New Normal-Konsistensi Lawan Pagebluk
PADA 9 Mei 2020, penambahan kasus positif Covid-19 di Indonesia melonjak mencapai 533 kasus per hari. Ini rekor tertinggi mengingat jumlah paling tinggi hanya 484 kasus pada 5 Mei. Setelah turun pada beberapa hari berikutnya, rekor kembali pecah pada 13 Mei dengan penambahan 689 kasus per hari.
Dengan penambahan 568, 490, 529, dan 495 kasus berturut-turut pada hari berikutnya, total pasien positif Covid-19 di tanah air per 17 Mei mencapai 17.520 kasus. Sebanyak 1.148 jiwa di antaranya meninggal dan 4.129 pasien sembuh.
Masih fluktuatifnya angka positif Covid-19 bahkan cenderung naik, apalagi di tengah belum terpenuhinya target Presiden Jokowi agar 10 ribu tes korona per hari, menunjukkan bahwa kedisiplinan masyarakat serta keseriusan dan ketegasan aparat untuk memutus rantai penularan pagebluk tersebut harus semakin ditingkatkan.
Sejak ditemukannya kasus Covid19 pada 2 Maret lalu, pemerintah berupaya menyetop persebaran virus tersebut. Mulai membatasi aktivitas publik dengan work from home dan beribadah dari rumah sejak 15 Maret lalu hingga memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI pada 10 April 2020. Hingga saat ini, PSBB telah diberlakukan di 4 provinsi dan 72 kabupaten/kota.
Sebanyak 202 bus hingga travel gelap kendaraan pemudik yang ditahan Polda Metro Jaya menunjukkan masifnya pelanggaran PSBB dan larangan mudik. Aparat juga menangkap pembuat surat keterangan bebas Covid-19 yang sebelumnya dijual secara online. Bahkan, 1.145 perusahaan di DKI melanggar PSBB, yang 190 di antaranya mendapat sanksi penutupan sementara.
Kalau tidak ada peningkatan kedisiplinan dan ketegasan masyarakat, pemerintah, dan aparat, segala upaya tersebut terancam sia-sia. Penambahan klaster-klaster baru persebaran Covid-19 jangan sampai terulang. Kerumunan massa dalam acara seremonial penutupan McD Sarinah pada 10 Mei lalu, misalnya, sangat disesalkan.
Ketidakdisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan hanya akan membuat masa perang melawan virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok, tersebut akan bertambah panjang. Kita akan semakin lama lagi berada dalam ’’penderitaan”. Apalagi, saat ini saja kita sudah dibayang-bayangi penularan Covid-19 gelombang kedua.
Penerapan PSBB dengan membatasi kegiatan hanya di rumah sudah barang tentu bukan sesuatu yang menyenangkan. Tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi dan pendidikan, tapi juga berpotensi menyulut krisis rumah tangga. Hal itu umum terjadi di negara-negara yang terkena pagebluk Covid-19 seperti temuan United Nations Women (PBB untuk Perempuan) tentang adanya peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Hal itu merupakan kado terburuk dalam memperingati Hari Keluarga Internasional pada 15 Mei. Bahkan untuk Indonesia, seperti hasil survei daring BKKBN pada April-Mei 2020 terhadap lebih dari 20.000 keluarga di Jawa-Sumatera, hampir 95 persen keluarga stres akibat pagebluk dan pembatasan sosial.
Masyarakat yang sudah rela ’’menderita” dengan bertahan di rumah bakal tidak ada artinya kalau sejumlah orang lainnya dengan sembrono bebas berkeliaran bahkan berkerumun dengan mengabaikan protokol kesehatan. Masyarakat pada awalnya membayangkan ’’stay at home” hanya beberapa pekan, tapi kini berada dalam ketidakpastian karena ketidakkompakan sejumlah pihak.
Dengan masih banyaknya masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan, konsep kehidupan ’’new normal” akan berakhir sia-sia. Sebab, kembali pada kehidupan normal dengan tetap menjalankan protokol kesehatan berada di bawah ancaman orang-orang yang sejak awal tidak disiplin. ’’New normal” akan sukses kalau semuanya patuh dan sadar akan pentingnya protokol kesehatan untuk mencegah persebaran korona. Berdamai dengan Covid-19 yang dimaksud Presiden Jokowi, narasi tepatnya adalah hidup di tengah pagebluk dan beraktivitas seperti biasa dengan menerapkan protokol kesehatan, bukan cuek dan acuh tak acuh seolah kita aman dari Covid-19.
Hanya dengan terpenuhinya syarat konsisten menerapkan protokol kesehatan, baru bisa ’’dilepas” untuk beradaptasi dengan Covid-19. Dalam kondisi seperti ini, tampaknya relevan apa yang pernah dinubuatkan Charles Darwin: makhluk hidup yang dapat bertahan bukan yang terkuat atau terbesar, melainkan yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi. Kata kuncinya: adaptasi.
Karena itu, sekarang bukan lagi masanya pejabat atau aparat hanya mengimbau dan menyeru agar masyarakat patuh terhadap protokol kesehatan. Kini saatnya melakukan penegakan hukum dengan sanksi yang konkret.
Dalam konteks ini, kita mengapresiasi kepala daerah yang mempertegas lagi sanksi bagi pelanggar PSBB jilid II. Selain itu, saatnya pejabat membangun komunikasi saling percaya dengan rakyat agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung pada distrust dari masyarakat. Pemerintah dan masyarakat perlu introspeksi untuk menguatkan kepercayaan.
Semua menyadari bahwa pembatasan sosial bakal berdampak terhadap ekonomi dan ekses-ekses lainnya. Tapi, tidak ada pilihan lain. Penyebab utama semua krisis ini harus mendapat perhatian utama untuk diatasi. Bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah maupun masyarakat semoga bisa menjadi penawar sementara. Semakin kuatnya solidaritas akan memperteguh ikatan emosional sesama anak bangsa yang akan membuat kita semakin yakin bisa melalui masamasa sulit ini.
Karena itu, saat ini yang paling kita butuhkan adalah semangat gotong royong dan sikap saling percaya antara pemerintah dan rakyat. Ketika pemerintah berencana merelaksasi untuk mengembalikan denyut nadi ekonomi dan sosial, tidak berarti bakal ada pelonggaran protokol kesehatan.
Namun, justru memperketat protokol kesehatan di tengah aktivitas normal dan menuntut semua konsisten dengan protokol kesehatan. Artinya, new normal adalah hidup dengan kebiasaan-kebiasaan baru untuk melaksanakan physical distan
cing, memakai masker, mencuci tangan secara rutin, serta menjalankan protokol kesehatan lain untuk menghindarkan diri dan keluarga serta komunitas dari penularan Covid-19. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan aturan, menegakkan aturan dan infrastruktur sesuai dengan protol kesehatan, masyarakat bertanggung jawab untuk mematuhi semua protokol kesehatan dalam setiap aktivitas.
Tanpa konsistensi semua pihak menerapkan protokol kesehatan, tidak ada itu yang namanya new normal, justru yang terjadi adalah
herd immunity. Yang kuat akan bertahan, yang lemah pasti akan musnah (mati) dan ini tentu akan menjadi noda kotor sejarah bangsa kita. Maka, sebagai bangsa, kita tak boleh kalah oleh pagebluk ini. Pagebluk Covid-19 tidak boleh membuat kita geblug sebagai bangsa. (*)