Part Nyanyi pun Dibuat Se-Jibles Aslinya
Tantangan terberat generasi Z seperti para personel Neo Jibles dalam memainkan lagu-lagu Koes Plus: bagaimana menghadirkan sound retro 1960–1970-an dengan instrumen masa kini. Dipuji pendengar kategori ”idealis”, juga mampu menjaring penggemar muda.
COBA eksperimen kecil-kecilan ini, sendirian atau bareng beberapa teman seselera. Cari lagu Hidup yang Sepi yang dimainkan Neo Jibles di YouTube.
Klik, tapi jangan lihat videonya. Dengarkan saja baik-baik vokalnya. Dan, kalau Anda mengenal baik Koes Plus, bakal sulit untuk tidak mbatin,”Asem, itu kan suaranya Yon (Koeswoyo)...!”
Demikian jibles (mirip sekali dalam bahasa Jawa). Pengamat musik Bens Leo pernah menyebut vokal Yon, gitaris sekaligus vokalis utama Koes Plus (KP), jernih, punya jangkauan lebar, serta memiliki warna suara yang lembut dan mendayu-dayu.
Demikian pula yang dikatakan banyak orang tentang suara Ario Yudha Prasetyo, vokalis dan rhythm guitarist Neo Jibles
Itu masih ditambah ke-jiblesan ketukan drumer Muhammad Rizal dengan Murry, penggebuk drum KP. Juga gaya permainan secara keseluruhan band asal Pacitan, Jawa Timur, tersebut dengan Koes Plus.
Dari sanalah nama Neo Jibles berasal. Mereka tak memakai Jibles saja karena sudah ada nama band pelestari KP lain yang terlebih dulu menggunakan nama itu. ”Kalau mirip, kembali ke pendapat yang mendengarkan. Tapi, dari kami sendiri, ya masih jauh,” kata Yudha kepada Jawa Pos.
Dengan hampir 1.000 lagu yang terangkum dalam hampir 100 album, pengaruh Koes Bersaudara yang kemudian menjadi Koes Plus (ini pun punya banyak sekali formasi) melintas zaman hingga sekarang. Tak heran jika ada ratusan band pelestarinya di berbagai kota di penjuru tanah air.
Tak sedikit pula di antaranya yang para personelnya dari generasi Z, satu generasi di bawah angkatan milenial. Termasuk Neo Jibles yang personel tertuanya berusia 26 tahun dan tiga lainnya baru berumur 22 tahun.
Bayangkan, band yang personelnya angkatan Baby Boomer, mulai berkarir di era 1960-an, kini lagu-lagunya dilestarikan ”cucu-cicit” mereka dari generasi Z, dua dekade setelah milenium baru, dengan penuh girah (semangat) dan presisi.
Meski muda, mereka punya basis fans yang kuat lagi militan. Pada 4 Juni lalu contohnya. Mereka mengunggah Kolang-kaling, salah satu lagu pop Jawa KP, di kanal YouTube mereka.
Dalam waktu sejam, jumlah view-nya sudah melebihi seribu. Kolom komentar pun ramai, ada sekitar seratus pesan. Neo Jibles dipuji mirip dengan Koes Plus. Dari cengkok, permainan, hingga penampilan, plek dengan band legendaris Indonesia itu.
Yudha, Rizal, Taufik Eko Hidayanto (lead guitarist, keyboardist, dan leader), serta Ricky
Eka Atmaja (bassist) memang berprinsip, permainan mereka memang harus semirip mungkin dengan aslinya. Se-jibles mungkin dengan KP yang mereka kenal lewat orang tua mereka yang rutin menyetelnya di rumah.
Sebagaimana KP ”Kembali ke Jakarta”, begitu pula keinginan Neo Jibles: kembali ke KP yang se-jibles mungkin. Meski memang tidak mungkin 100 persen identik. ”Alat-alatnya saja beda, suaranya sulit sama. Tapi, kami mengusahakan biar terasa KP banget,” kata Yudha.
Neo Jibles juga mengikuti KP yang punya ”banyak” vokalis. Melakukan pembagian part menyanyi. ”Misalnya di lagu Diana. Suara satunya dibawakan yang pegang rhythm guitar, suara duanya yang (pegang) kibor,” papar Taufik yang dihubungi Jawa Pos secara terpisah.
Taufik menjelaskan, poin itu sering dilewatkan band pelestari KP yang lain. Bagian menyanyi diserahkan kepada vokalis. Atau, paling pol, dibagi dengan basis
atau gitaris. Padahal, dari keempatnya, hanya Yudha yang punya skill bernyanyi mumpuni. Lainnya terpaksa belajar. Mereka menatar diri lewat mendengarkan rekaman-rekaman KP. ”Lama-lama kami terbiasa. Suaranya amburadul, tapi enjoy aja,” katanya.
Taufik menambahkan, tantangan lain adalah menghadirkan sound retro khas 1960–1970. Dalam ngeband, Neo Jibles menggunakan instrumen entry level.
Tidak mahal, kualitasnya menengah. Namun, Taufik cermat mengolah sound. Pria yang juga mengelola rental studio itu tidak memaksakan alat-alat musiknya harus berasal dari merek yang plek ketiplek (mirip sekali) dengan KP.
Taufik menyebutkan, nyawa KP ada di kibor. ”Rata-rata isian melodinya pakai kibor jadul. Jadi, saya cari kibor masa kini yang sekiranya karakter suaranya sama,” ungkap ”pemeran” Tonny Koeswoyo (leader Koes Plus) di Neo Jibles itu.
Mikrofon, gitar, bas, dan drum yang digunakan relatif standar.
”Kalau terlalu menyamakan, jatuhnya di speaker zaman sekarang kurang enak di telinga,” imbuhnya.
Contohnya bass drum. Di rekaman KP, suara duk-duk yang dihasilkan cenderung tipis. Jika memaksakan suara serupa, suara tersebut bisa hilang saat diputar di pelantang suara masa kini. ”Semacam hybrid (gabungan) antara sound jadul dan alat baru,” ujar Taufik.
Menjadi band pelestari KP juga membuat Neo Jibles harus rajinrajin mengulik genre lain. ”KP mainnya dari pop, pop Jawa, keroncong, Melayu, sampai rock n roll. Kalau nggak menguasai genre tadi, susah membawakannya,” terang Yudha.
Lantaran sudah menguatkan diri di segi musik, penampilan mereka relatif sederhana. Tidak ada kostum. ”Di cover saja, mereka pakai oblong dan cutbray,” kata Yudha.
Rambut pun dibiarkan apa adanya. Tidak dibuat gondrong. Jika ada event khusus yang mengharuskan ber-dress code, barulah mereka sedikit ”berdandan”. ”Sepatutnya, pakai jasjasan,” lanjutnya.
Neo Jibles memang unggul dalam sisi musik dan energi saat bermusik. Ditambah poin plus: punya akun YouTube yang aktif.
Namun, mereka terhalang lokasi. Tinggal di Pacitan, yang basis komunitasnya tidak ”membara” seperti Surakarta atau Jogjakarta, membuat mereka kesulitan mendapat panggung. ”Di event pribadi, seperti khitan atau wedding, warga sini lebih milih hiburan organ tunggal atau dangdut,” kata Yudha.
Di era pandemi ini, mereka juga kehilangan banyak kesempatan tampil live. Banyak agenda dibatalkan. Termasuk kesempatan manggung di rumah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Karanganyar.
”Base camp kami sempat didatangi keluarga Pak Wo (Ganjar, Red). Beliau minta jadwal saat Lebaran dikosongkan, diminta datang di halalbihalal di rumahnya,” kata Yudha.
Dia menambahkan, keluarga Ganjar tergolong maniak KP. ”Lebaran tahun lalu, mereka juga mengundang band pelestari KP asal Solo,” imbuhnya.
Namun, meski kehilangan panggung, Neo Jibles tidak patah arang. Mereka tetap pamer karya lewat YouTube. Yudha maupun Taufik sepakat memutuskan tidak mengikuti langkah mainstream melakukan konser virtual. Alasannya, mereka tidak didukung koneksi serta fasilitas memadai. Sehingga penampilan delay. Kualitas suara pun tidak jernih. ”Kami juga khawatir ada yang ngerekam lalu dijual. Risiko diperkarakan tinggi,” kata Taufik.
Tapi, setidaknya mereka sudah sempat 2 kali manggung di Lokananta, studio legendaris di Solo; 2 kali di TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Jakarta; dan 2 kali di Bekasi. Di TMII, mereka tampil di peringatan berpulangnya drumer Koes Plus Murry. ”Ketemu langsung sama Mas Rico (Murry) dan sempat main bareng,” kenang Yudha.
Neo Jibles boleh muda. Namun, mereka punya performa yang tidak kalah dengan seniornya. Hal itu diakui staf Lokananta dan pemerhati musik Anggit Wicaksono. ”Dibanding (band) cover lainnya, buat saya lebih segar. Penampilan panggung mereka energik, nyenengke,” ucapnya.
Pria yang juga kolektor kaset lawas tersebut menyatakan, Neo Jibles mendapat sambutan hangat saat bermain di Surakarta yang notabene basis fans KP garis keras. ”Fans di sini yang sudah berumur cenderung idealis. Pengin mendengarkan KP yang seperti aslinya,” terang Anggit.
Neo Jibles juga tak kesulitan untuk menjaring fans yang lebih muda. Selain punya modal akun YouTube yang aktif, kualitas rekaman cover-nya berkualitas bagus karena dilakukan di studio.
Anggit juga memuji para personel Neo Jibles yang tidak cuma suka musik. ”Saya sempat ngobrol panjang dengan keyboardist-nya. Dia sangat paham musik dan teknisnya,” katanya.