New Normal Butuh New Media
Pandemi Covid-19 benar-benar merevolusi cara hidup kita. New normal atau kenormalan baru menjadi panduansehari-hariyangmengarahkan kita untuk semakin peduli dengan kebiasaan hidup sehat. New normal adalah turunan dari physical distancing, yang bertujuan sangat jelas: menghindarkan kita menjadi perantara terhadap penularan virus SARS-CoV-2.
New normal tentu membawa konsekuensi perubahan terhadap penyampaian informasi. Yang paling kelihatan adalah terjadinya percepatan revolusi industri 4.0. Kini orang makin tidak asing lagi dengan media telekonferensi menggunakan aplikasi. Cara belajar di sekolah juga demikian. Orientasi orang tidak lagi berdasar ”process based”, tetapi ke ”output based”. Melalui konferensi jarak jauh, orang tidak perlu tahu soal proses mencari kebenaran, tetapi hasilnya yang lebih ditunggu.
Media menjadi sasaran berikutnya setelah terjadi revolusi penyampaian informasi. Masyarakat tak butuh lagi media yang paling cepat menyiarkan, tetapi keakuratan informasi yang lebih prioritas. Syukur-syukur, dua-duanya dapat. Maraknya hoax semasa pilpres menjadi pelajaran bagi kita saat menghadapi pandemi. Apalagi, itu menyangkut informasi seputar Covid-19 di sekitar kita. Setidaknya, berkurangnya intensitas hoax di era pandemi menjadi salah satu bukti bahwa mayoritas lebih menunggu informasi resmi daripada seliweran hoax di medsos, khususnya grup WA.
Secara teori, kekuatan new media adalah adanya pola interaksi yang tidak lagi satu arah, tetapi dua arah antara penyampai dan penerima pesan (two communication). Itu juga menjadi syarat bagi kehadiran new media di era pandemi. Asal bisa menyampaikan informasi akurat dan interaksi dua arah, new media itulah yang akan dicari dan diyakini akan bertahan.
Elite sepantasnya juga memahami kehadiran
new media. Memainkan solusi pencitraan melalui medsos bukan lagi jalan keluar menghadapi pandemi. Sebaliknya, akan menjadi bahan tertawaan publik. Rakyat butuh solusi konkret. Lebih dari sekadar peran elite secara artifisial. Ini zamannya bukan lagi menghadapi pemilu, tetapi urusan nyawa: hidup atau mati. Kita bisa membayangkan betapa campur aduknya perasaan warga selama berhari-hari menunggu hasil swab setelah divonis reaktif dalam rapid test. Bagaimana nanti kalau positif, siapa anggota keluarga yang tertular, siapkah isolasi diri, lalu bagaimana kalau nanti tidak tertangani alias mati.
Sebab itulah, elite harus duduk bersama menyampaikan satu informasi, informasi resmi. Kontennya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tentunya, dengan memanfaatkan jejaring new
media. Berani berubahkah kita? (*)