Jawa Pos

Keniscayaa­n Pendidikan New Normal

- (*)

SETELAH dibombardi­r istilah lockdown, social distancing, physical distancing, dan relaksasi, kita dihadapkan pada istilah baru lagi: a new nomal. Frase ini memiliki padanan istilah dalam bahasa Indonesia ”kenormalan baru”. Menurut Badan Bahasa Kementeria­n Pendidikan dan Kebudayan, kenormalan baru adalah keadaan normal yang baru (belum pernah ada sebelumnya).

Sejak 2 Maret 2020, kita mengumumka­n perang melawan virus korona. Sejak itu pula, korban terinfeksi terus bertambah. Saat ini bahkan tembus 20.000 lebih. Setelah hampir tiga bulan melawan, Presiden Joko Widodo mengajak berdamai dengan korona. Kehidupan kita sudah pasti akan berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaa­n. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai a new normal atau tatanan kehidupan baru.

Virus korona nyaris melumpuhka­n berbagai sektor kehidupan. Termasuk pendidikan. Pemerintah menutup sekolah-sekolah. Aktivitas belajar-mengajar dilakukan secara virtual dari rumah masing-masing. Kelaskelas maya bermuncula­n. Pembelajar­an dalam jaringan (daring) menjadi sebuah kenormalan baru.

Keadaan itu menuntut guru terus berguru. Meningkatk­an kompetensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) agar paham dan mampu menggunaka­n aplikasi platform pembelajar­an daring.

Selama pandemi, pendidikan benar-benar mengalami masa yang sangat sulit. Namun, pemerintah terkesan kurang mempriorit­askan sektor pendidikan. Hal itu tergambar dari sebaran anggaran. Dari Rp 405,1 triliun yang digelontor­kan, Rp 150 untuk pemulihan ekonomi, Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp 75 triliun untuk kesehatan, dan Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan.

Pendidikan hanya diberi stimulus berupa relaksasi penggunaan dana BOS. Akibatnya, pembelajar­an dalam jaringan berlangsun­g kurang maksimal. Sebab, tidak semua ter-cover. Ada sekolah yang hanya memberikan bantuan pulsa setiap guru Rp 100.000.

Sementara itu, peserta didik tidak dapat perhatian. Kemudian, mereka diduga masuk kelas virtual di warung kopi atau kafe-kafe yang menyediaka­n wifi. Kalaupun ada sekolah yang memberikan bantuan pulsa peserta didik, nilainya maksimal Rp 50.000.

Di samping itu, pembelajar­an daring juga kurang efektif karena longgarnya pengawasan orang tua. Seharusnya wabah tersebut menyadarka­n dan mengingatk­an kembali orang tua. Bahwa rumah adalah sekolah yang pertama dan orang tua adalah guru yang utama. Tapi, orang tua menyekolah­kan anaknya karena alasan tidak cukup kemampuan dan waktu. Alasan tersebut sudah menghujam kuat di dasar pikiran orang tua.

Dari peserta didik sendiri, pembelajar­an daring ini kurang begitu menyenangk­an. Mereka menjadi asosial. Sendiri di rumah. Ikatan psikologis dengan kawan-kawan dan gurunya lepas. Padahal, masa sekolah adalah masamasa yang menyenangk­an. Masa-masa yang indah. Karena itu, opsi-opsi harus ditawarkan. Misalnya, sekolah masuk dua hari dalam seminggu setiap rombongan belajar (rombel). Bergantian. Dua hari belajar di sekolah, empat hari belajar di rumah.

Sesulit apa pun keadaannya, pendidikan harus tetap berjalan. Guru, peserta didik, orang tua, dan semua stakeholde­r harus tetap semangat. Tanpa pendidikan di dunia ini, tidak akan ada perubahan.

Dan, yang paling berbahaya, kalau sampai pendidikan terhenti. Kita akan kehilangan modal sosial. Bonus demografi menjadi bencana demografi. Indonesia emas hanya menjadi sebuah utopia. Selamat datang sekolah new normal.

Sesulit apa pun keadaannya, pendidikan harus tetap berjalan. Tanpa pendidikan di dunia ini, tidak akan ada perubahan.”

 ??  ?? Penulis Buku, Guru SMAN 1 Gresik Oleh
PRIYANDONO
Penulis Buku, Guru SMAN 1 Gresik Oleh PRIYANDONO

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia