Jawa Pos

Kebangkita­n Nasional Melawan Virus Korona

- Oleh JAGADDHITO PROBOKUSUM­O

Alumnus FK Unair, Residen Jantung dan Pembuluh Darah FKKMK UGM-RSUP dr Sardjito, Bidang Humas dan Publikasi Perhimpuna­n Dokter Emergensi Indonesia

PARA dokter kini kembali berada dalam pusaran sejarah besar. Tak kalah penting dibandingk­an peran dokter Soetomo dan kawan-kawan yang menginisia­si gerakan kebangsaan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, yang kelak diresmikan sebagai Kebangkita­n Nasional

Kini para dokter berusaha membangkit­kan semangat hidup bangsa, bahkan dunia, di saat rundungan sengit pandemi supervirus Covid-19. Kalau dulu para dokter pelopor gerakan kebangsaan menghadapi penjajah, kini mereka menghadapi virus yang tidak mengenal siapa lawan dan siapa kawan.

Virus ini dengan mudah masuk ke Indonesia. Tak hanya merusak kesehatan, tetapi juga ekonomi, bahkan kemanusiaa­n. Sampaisamp­ai Sekjen PBB Antonio Guterres menyebut pandemi virus Covid-19 merupakan krisis global terburuk sejak Perang Dunia II.

Lebih dari 300.000 orang telah terbunuh dan hampir 5 juta orang terinfeksi sejak Covid-19 menyebar ke seluruh dunia. Yang sangat terasa, pandemi ini menyebabka­n kehancuran ekonomi yang dampaknya akan membawa resesi yang mungkin tidak ada tandingann­ya di masa lalu.

Menyuntikk­an Moral

Sebagai sebuah profesi, selain mengobati penyakit, para dokter juga memiliki fungsi sebagai trias agent. Yakni, agen perubahan (agent of change), agen pembanguna­n (agent of developmen­t), dan agen pengobatan (agent of treatment).

Dokter yang ideal tidak hanya mengobati orang sakit (terapi dan rehabilita­si), namun juga mampu memberikan intervensi moral dan sosial di tengah masyarakat untuk meningkatk­an derajat kesehatan masyarakat (promosi dan prevensi).

Berdirinya Boedi Oetomo sebagai tonggak Kebangkita­n Nasional merupakan implementa­si dari peran dokter sebagai agen perubahan dan agen pembanguna­n. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merangkumn­ya dalam ’’The Five Stars Doctor’’, yaitu dokter sebagai community leader, communicat­or, manager, decision maker, dan care provider.

Dokter saat ini lebih banyak berperan sebagai agent of treatment karena memang kebutuhan kuratif saat pandemi lebih diperlukan masyarakat. Kalau masyarakat adalah garda depan, dokter adalah benteng terakhir dalam penanganan pandemi ini. Tenaga medis mempunyai risiko terpapar virus korona yang sama dengan masyarakat. Semakin tinggi kasus Covid-19 yang terdeteksi dan semakin tinggi masyarakat yang dirawat di rumah sakit akan berpotensi meningkatk­an jumlah korban di tenaga medis.

Dulu dokter adalah pejuang intelektua­l yang berkontrib­usi terhadap pemikiran dan aksi perjuangan bangsa. Saat ini perjuangan pemikiran pun tetap dibutuhkan, namun dalam konteks untuk memberikan kontribusi dalam strategi penanganan Covid-19.

Para dokter, baik individual maupun melalui wadah organisasi profesi, kerap menyampaik­an pemikiran dan strategi agar kita menang melawan Covid-19. Ini merupakan suntikan moral dan intelektua­l kepada para pengambil keputusan agar mempunyai dasar saintifik dan etis dalam menanggula­ngi pandemi supervirus ini.

Coba kita tengok bagaimana dokter Soetomo dan kawan-kawan memberikan hal yang sama ketika bangsa ini dirundung penjajahan. Hari itu, 20 Mei 1908, 112 tahun yang lalu pukul 9 pagi, puluhan mahasiswa kedokteran berkumpul di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), lebih tepatnya di ruang anatomi. STOVIA adalah sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Belanda (saat ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universita­s Indonesia).

Dalam pertemuan itu, seperti dijelaskan dalam buku ’’Sejarah Kebangkita­n Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta’’, para mahasiswa kedokteran STOVIA seperti Soetomo, M. Soeradji Tirtonegor­o, Gondo Soewarno, Goenawan Mangoenkoe­soemo, R. Angka Prodjosoed­irdjo, Mochammad Saleh, dan R. Mas

Goembrek sepakat mendirikan organisasi yang bernama Boedi Oetomo atau ’’tabiat yang luhur’’.

Boedi Oetomo memperjuan­gkan peningkata­n kesempatan pendidikan bagi pria dan wanita muda di Jawa. Mereka percaya bahwa pendidikan bumiputra merupakan kunci masa depan Indonesia. Gagasan Soetomo mendirikan organisasi ini terinspira­si dari dokter Wahidin Sudirohuso­do yang ingin meningkatk­an martabat rakyat dan bangsa.

Dokter sebagai kaum intelektua­l di masanya memperguna­kan pengetahua­nnya untuk membentuk fondasi bangsa Indonesia dengan semangat nasionalis­me dan kesadaran berbangsa. Ini tidak terlepas dari watak yang dibentuk melalui proses pendidikan kedokteran yang disertai sumpah serta etika yang harus dipatuhi sepanjang hayat oleh dokter.

Dokter mengabdika­n profesinya tanpa terpengaru­h pertimbang­an jenis kelamin, suku, agama, ras, dan kedudukan sosial. Sarat dengan nilai kesetaraan (justice). Nilai ini yang menjadi dasar tumbuhnya rasa ketertinda­san yang sama akibat proses penjajahan yang akhirnya menimbulka­n rasa nasionalis­me.

Keluhan rakyat adalah hal yang kami dengar dan kami tangani sehari-hari. Hal ini menjadikan dokter sebagai profesi yang termasuk paling dekat dengan penderitaa­n rakyat. Seperti juga yang terjadi di saat musim pandemi ini.

Jangan Sampai Terserah

Kini suara para dokter dalam dinamika menangani pandemi yang sudah berlangsun­g lima bulan ini banyak digaungkan oleh organisasi profesinya. Di negara mana pun, masukan organisasi profesi selalu diperhitun­gkan.

Sebab, selalu berdasar problem riil di lapangan dari terus-menerus bersentuha­n dengan permasalah­an masyarakat. Bila satu keputusan besar yang menyangkut kepentinga­n masyarakat diambil tanpa mendengark­an pendapat si pelaku utama, sungguh amat janggal.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memiliki kewajiban untuk melakukan advokasi kebijakan pemerintah dan sarana pemecahan problem masyarakat. Sudah menjadi tanggung jawab IDI untuk memberikan masukan konstrukti­f kepada pemerintah. Problem Covid-19 adalah problem kesehatan.

Sudah seyogianya referensi yang diambil pemerintah adalah referensi dari dokter. Pemerintah akan memahami problem riil masyarakat bila memperhitu­ngkan saran dari dokter. Para dokter inilah pelaku intelektua­l terdepan yang menanggung risiko dalam penanganan langsung segala dinamika pandemi ini.

Para dokter melalui IDI telah meminta pemerintah agar tidak melonggark­an PSBB. Sampai ada data yang tepat untuk dijadikan indikator dan kriteria berdasar aspek medis-epidemiolo­gis yang menjadi basis acuan sistem-sistem yang lain bisa dijalankan.

Evaluasi penanganan secara nasional dan per wilayah harus dibedakan sehingga fokus intervensi berdasar evaluasi medisepide­miologis serta berbasis data yang kuat dan tepercaya. Yakni, data lapangan yang valid, ide solusi inovatif, dan murni kepentinga­n bangsa, bebas kepentinga­n sempit.

Menilik kebijakan pemerintah yang maju-mundur, pun abai terhadap rekomendas­i organisasi profesi, mau dibawa ke mana Indonesia? Sulit rasanya bagi kami para dokter menerima imbauan presiden untuk berdamai dengan virus korona di saat kurva belum melandai, masih membubung. Tak heran para dokter dan tenaga medis menyuaraka­n kegelisaha­nnya di media sosial dengan tagar ’’Indonesia Terserah’’. Ini bahaya.

Ayo dengarkan seruan logis dan etis para dokter. Agar kita bersama tetap mampu menjaga semangat ’’kebangkita­n nasional’’ melawan supervirus Covid-19!

 ?? ILUSTRASI: AGUNG KURNIAWAN/JAWA POS ??
ILUSTRASI: AGUNG KURNIAWAN/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia