Jawa Pos

New Normal dan Konsep The Other

- Oleh DIAH ARIANI ARIMBI Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universita­s Airlangga

COVID-19 telah memaksa sebagian besar pemimpin negara untuk merespons dengan cepat

Dan, hasilnya adalah aturanatur­an pembatasan atas apa yang biasanya dilakukan (sebelum adanya Covid-19).

Pembatasan seperti memberhent­ikan sekolah sepenuhnya, menghilang­kan kuliah tatap muka, melarang orang untuk terlibat dalam kerumunan, termasuk pelarangan untuk melakukan perjalanan jarak pendek atau jarak jauh menjadi hal-hal yang wajib dilakukan dalam tiga bulan terakhir. Pembatasan dan peraturan itu bertujuan menghentik­an penyebaran virus. Namun, semua itu berdampak pada kita semua.

Virus tersebut juga berdampak pada praktik-praktik keagamaan. Tidak hanya bekerja di rumah, belajar di rumah, tetapi juga beribadah di rumah, demikian pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali. Sektor ekonomi terdampak paling besar karena tingkat penganggur­an melambung tinggi. Media menginform­asikan bahwa sekitar 75 juta orang kehilangan pekerjaan.

Ketika kita berbicara atau bertemu dengan orang lain, baik di kantor, di kampung, di lingkungan perumahan, kita bahkan tidak lagi berjabat tangan. Budaya cium tangan dan cium pipi mendadak menghilang dari kebiasaan kita, bahkan dengan orang tua kita. Hal-hal yang akrab bagi kita telah berubah menjadi aneh.

Virus korona telah mengubah sesuatu yang akrab bagi kita menjadi sesuatu yang aneh dan asing. Kita kehilangan human touch dalam waktu yang sangat singkat.

Seiring seruan untuk isolasi independen dengan tidak meninggalk­an rumah, kecuali dalam kondisi mendesak, untuk memutus rantai distribusi virus, masyarakat membentuk rutinitas yang berbeda. Dengan ruang yang sangat terbatas dan mobilitas yang sangat minimal. Ruang kita telah banyak berubah: menyusutny­a ruang riil kita dan diganti meluasnya ruang digital kita.

Penggunaan teknologi menjadi sangat masif selama masa pandemi Covid-19 ini. Karena realitas sosial kita sangat terbatas, dunia virtual kita berkembang pesat. Penggunaan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) secara konstan telah mengubah cara lama kita berkomunik­asi dengan cara baru.

Komunikasi digital telah menjadikan dirinya satu-satunya media yang kita gunakan dalam berhubunga­n. Mudik pun berubah menjadi mudik virtual karena adanya pelarangan pulang kampung. Koneksi semacam itu sangat membantu dalam masa-masa sulit seperti ini.

Sayangnya, komunikasi digital tidaklah selalu bermakna positif. Banyak juga yang menggunaka­n mode itu dengan cara yang sangat tidak bersahabat. Media sosial telah menjadi media bagi mereka yang frustrasi dengan pandemi ini. Dengan mengekspre­sikan kebencian rasial, penghinaan rasis terhadap etnis tertentu dan orang-orang dengan latar belakang yang berbeda. Serta cyberbully­ing, bahkan cybercrime, juga meningkat.

Dalam rangka menuju new normal (normal baru), Juru Bicara Pemerintah Indonesia untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto baru-baru ini menekankan pentingnya hidup dalam damai dengan virus korona, seperti juga yang telah dibahas Presiden Jokowi. Menurut Yurianto, hidup damai dengan coronaviru­s berarti beradaptas­i dengan gaya hidup baru dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. ”Berdamai tidak menyerah, tetapi kita harus beradaptas­i untuk mengubah gaya hidup kita dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, benar, dan disiplin,” kata Yurianto dalam konferensi pers dari Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (16/5).

Pandemi Covid-19 ini, mau tak mau, juga mengakrabk­an kita dengan the other, orang lain atau liyan. Emmanuel Levinas, filsuf asal Prancis (1906–1995) yang banyak menulis tentang konsep the other, menyebutka­n, dalam diri kita terdapat diri orang lain sehingga diri kita dan orang lain (liyan atau yang lain) tidak bisa dipisahkan.

Contoh yang paling gampang bisa ditemukan dalam bahasa Inggris. Ada istilah after you atau silakan Anda duluan. Dalam budaya kita (Indonesia), kita juga terbiasa untuk selalu menyilakan orang lain terlebih dahulu. Misalnya saat kita menjamu teman atau tamu.

Levinas percaya bahwa self tidak hanya memiliki tanggung jawab untuk dirinya, tetapi juga orang lain (the other) dan hal itu adalah bagian paling utama dari makna kehidupan manusia yang otentik. Itulah bentuk keramahtam­ahan terhadap orang asing dan solidarita­s manusia.

Ego kita, menurut Levinas, tidak bisa lagi mendominas­i. Sebab, di dalam ego kita juga terdapat ego-ego orang lain sehingga ego kita juga bertanggun­g jawab atas ego orang lain. Dengan demikian, menurut Levinas, eksistensi orang lain mendahului eksistensi saya. Sebab, saya melihat diri saya tidak hanya melalui kacamata saya. Tapi, lebih utama, saya melihat diri saya melalui kacamata orang lain.

Di sinilah pentingnya kita semua menjalanka­n protokol kesehatan dalam menanggula­ngi penyebaran virus korona. Penggunaan masker, jaga jarak, cuci tangan, pola hidup bersih dan sehat, menghindar­i kerumunan, bepergian bila perlu saja, tidak hanya untuk kesehatan diri kita sendiri. Tapi, lebih penting lagi, untuk kesehatan orang lain dan masyarakat di luar diri kita sendiri.

Konsep the other dari Emmanuel Levinas juga sangat cocok dengan konsep gotong royong kita. Bersama-sama kita menghadapi badai pandemi virus korona karena tidak ada lagi sekat-sekat self dan other. Memutus rantai penularan Covid-19 bukan hanya tanggung jawab segelintir pihak, bukan hanya tanggung jawab tenaga kesehatan atau pemerintah. Melainkan tanggung jawab kita semua, tanggung jawab kita bersama. Bersama kita pasti bisa.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia