengelolaan pertandingan (halaman 37).
Tulisan yang sangat personal bisa ditemukan dalam cerita Miftakhul tentang dua orang. Pertama, Yunan Helmi, asisten pelatih Barito Putera. Kedua, almarhum Choirul Huda, sang legenda Persela Lamongan.
Yang disebut pertama baru saja pulih dari Covid-19. Sedangkan yang kedua telah wafat pada 15 Oktober 2017. Cerita yang dihadirkan menguras emosi, seakan pembaca hadir dalam setiap peristiwa yang telah terjadi.
Cerita-cerita seperti itulah yang perlu lebih banyak dituliskan untuk kian membuka mata siapa saja bahwa banyak sisi lain dalam sepak bola kita. Dan, pada sisi inilah letak kelebihan buku Bola Kita.
Nilai lebih lainnya, kedua penulis bersepakat untuk mendonasikan seluruh royalti hasil penjualan kepada korban terdampak pandemi Covid-19 melalui Lazismu.