Blunder, Kontroversi, dan Simpang Siur
Informasi yang disampaikan oleh pemerintah terkait dengan pandemi harus seakurat mungkin untuk mengikis kecemasan rakyat.
”YANG kaya melindungi yang miskin agar bisa hidup dengan wajar dan yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya. Ini menjadi kerja sama yang penting.”
Pernyataan juru bicara pemerintah untuk penanggulangan Covid-19 Achmad Yurianto itu memicu kontroversi di masyarakat. Ragam respons dan protes, terutama di dunia maya, begitu kencang, seakan-akan penyebab dan penyebaran Covid-19 oleh kaum miskin.
Itulah salah satu blunder dari banyak kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah. Mulai meremehkan, menjadikan guyon, hingga berupaya memanfaatkan influencer.
Sebelum ada pengumuman resmi Presiden Jokowi mengenai adanya dua warga yang positif, dua pendapat terbelah di masyarakat. Ada yang pro bahwa Indonesia masih terbebas dari wabah tersebut. Di sisi lain, ada yang kontra dan begitu khawatir soal pandemi yang dipicu virus SARS-Cov-2 yang sudah masuk Indonesia.
Alasannya, lalu-lalang warga dari dan ke Tiongkok cukup padat. Sedangkan beberapa negara mulai menutup akses dari Negeri Panda tersebut. Alasannya masuk akal, virus korona baru kali pertama muncul di negara tersebut.
Belum lagi langkah pertama pemerintah yang tidak tepat. Seperti mendorong pariwisata di tengah pandemi serta mengedepankan influencer untuk menetralisasi informasi yang menyebabkan ketakutan dan kepanikan di masyarakat. Selain itu, muncul pernyataan menteri kesehatan yang terkesan menyepelekan persoalan berat tersebut. Terlepas dari itu semua, ketidakakuratan informasi yang ditawarkan menjadi kunci buruknya komunikasi politik.
Sebenarnya, apakah pemerintah mempunyai kepentingan politik atau tidak soal virus itu, bukan urusan kita. Yang penting kiranya adalah memberikan informasi yang menjamin keakuratannya.
Mengapa? Agar masyarakat tidak semakin cemas. Sebab, kalau membaca informasi dari kelompok anti pemerintah, masyarakat menjadi khawatir. Sedangkan setelah membaca pernyataan dari kubu pro pemerintah menjadi tenang. Perbedaan pendapat itulah yang perlu segera diluruskan (halaman 79).
Itu sebagian masukan dari buku berjudul Krisis Komunikasi dalam Pandemi Covid-19. Nuruddin, salah satu penulis di buku ini, mengkritik buruknya komunikasi politik pemerintah.
Bagaimanapun, komunikasi politik itu tak sekadar menginformasikan pesan kepada masyarakat. Namun, ada sebagian dari masyarakat yang menyampaikan informasi, men-delivery aspirasi, tuntutan, dan dukungan agar menjadi bahan untuk diolah dalam tubuh pemerintahan.
Siklus pesan itu saling memengaruhi. Bila hanya berjalan sepihak, akan timpang dan informasi yang sebenarnya tidak terungkapkan dengan baik. Siklus komunikasi yang tidak baik itu menghadirkan informasi yang simpang siur dan berakibat lahirnya hoaks. Informasi sampah atau hoaks lahir karena pelampiasan ketidaksukaan dan reaksi atas saluran komunikasi yang tertutup.
Harus diakui, tidak ada satu pun negara yang memiliki pengalaman mengatasi pandemi ini. Media massa pun menyikapi pandemi korona ini berbeda pada awalawal persebaran. Mereka fokus pada perilaku masyarakat Wuhan, asal pertama munculnya virus korona baru, yang memiliki kebiasan menyantap hewan yang tidak lazim seperti kelelawar.
Rohman Budijanto dalam tulisan berjudul Perihal Keterlambatan Negara Menyadari Keganasan Corona melihat, sebenarnya ada keseriusan pemerintah (meski terlambat) dalam menanggulangi virus itu. Buktinya, sejak 28 Januari 2020 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ditugaskan untuk menjadi ujung tombak penanganannya. BNPB bersama Kementerian Kesehatan, Kemenlu, Kemensos, Kemendagri, dan kementerian lain di bawah koordinasi Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy. Di mata Rohman yang juga pengajar di Jurusan Komunikasi FISIP UMM, low profile-nya BNPB (pemerintah) mengesankan kurang seriusnya penanganan wabah itu.
Buku yang dibuat secara keroyokan ini, ada 41 tulisan dengan 43 penulis, direkomendasikan untuk dikoleksi dan dibaca siapa saja, mulai masyarakat umum, mahasiswa komunikasi, para praktisi public relations (PR), dosen, para pejabat pemerintah, hingga praktisi media massa/media sosial. Hasil penjualan buku ini 100 persen didonasikan ke MCCC via Lazismu. Para penulis juga diwajibkan membeli buku ini. Karena itu, buku ini layak dikoleksi sekaligus untuk menabung kebaikan.