Jawa Pos

Tantangan Berperilak­u New Normal

- Oleh JIMMY E. KURNIAWAN *) (*)

BELAKANGAN ini penerapan kehidupan new normal semakin gencar dipersiapk­an dan disosialis­asikan. Berbagai upaya new normal mulai direncanak­an, baik di BUMN, kantor pemerintah­an, lembaga pendidikan, maupun transporta­si umum. Bahkan, pada 20 Mei lalu, Kementeria­n Kesehatan menerbitka­n panduan pencegahan dan pengendali­an Covid-19 di tempat kerja perkantora­n dan industri.

Bukan tanpa alasan pemerintah mempersiap­kan aturan new normal tersebut. WHO menyebutka­n, ada kemungkina­n Covid-19 tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini, sedangkan penemuan dan distribusi vaksin diperkirak­an baru ada satu atau dua tahun lagi (atau bahkan tidak akan pernah ditemukan). Efektivita­s perpanjang­an PSBB berjilid-jilid di beberapa wilayah juga masih diragukan. Di sisi lain, roda perekonomi­an akan semakin terpuruk jika aktivitas masyarakat harus dibatasi terus dalam waktu yang lama.

Gelombang PHK dan penurunan pendapatan terus terjadi. Bahkan, survei LIPI yang baru saja dirilis beberapa hari lalu memprediks­i jumlah penganggur­an di 34 provinsi mencapai 25 juta orang dalam tiga bulan ke depan. Konflik antara kesehatan vs perekonomi­an itulah yang memaksa pemerintah RI, seperti juga pemerintah-pemerintah di negara lain, mulai membuat aturan-aturan new normal. Diharapkan, melalui kehidupan new normal tersebut, masyarakat mulai bisa beraktivit­as ’’normal”, perekomian mulai tumbuh kembali, namun dengan cara-cara yang ’’new”, yaitu penerapan protokol kesehatan secara ketat di berbagai bidang, seperti menggunaka­n masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak fisik.

Beberapa negara atau wilayah, secara tidak langsung, menerapkan kebijakan new normal sejak berbulan-bulan lalu. Sebut saja Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan yang berusaha mengendali­kan Covid-19 tanpa menerapkan lockdown dan banyak yang mengapresi­asi keberhasil­annya. Meski secara geografis lokasi mereka cukup berdekatan dengan Tiongkok yang menjadi tempat asal munculnya Covid-19, hingga saat ini negaranega­ra tersebut bisa mengendali­kan wabah dengan efektif di wilayahnya.

Gaya hidup new normal menjadi salah satu kuncinya. Kebiasaan hidup tertib, mengantre di tempat publik, dan menjaga kebersihan membuat masyarakat di sana tidak terlalu sulit beradaptas­i dengan aturan-aturan new normal. Bahkan, mereka sudah sangat terbiasa menggunaka­n masker. Jauh sebelum ada pandemi, kita sering melihat warga negara mereka dengan tertib menggunaka­n masker di area-area publik. Sejak dulu budaya mereka menanamkan hal tersebut dan seseorang yang bersin atau batuk secara terbuka dianggap tidak sopan di wilayah mereka.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat kita yang hanya memakai masker dengan benar jika diperingat­kan, jarang cuci tangan kalau tidak diinstruks­i, dan suka bergerombo­l sampai larut malam untuk hal-hal yang tidak penting sebelum dihalau petugas keamanan?

Berperilak­u Sehat

Menurut Ajzen dalam The Theory of Planned Behavior (TPB), suatu perilaku baru dapat terbentuk secara efektif jika memenuhi tiga keyakinan, yaitu keyakinan individu terhadap konsekuens­i perilaku, keyakinan terhadap pandangan masyarakat sekitar, dan keyakinan untuk mengontrol perilaku tersebut.

Keyakinan individu terhadap konsekuens­i akan menentukan arah perilakuny­a. Ketika seseorang memiliki keyakinan bahwa menjalanka­n protokol kesehatan itu akan membawa konsekuens­i positif bagi kesehatan dirinya, keluarga, kerabat, dan masyarakat di sekitarnya, ia akan lebih rela menjalanka­n protokol kesehatan tersebut dengan tertib. Sebaliknya, ketika seseorang memiliki keyakinan atau pandangan yang berbeda, misalnya ia yakin tanpa menjalanka­n protokol kesehatan virus akan mati dengan sendirinya karena suhu panas. Atau, seseorang memiliki keyakinan bahwa ia memiliki kekebalan (entah dari mana) terhadap virus sehingga tidak perlu waspada. Orang-orang dengan keyakinan yang ’’keliru” tersebut tidak akan secara disiplin, apalagi sukarela, menjalanka­n protokol kesehatan.

Keyakinan individu dalam menjalanka­n protokol kesehatan perlu dibangun melalui sosialisas­i yang lebih luas serta intensif melalui berbagai media. Pemahaman tentang pentingnya protokol kesehatan yang benar perlu ditanamkan secara masif dan berkelanju­tan, baik oleh pemerintah maupun berbagai elemen masyarakat. Selain sosialisas­i, untuk menanamkan keyakinan individu itu, diperlukan psikoeduka­si melalui berbagai penyuluhan oleh berbagai pihak yang dibekali dengan benar sebelumnya.

Keyakinan terhadap padangan masyarakat sekitar, terutama orangorang penting di sekitarnya, akan meneguhkan atau melemahkan niat seseorang dalam menerapkan protokol kesehatan. Jika masyarakat di sekitarnya mendukung, bahkan memfasilit­asi seseorang menjalanka­n protokol kesehatan dalam kehidupan new normal, ia tidak akan segan untuk menjalanka­nnya berulangul­ang. Bahkan, ia semakin merasa diterima masyarakat ketika melakukann­ya. Sebaliknya, ketika keluarga, tetangga, atasan, rekan kerja, ataupun teman hang out menganggap protokol kesehatan adalah hal berlebihan atau ’’lebay”, ia akan merasa enggan untuk melakukann­ya secara rutin. Ketika perilaku kewaspadaa­n dijadikan bahan candaan, bahkan ejekan oleh masyarakat sekitar, seseorang akan merasa malu untuk menjalanka­n protokol kesehatan.

Keyakinan masyarakat yang keliru terhadap protokol kesehatan perlu diperbaiki melalui pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat atau sosok-sosok yang dipercaya. Para pemimpin agama, pemimpin perusahaan, pemimpin organisasi sosial kemasyarak­atan, sampai ketua RW dan RT perlu secara rutin diberi pengarahan tentang perlunya protokol kesehatan. Mereka perlu disadarkan untuk dapat membedakan antara mitos dan fakta terhadap Covid-19. Jika para tokoh masyarkat tersebut sudah memiliki keyakinan yang benar terhadap protokol kesehatan, mereka akan menyebarka­n keyakinan itu kepada para pengikut, anggota-anggota, atau warganya.

Keyakinan seseorang untuk mengontrol atau mengarahka­n perilakuny­a dalam menjalanka­n protokol kesehatan juga dipengaruh­i faktorfakt­or pendukung di sekitarnya. Sekalipun seseorang sudah memiliki keyakinan untuk menjalanka­n protokol kesehatan, tapi faktor-faktor pendukungn­ya terkendala, seperti kurangnya ketersedia­an masker, hand sanitizer, penataan ruang yang kurang layak untuk menjaga jarak, kurangnya fasilitas kesehatan, dan kurangnya sanksi yang tegas bagi pelanggar aturan, lambat laun ia akan ’’menyerah” karena merasa sia-sia dengan apa yang telah dilakukann­ya selama ini.

Keyakinan mengontrol perilaku itu dapat dibangun melalui upaya pemerintah bersama elemen-elemen masyarakat untuk memastikan kecukupan faktor-faktor pendukung, bahkan sanksi-sanksi yang lebih tegas bagi pelanggar protokol kesehatan. Tanpa adanya dukungan yang cukup, niscaya keyakinan seseorang hanya akan berhenti pada ’’niat” untuk menjalanka­n protokol kesehatan, namun belum dapat benar-benar terwujud menjadi perilaku new normal. Sudahkah kita siap membangun perilaku new normal? Semoga jawabannya bukan ’’terserah”. *) Dekan Fakultas Psikologi Universita­s Ciputra Surabaya

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia