Breakthrough Solusi Pengangguran
INFORMASI yang pernah dilansir Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 mengakibatkan sekitar 1,94 juta pekerja (dari 114 ribu perusahaan) dirumahkan dan terkena PHK. Sekitar 1,5 juta di antaranya merupakan pekerja atau buruh sektor formal. Kemudian, sisanya sekitar 443 ribu tenaga kerja sektor informal. Sektor informal yang selama ini diandalkan sebagai tumpuan mata pencaharian lapisan menengah-bawah saat ini terpuruk. Padahal, dalam kondisi normal, kontribusi sektor tersebut amat signifikan membuka peluang kerja.
Pengalaman masa lalu, sektor itu cukup tangguh menghadapi benturan krisis ekonomi. Tetapi, ketangguhan mereka kali ini tidak tampak, malah mengalami stagnasi. Permintaan melemah semakin tajam. Ratusan kios mereka ditutup karena dianggap potensial menciptakan kerumunan orang yang dapat mengganggu kebijakan pembatasan sosial.
Kemudian, proyek-proyek sektor konstruksi (gedung) yang biasanya menampung banyak tenaga kerja buruh saat ini juga terpuruk. Bahkan, sebagian terbengkalai karena material dan tenaga kerja bangunan (seperti tukang dan laden tukang) yang harus didatangkan dari luar daerah terhambat mobilitas transportasi.
Para buruh bangunan tersebut tentu tahu bahwa ada larangan mudik dan pulang kampung. Mereka juga tahu bahwa tradisi mudik dan pulang kampung semakin menghambat upaya memutus mata rantai penularan Covid-19. Tetapi, bagi mereka, mudik atau pulang kampung adalah pilihan strategi survival yang paling efektif dan rasional.
Breakthrough Solusi
Sebagian besar buruh sektor informal dan tenaga kerja yang kena pemutusan hubungan kerja tersebut boleh jadi saat ini memperoleh bantuan sosial dari berbagai instansi pemerintah, yayasan, dan organisasi sosial. Bantuan sosial tersebut dapat meringankan beban berat kondisi yang saat dihadapi. Tetapi, kehidupan mereka tidak bisa ditaruh dan dipertaruhkan hanya semata pada bantuan sosial. Bantuan sosial hanya diberikan pada fase tanggap darurat dan sesudah itu masih penuh ketidakpastian. Karena itu, saat ini mendesak dibutuhkan breakthrough solusi yang mampu memberi mereka perlindungan agar tidak jatuh ke kubang kemiskinan. Kira-kira seperti apa?
Pertama, pemerintah perlu memberikan akses mereka bekerja pada kegiatan proyek-proyek infrastruktur (nongedung) yang pada saat ini masih berjalan (proyek penyediaan air minum, irigasi, kilang minyak dan gas bumi, serta sejenisnya). Dalam konteks ini, pemerintah pusat maupun daerah perlu membangun jaringan informasi yang akurat terkait dengan lokasi proyek-proyek tersebut, kejelasan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, serta sistem hubungan kerja yang berlaku.
Di samping itu, pemerintah perlu mengembangkan proyek-proyek infrastruktur berskala kecil yang tidak memerlukan teknologi dan peralatan canggih. Proyek-proyek infrastruktur semacam itu dapat dikembangkan dengan sistem padat karya. Satu hal yang wajib diperhatikan adalah ketika bekerja harus tetap mengikuti protokol kesehatan Covid-19. Misalnya, memakai masker, rajin mencuci tangan, dan menjaga jarak (physical/social
distancing) atau tidak berkerumun dalam jumlah banyak.
Kedua, pemerintah bisa mengembangkan peluang kerja pada proyekproyek pemeliharaan infrastruktur publik, seperti terminal, stasiun, bandara, markah jalan, dan goronggorong. Muatan teknik dalam pekerjaan proyek-proyek pemeliharaan infrastruktur pada umumnya terlalu dominan. Pekerjaan tersebut juga tidak memerlukan skill atau keahlian tinggi sehingga bisa cepat menyerap tenaga kerja. Manakala kegiatan semacam itu dikembangkan, perlu pembagian peran yang transparan dengan tenaga kerja yang telah ada.
Ketiga, pemerintah juga bisa mengembangkan sektor-sektor lain (di luar proyek infrastruktur) yang mudah diakses seperti kegiatan di sektor pertanian atau perikanan. Peluang sektor itu sebenarnya masih cukup terbuka. Hanya tampak semakin kurang diminati karena para petani acap kali tidak memiliki posisi tawar yang baik dalam pemasaran hasil produksi. Pemerintah harus berperan aktif tampil menjadi broker dengan memperkuat lembaga-lembaga lokal sebagai penampung sekaligus penyalur hasil produksi.
Para buruh sektor informal dan tenaga kerja yang kena pemutusan hubungan kerja boleh jadi tidak menemui kesulitan beradaptasi dengan program-program semacam itu. Kendati begitu, proses implementasinya tetap perlu kehadiran dan peran aktif pemerintah. Pada level kebijakan, dalam situasi darurat pandemi seperti saat ini, perlu eksekusi cepat dan berskala luas. Karena itu, akan lebih efektif manakala dikelola dengan menempatkan instansi pemerintah di lini depan atau tampil awal mengambil berbagai inisiatif. Pada level koordinasi, perlu kerja sama pemerintah dengan pihak swasta dan lembaga kemasyarakatan yang terlibat dalam kegiatan. Koordinasi tersebut terutama dibutuhkan untuk melakukan monitoring dan evaluasi sejauh mana program yang diimplementasikan memperoleh respons positif. Hasil monitoring dan evaluasi dapat menjadi input ketika hendak melakukan mitigasi.
Selanjutnya, pada level operasional, pemerintah harus melakukan pengawasan lebih intensif, terutama untuk menghindari kemungkinan terjadi manipulasi dan eksploitasi.
Linkage Desa-Kota
Di luar solusi problem di atas, Covid19 memunculkan ironi lain, yaitu adanya tren mudik pada masa pandemi. Meskipun sudah ada larangan dan penjagaan ketat, keinginan ribuan orang dapat mudik dan pulang kampung sulit dihentikan. Mereka mencari segala macam cara agar bisa lolos dari pengawasan petugas. Kebanyakan di antara mereka adalah migran dari desa yang pergi ke kota untuk mengais nafkah menjadi buruh atau membuka gerai sektor informal. Masih tingginya jumlah migran tersebut bukan hanya refleksi kondisi ekonomi desa yang semakin sulit diandalkan sebagai tumpuan mata pencaharian, melainkan juga indikasi ketimpangan sosial-ekonomi desa dan kota yang masih cukup tajam.
Selama ini sebetulnya cukup banyak program yang telah diintroduksi di pedesaan melalui bermacammacam skema seperti proyek padat karya jalan desa, irigasi, saluran air bersih dan sanitasi, intensifikasi agrobisnis, serta pengembangan desa wisata. Namun, hasilnya belum mampu mengatasi ketimpangan desa-kota tersebut.
Ke depan dibutuhkan strategi pembangunan regional yang mampu menciptakan hubungan desa-kota dalam satu entitas yang saling memperkuat dan menguntungkan (ruralurban linkages). Strategi pembangunan semacam itu di samping menempatkan kota dan desa-desa di sekitarnya dalam satu kesatuan wilayah pertumbuhan, juga dalam satu jejaring pemasaran. Strategi tersebut membutuhkan pengembangan infrastruktur yang mampu memperlancar arus informasi dan interaksi bisnis serta meningkatkan jejaring perdagangan desa-kota. *) Guru besar sosiologi Fisipol, peneliti senior Pusat Studi Pustral Universitas Gadjah Mada (UGM)