Plasma Convalescent Bantu Kesembuhan Pasien Covid-19
SURABAYA, Jawa Pos – Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo bersama Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto berkunjung ke Jawa Timur kemarin (2/6). Mereka melihat sistem kerja yang diterapkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Jawa Timur. Doni juga menyalurkan bantuan alat pelindung diri (APD), plasma, serta ventilator.
Doni menilai sistem penanganan Covid-19 yang dilaksanakan pemprov sudah bagus
Tes masif menjadi cara memetakan masyarakat yang terjangkit virus Covid-19. ’’Tim gugus tugas pusat memberi dukungan penuh upaya tersebut,’’ ujarnya.
Dukungan itu diwujudkan dengan menyerahkan 21 kantong plasma convalescent. Itu merupakan plasma darah pasien yang sudah sembuh. Cara tersebut dianggap ampuh menyembuhkan penyakit Covid-19.
Doni juga mengapresiasi jumlah pasien sembuh di Jawa Timur yang meningkat. Ada lebih dari 634 kasus positif yang terkonfirmasi negatif. Harapannya, mereka bersedia mendonorkan plasma untuk pasien yang masih positif.
Menkes Terawan berharap angka kasus positif di Jawa Timur segera turun. Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa yang menyambut kedatangan mereka mengungkapkan bahwa jumlah pasien sembuh terus meningkat.
Stafsus Kemenkes dr Daniel Tjen yang turut dalam kunjungan itu menuturkan, kandungan antibodi yang ada di plasma pendonor itu mampu melawan virus Covid-19 di tubuh pasien yang sedang terpapar. Dari 21 kantong plasma tersebut, semuanya didapat di wilayah Jakarta dari berbagai klaster. Menurut Daniel, terapi plasma
convalescent adalah inisiatif Menkes. Penelitian dilakukan sejak awal Maret. ”Pendonor memberikan plasma sebagai wujud kepedulian sesama,” kata Daniel.
Direktur Pendidikan Profesi dan Penelitian RSUD dr Soetomo Prof Dr Cita Rosita Sigit Prakoeswa mengatakan, selain terapi penyembuhan pasien, plasma convalescent digunakan untuk pengembangan pembuatan vaksin.
Satu kantong berisi plasma darah sebanyak 100 ml. Kriteria pendonor adalah harus positif Covid-19 (sesuai tes PCR), 14 hari dinyatakan sembuh, dan kesembuhan harus dipastikan dengan dua kali tes PCR yang hasilnya negatif. Sementara itu, syarat penerima plasma adalah sedang terpapar Covid-19 yang dalam keadaan berat dan kritis serta memiliki kecocokan antibodi dengan pendonor.
Cita menambahkan, sampai saat ini belum ada satu pun metode penyembuhan Covid-19 yang paten. Begitu pun dengan terapi plasma. ”Treatment ini masih berdasar research,” tuturnya.
Di sisi lain, pemerintah pusat terus menyiapkan pelaksanaan kenormalan baru. Menteri PPN/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyatakan bahwa kenormalan baru bukanlah hal yang rumit. Belakangan hal tersebut sudah dilakukan. Misalnya, soal kebiasaan menggunakan masker, mencuci tangan, dan physical distancing. ”Kebiasaan baru ini adalah sebuah kemestian ketika kita akan beradaptasi dengan kehidupan bersama Covid-19,” ujarnya kemarin (2/6).
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah meminta para pengusaha merekrut kembali pekerja/ buruh yang di-PHK dan dirumahkan sebelumnya. Langkah itu diharapkan dapat mengurangi pengangguran dan memperluas kesempatan kerja baru. ”Kita harapkan penerapan new normal dapat menggerakkan roda perekonomian sehingga para pekerja yang ter-PHK dan dirumahkan bisa diprioritaskan kembali bekerja,” ujarnya.
Di sisi lain, masih ada risiko terjadi gelombang kedua. Ketua Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Pratiwi Sudarmono menyatakan, ada kemungkinan gelombang kedua karena ada pergerakan luar biasa saat mudik dan masuknya ABK atau tenaga kerja Indonesia dari luar negeri. Belum lagi diikuti masyarakat yang mulai mencoba untuk banyak beraktivitas di luar rumah. ”Saya sangat mengerti masyarakat khawatir gelombang kedua. Namun, itu tidak diikuti dengan perilaku yang baik. Takut gelombang kedua, tapi merasa leluasa pergi ke sana kemari,” katanya.
SARS CoV-2 merupakan virus jenis asam ribonukleat (RNA). Virus dengan jenis itu selalu melakukan perubahan atau mutasi secara kontinu. ”Sehingga bisa saja berkembang di satu daerah lebih banyak daripada kemarin. Karena tidak ada pembatasan yang jelas, misalnya tidak ada lagi work from home (WFH). Maka, akan sendirinya ada kemungkinan tertular itu tinggi,” ujarnya.