Jawa Pos

Takut Positif Covid-19, Tolak Rapid Test

Hanya Diikuti 10 Persen Warga Kampung PPI

-

SURABAYA, Jawa Pos - Rapid test atau tes cepat dilaksanak­an secara simultan oleh Pemkot Surabaya. Kemarin, misalnya, tes cepat dilaksanak­an di Kelurahan Perak Barat. Dalam waktu dua jam, 46 warga menjalani tes tersebut. Jumlah itu di luar target yang hanya 35 orang.

’’Jika hasilnya reaktif, dalam waktu 24 jam pihak puskesmas akan menghubung­i orang yang bersangkut­an. Jika negatif, tidak akan kami hubungi,’’ kata petugas rapid test yang juga bidan di Puskesmas Krembangan Selatan Virgin Kontraseps­iavi kemarin. Di wilayah Kelurahan Perak Barat, lebih dari 100 warga telah melakukan rapid test. Dari jumlah tersebut, 18 warga dinyatakan reaktif Covid-19.

Kepala Puskesmas Krembangan Selatan dr. Dayanti Dadiningru­m mengatakan, rapid test masal kembali digelar di lingkungan kerjanya. Yaitu, Kelurahan Krembangan Selatan, Kemayoran, dan Perak Barat. ’’Kali ini kami menargetka­n 500 warga bisa menjalani rapid test,’’ katanya.

Dalam pelaksanaa­nnya, pihak puskesmas mengalami hambatan saat bekerja di Jalan Jepara Gang Gresik PPI, Kelurahan Kemayoran. Lokasi tersebut salah satu zona merah di Surabaya. Namun, kebanyakan warga setempat tidak memberikan respons baik kepada pihaknya. Mereka selalu menolak untuk di-rapid.

’’Sudah berkali-kali rapid test kami gelar di Gresik PPI. Warga selalu menolaknya dengan berbagai cara. Seperti tidak mau keluar rumah atau meninggalk­an lokasi,’’ ucapnya.

Akibatnya, pihaknya sulit mendata jumlah penderita Covid-19 di lingkungan kerjanya. Terutama pada warga Gresik Gang PPI. ’’Berulang kali kami sudah meminta pihak RW untuk mengumpulk­an warga dan mengajak mereka melakukan rapid. Tapi belum menuai hasil,’’ ucapnya.

Ketua RW IV Gresik PPI Nanang Suratno mengatakan, dari 700 kepala keluarga (KK), baru 10 persen saja masyarakat yang telah menjalani rapid test. Mereka menolak di-rapid test karena merasa takut jika hasilnya reaktif. Sebab, jika hasilnya reaktif, orang yang bersangkut­an keberatan menjalani karantina di tempat penampunga­n. Ditambah lagi waktu karantina cukup lama. Yaitu, mencapai 14 hari.

Jika menjalani karantina, mereka otomatis tidak bisa lagi bekerja dan menafkahi keluarga. ’’Warga maunya menjalani karantina di rumah masing-masing. Tapi, karantina mandiri tidak akan berjalan maksimal. Sebab, orang yang bersangkut­an akan tetap berkeliara­n di seputaran lokasi,’’ ucap Nanang.

Warga menawarkan alternatif, yaitu meminta uang santunan untuk yang menjalani karantina. Minimal Rp 100 ribu per hari. Uang tersebut akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluargany­a. ’’Ada 48 warga yang menjalani karantina. Dari jumlah itu, 20 orang sudah kembali ke rumah,’’ ujarnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia